Cerpen: Silvha Darmayani
Bila suatu pagi, kau terbangun lebih dulu dari adikmu Sri dan tidak menemukan ibu di rumah. Cari saja ibu di jalanan atau di sudut tepi kota. Namun, bila suatu pagi lagi, saat kau terbangun dan tidak menemukan ibu pada tiga tempat itu. Carilah ibu di rembang malam, di antara awan-awan lamur dan langit pekat hitam sebab ibu sudah menjadi bulan. Sabit ibu berarti menyenyumimu. Purnama ibu berarti merindukanmu.
***
Kerlap-kerlip lampu jalan mulai menyala. Cahayanya masih hambar dikalahkan jingga matahari yang menunggu waktu tenggelam di kaki langit. Lalu lintas jalur dua masih saja ramai, minibus, angkutan umum, mobil-mobil berbagai jenis dan bentuk, dari yang paling kuno hingga mutkahir, berlaluan tak kunjung habis. Pengendara sepeda motor ikut pula berdesak-desakkan, menyalip bila ada ruang sekecil apa pun. Aktivitas komuter itu hanya akan mandek bila ada lampu merah di persimpangan. Itu juga hanya beberapa menit, lalu berlanjut, dan begitu seterusnya.
Di masjid-masjid terdekat, sudah berkumandang seruan untuk memenuhi panggilan Tuhan. Dari sekian manusia yang mendengar, hanya beberapa orang-orang yang berjalan menuju seruan itu. Derap tapak sendal mereka tampak serempak. Ayah yang memakaikan peci pada anak laki-lakinya. Pemuda yang berlari sambil mengeratkan sarung. Ibu-ibu yang memakai telekung ragam warna dan berjalan pelan menghikmati suara azan. Matahari sudah benar-benar raib diikuti lampu jalan yang paripurna kuningnya. Aku tetap bergeming dengan tumpukan koran di tanganku. Semakin lama seruan yang kudengar terasa memenuhi dada, merambat ke seluruh nadi, syaraf, dan darah–berakhir dengan mataku yang berair dan buram perlahan.
Aku menangis? Hah, tentu tidak–seperti ibu, tak sekali pun air mata kulihat jatuh dari matanya yang cekung dan penuh rahasia itu. Ibu perempuan tertegar yang pernah kutemukan sekali pun ayah pergi untuk selama-lamanya, tiga tahun silam dan merombak seluruhnya tentang kami. Lagi pula, untuk apa menangisi kehidupan yang penuh embel-embel? Aku sudah memaklumi perjalanan yang kutempuh sebagai santapan harian, asam manis, dan pedas gurih yang biasa kucecapi.
Pikiranku hanya kalut lantaran koran-koran yang kujajakan dari pagi tidak satupun yang laku. Entah berapa kilometer yang sudah jajaki. Entah berapa orang yang sudah kutawarkan, tetap saja nihil, tapi tidak apa. Sebelum pagi datang kembali, seperti biasa, koran-koran itu akan kubaca, paling tidak dengan membaca, aku bisa meminimalisasi kebodohan yang mengutuk kehidupan ini.
Aku menyipitkan mata menilik seberang jalan. Rupanya bukan aku saja yang belum pulang. Teman senasibku juga, Midas si tukang semir, Harja si pedagang kacang, kuaci, dan permen. Asep si penjaja koran dan Marni si pengamen cantik yang tengah tegak di bawah lampu jalan. Usia ketiga lanang itu lima, enam, dan delapan tahun di atasku, kecuali Marni. Kami seusia, yaitu dua belas tahun. Pada hari tertentu, kami akan pulang bersama sambil bercerita lalu tertawa untuk hal yang sama sekali tidak lucu, tapi lumayan untuk menertawakan diri sendiri. Aku pulang sendiri malam itu, tapi tidak masalah. Ada sekawanan kalong yang menemaniku. Mereka mengepakkan sayapnya serentak dan terbang dari barat ke utara mengikuti arah mata angin juga jejak nasib. Kuamati kalong-kalong itu. Mereka tidak ada ubahnya denganku dan mengukur jalanan mencari makan. Hanya persoalan waktu yang membedakan. Aku memulai hidup saat pagi datang, sedangkan kalong-kalong itu mulai bekerja ketika rembang malam–seperti ibu, tapi sudahlah. Aku harus cepat pulang, ibu, dan Riuh, adikku pasti menunggu.
