Oleh: Elfahmi