Dari simpang lampu merah, aku melewati tempat-tempat yang sorot lampunya menimpali jalan. Orang-orang ramai di warung nasi goreng, gerobak sate, warung kopi, dan aroma sedapnya menjamah hidungku. Namun, aroma itu kian menipis tertinggal di belakang dan menyisakan lampu jalan yang redup-remang memayungi langkah kakiku. Butuh satu kilometer lebih untuk sampai ke rumah, melewati gang-gang sempit, kontrakan-kontrakan dengan dinding dan genting berhimpit, lalu melewati bantaran sungai mentok di gang belok kiri, jajaran kontrakan yang jauh lebih kecil dan buruk, itulah rumahku. Rumahku bersebelahan dengan pohon mangga. Kuurungkan niat masuk ke rumah. Daun pintu yang sebelah engselnya patah itu terbuka lebar. Suara orang marah-marah terdengar hingga ke luar. Dari balik jendela kusam dan berdebu, kutilik seorang laki-laki tua berkepala botak, tegak berkacak pinggang, membentak ibuku. Riuh tampak ketakutan, ia menyuruk di dekap ibu.
“Aku tidak mau tau Nur, kau harus segera melunasinya, ini sudah lebih dari tenggat yang kuberikan, kau pikir dengan kematian Kadir, aku akan memaafkan semua utang-utang mendiang suamimu itu padaku? Jangan harap Nur, bah baik betul aku. Ingat Nur sepuluh juta! se-pu-luh ju-ta! Kudengar dari orang-orang, kau jadi pekerja malam sekarang. Lantas, kenapa kau tak meminta uang dari suami-suami barumu itu?”
Dadaku serasa tertusuk. Ingin kukembalikan tusukan itu ke mulut laki-laki yang melempar ucapan banal pada ibu. Kulihat wajah ibu merah padam, tapi ia begitu hebat menahannya, bahkan saat bias menyeruak di mata ibu. Tak ia biarkan bias itu menggenang lebih banyak. Segera ia lenyapkan. Ibu tidak bicara apa pun, dia hanya menatap lantai rumah yang marmernya serupa dengan tanah. Riuh memicingkan matanya dan semakin erat memeluk ibu.
“Sudahlah jangan menunjukkan drama di depanku Nur. Pandai betul kau bermakar. Dua hari lagi aku balik kemari. Uang sepuluh juta harus sudah ada. Tidak boleh tidak!” Laki-laki tua botak itu bergegas keluar.
“Kalau uangnya tidak ada, aku harus apa?” Ibu angkat bicara. Matanya nanap, tapi tidak menangis.
“Kau harus siap kehilangan anak-anakmu atau kau harus siap mati. Barulah utang-utangmu kuanggap lunas. Pikirkan baik-baik Nur. Pastilah kau tidak menginginkan keduanya bukan?” Laki-laki botak itu terpingkal-pingkal, melengos kemudian pergi, dan benar-benar pergi. Aku mengerang. Sungguh kejam betul kehidupan yang kutertawakan bersama empat temanku. Aku terduduk di teritis samping rumah. Koran-koran di tangan kubiarkan berserak. Bibirku bergemeletak. Angin malam menjamah rambutku yang terlepas karet pengebatnya dan berantakan. Angin itu berdesir seakan mengacum dan berbisik halus. Apa aku harus mati menyusul ayah biar utang-utang itu lunas dan ibu tidak terus-terusan menahan hatinya. Aku ingin menangis, tapi menangis sama saja dengan mengakui kekalahan. Aku bergeming. Aku tidak siap masuk menemui ibu dan adikku.
Malam semakin larut, kantuk mulai merebakku, dan juga gerombolan nyamuk yang menggeluti tubuhku. Aku bentol-bentol dibuatnya, tapi aku akan bertahan. Kudengar suara pintu rumah yang ditutup. Rupanya ibu. Cepat-cepat, aku bersembunyi di balik pohon mangga yang ukuran batangnya melebihi tubuhku. Itu kali pertama aku mengamati jejak ibu yang meninggalkan rumah. Ia bekerja malam tanpa mendengarnya dari siapa pun. Ibu akan pergi setelah aku dan Riuh terlelap. Lalu, kami bangun tanpa ibu. Disambung, aku yang pagi-pagi buta harus kembali ke jalanan dan menjajakan koran. Aku beralih niat dan mengikuti ibu diam-diam. Lihatlah, rambut ibu yang tersanggul rapi, celana hitam panjang dengan baju kurung bercorak bunga, dan juga tas di bahunya. Ibu cantik benar, tapi ke mana ibu pergi?
Sinar bulan menerangi jalan ibu. Di atas jejak yang kulalui saat pulang, tergurat bayangan ibu di sana. Tak salah lagi, ibu mengarah ke jalanan yang mulai senyap. Kedai-kedai dan warung-warung, sudah berkemas dan ada yang tutup. Hanya beberapa mobil yang berlalu-lalang dengan kecepatan tinggi. Lampu-lampunya menyilaukan.
Di kursi pelipir jalan, berjarak 20 meter satu sama lain, ibu berhenti lalu duduk di sana. Ibu menghadap barisan gedung-gedung tua di seberang. Hanya siluet gigir dan sanggul ibu yang tertangkap gamblang di mataku, sedangkan air mukanya tidak. Apa yang ibu lakukan di sini? Apa ibu tengah menunggu seseorang, tapi siapa? Kuhampiri ibu dengan langkah tak bersuara. Belum genap dua anjakkan, aku lebih dulu terperangah dan mematung saat namaku dipanggil.
“Sri. Ibu tahu kau di sini.” Sayup-sayup suara ibu. Bagaimana bisa ibu tahu aku di sini? Kudekati ia dan duduk di sampingnya. Aku telisik wajah ibu. Gelap seperti bulan, mungkin karena ibu tak jeda mengalihkan pandangannya ke langit. Jadi, bulan berbaik hati berbagi sinar karena menganggap ibu adalah teman. Aku memilih tidak berkata apa pun. Aku hanya ingin melihat ibu. Itu saja.
“Maafkan ibu Sri. Karena ibu, kau dan adikmu menanggung semuanya. Besok, kalau seluruh urusan ibu sudah rampung dan ibu dapat uang, kau harus lanjut sekolah lagi ya Sri. Kau dan Riuh mesti menjadi orang yang cakap, hebat, jangan seperti ibu. Jangan.” Ibu mengalihkan pandangannya padaku. Matanya yang cekung tetap teduh dan tegar. Sebuah senyum getir kusuguhkan. Berbalas ibu yang mengandam anak rambutku di dahi dan merapikannya, lalu ibu melekapkan tangannya padaku. Hangat sekali.
Malam bertambah larut. Ibu menyudahi pelukannya dan mengantarku pulang. Suara jangkrik dengan suara burung perkutut berpadu mengisi keheningan malam. Bulan masih saja benderang saat kami sampai di depan rumah. Ibu menyuruhku masuk, tapi tidak dengan dirinya. Ibu harus pergi bekerja dan aku harus tidur. Begitu katanya, tapi apa kerja ibu? Kuberanikan bertanya, cepat atau lambat aku akan tahu, pungkas ibu.
“Bila suatu pagi kau terbangun lebih dulu dari adikmu Sri dan tidak menemukan ibu di rumah, cari saja ibu di jalanan atau di sudut tepi kota. Namun, bila suatu pagi lagi saat kau terbangun dan tidak menemukan ibu pada tiga tempat itu, carilah ibu di rembang malam, di antara awan-awan lamur dan langit pekat hitam. Sebab ibu sudah menjadi bulan. Sabit ibu berarti menyenyumimu. Purnama ibu berarti merindukanmu.” Telak setelah itu ibu pergi lagi.
Waktu setelah ibu pergi hingga cahaya mentari sudah menjelanak di kisi-kisi ventilasi, mestinya aku sudah turun ke jalan menjajakan koran. Tapi tidak, sejak bangun, aku bercangkuk sambil berpeluk lutut. Punggungku bersandar di dinding kusam retak. Perutku perih sebab semalaman tak terjamah makanan. Kutatap pintu depan yang tak kunjung terbuka berarti ibu belum pulang. Adikku Riuh masih pulas tertidur. Mungkin anak usia empat tahun sepertinya sedang asyik bermain di taman mimpi. Kuputuskan mencari ibu ke jalanan atau sudut tepi kota. Untunglah, saat aku sampai di persimpangan jalan. Tak lama berselang ibu datang. Guratan lelah terpancar dari wajah ibu. Bibirnya pucat. Matanya semakin cekung, tapi ibu berupaya semringah. Tangan kirinya menjinjing kantong plastik berwarna hitam. Aku senang mendapati isinya tiga bungkus nasi uduk yang membuatku tak sabar ingin memakannya. Lekas kugenggam tangan ibu, lalu kami pulang bersama-sama.
Setelah menyelesaikan ritual pagi, kukumpulkan koran-koran yang berserak semalam. Syukurlah tidak ada yang rusak. Jadi, dapat kutukar ke lapak untuk mendapat koran-koran baru. Aku balik ke jalanan merapahi tuntutan dan tantangan hidup. Matahari menelabang tepat di atas kepala. Begitu menyengat. Peluh-peluh sebesar biji jagung bercucuran di pelipis dan merambat ke bajuku. Anak-anak berseragam putih biru pulang sekolah. Kuperhatikan mereka dijemput orang tuanya menggunakan mobil. Ada yang naik angkutan umum dan ada juga bersepeda. Mereka beruntung sekali, tapi aku lebih beruntung. Setelah seharian berpetualang, koran-koranku terjual semua. Aku sedikit bernapas lega namun kelegaan itu direnggut oleh bayangan laki-laki botak tua yang berucap utang dan ancaman pada ibu. Aku takut jika ibu tak mampu membayarnya. Aku takut. Terlalah aku pulang dan berpapasan dengan ibu di gang-gang sempit. Tidak biasanya ibu berangkat lebih awal. Mega saja masih berwarna merah. Ibu sudah bersiap meninggalkan aku yang baru bertemu dengannya. Aku memeluk ibu erat dan berharap ketakutan yang berkerumun di hatiku lepas. Selepas-lepasnya. Tangisku tumpah di dekap ibu. Aku benar-benar takut.
“Jangan menangis Sri. Kau anak perempuan ibu yang kuat bukan? Semua akan baik-baik saja. Ibu harus pergi bekerja malam ini. Setelah semuanya selesai, ketakutan-ketakutan itu tidak akan pernah ada lagi. Tidak ada lagi Sri.” Suara ibu sangat lembut. Lama, ibu menatapku. Kurasakan kedamaian dari matanya yang cekung. Rambutku ia sampirkan di daun telinga, tapi aku melihat rahasia di balik mata ibu yang memburam. Apa ibu menangis? Tidak, ibuku tidak pernah menangis, tapi sesuatu mengalir dari ujung matanya. Ibu membalik badan dan menghitung langkah, lalu pergi. Kutatap punggung ibu yang semakin kecil dan menjauh, tak apa. Besok, ibu akan pulang, ucapku dalam hati.
Kutunggui malam menghilang bersela mentari yang naik sepenggalan, tapi tidak ada tanda-tanda ibu pulang. Riuh terbangun menanyakan ibu di mana. Kutinggalkan adikku itu dan mencari ibu ke tiga tempat yang pernah ibu bilang. Jauh kukitari jalanan, sudut tepi kota, hingga peluhku kembali bercucuran, tetap tidak kutemukan ibu di sana. Barangkali, ibu sudah sampai di rumah, pikirku, tapi masih juga belum. Hanya adikku yang mematung di sudut rumah. Rambutnya kusut. Kurapikan seadanya. Mungkin saja pekerjaan ibu masih banyak, tapi ibu pasti pulang malam ini. Begitu ucapku meyakinkan Riuh setiap kali ia bertanya. Rasa takut kembali menyambangiku. Jika laki-laki tua botak itu datang dan mengancam kami berdua, apa yang harus kulakukan tanpa ibu.
Beruntung, laki-laki botak tua itu tidak datang meracau ke rumah, tapi bagaimana dengan ibu? Hari sudah rembang malam. Aku dan Riuh juga belum makan. Kulihat uang di bawah bantal. Beberapa helai uang kertas berserak. Kuambil tiga lembar lima ribuan. Aku membeli makanan untuk Riuh sekalian mencari ibu lagi. Akan tetapi, tetap aku tidak menemuinya. Sejak hari itu, aku dan Riuh terus menanti ibu. Pagi berulang pagi. Malam berulang malam. Hanya ada tanya dari Riuh yang masih membuatku percaya bahwa ibu akan pulang.
Pintu rumah diketuk saat hampir tengah malam. Besar hatiku ketika akan membukanya, tapi bukan ibu, melainkan laki-laki tua botak menakutkan. Dengan air muka yang berbeda, datar, dan lusuh, dia menyerahkan sebuah koran padaku.
“Utang-utang sepuluh juta itu telah lunas. Mulai besok kau akan bersekolah lagi. Itu pesan ibumu.” Ucapnya kemudian pergi. Aku berteriak menanyakan ibuku di mana. Dia menoleh sekejap. Ia menunduk tidak menjawab dan malah menjauh dariku.
Kuputuskan untuk membawa Riuh pergi untuk mencari ibu di kesunyian malam. Aku mengikuti jejak saat dulu aku mengikuti ibu di bawah sinar bulan. Koran yang diberikan laki-laki tua botak kugenggam di tangan kiriku. Akan kubaca saat sampai di tempat menanti ibu. Jalanan lengang. Dapat kuterka jumlah kendaraan yang melemparkan sorot lampunya ke mata kami. Warung-warung tertutup. Di mana orang bisa menemukan anak seusiaku dan Riuh melanglang di rembang malam. Mungkin hanya di sini. Di kursi jalan, aku dan Riuh duduk menghadap gedung-gedung tua, persis seperti aku bersama ibu. Tiba-tiba, koran di tanganku terlepas dan melambai-lambai halamannya ditiup angin. Kuambil lalu kusejajarkan dengan lampu yang meremang cahayanya. Badanku seperti tersetrum dahsyat. Dadaku serasa dicucuk sembilu. Ini menyulitkan, perih, dan meramukkan segalanya.
Bagaimana mungkin penjaja koran sepertiku tidak tahu? Berita tewasnya supir truk perempuan, sebab kecelakaan pascamengantarkan barang ke pasar induk? Saat dini hari, sebulan yang lalu. Bagaimana mungkin aku sebegitu kejam, berprasangka tentang apa yang ia kerjakan setiap malam? Bagaimana mungkin aku tidak pernah menyadari betapa tegar dan kuat hatinya untuk tidak menangisi kehidupan. Semua telah selesai. Ketakutan-ketakutan itu tidak ada lagi, seperti kata ibu.
“Kita sudah bertemu ibu, Dik,” kataku sambil menilik bulan di langit. Rasanya dekat untuk kupetik dan kularikan pulang.
“Sungguh? Di mana Kak?” Mata Riuh membulat dan berharap sungguh.
“Kau lihat purnama itu, Dik? Itu adalah ibu kita. Di rembang malam, di antara awan-awan lamur dan langit pekat hitam. Ibu sudah menjadi bulan di sana.”
Riuh mematut-matut bulan. Ia tersenyum sambil memicingkan mata. Kubiarkan angin yang berdesir halus, menyibakkan rambut, menjamah hatiku, dan menyisakan aroma perih. Tak lagi kupikirkan besok akan seperti apa. Aku hanya ingin menghayati sinar ibu yang lembut memeluk kami berdua.
Catatan:
Nominasi Lomba Cerpen Hari Ibu Scientia 2020 dengan tema “Ibu Perempuan yang Merawat Negeri”
Biodata Penulis
Silvha Darmayani lahir di Naras, 30 Juli 2001. Saat ini, ia tengah menempuh pendidikan S1 di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Discussion about this post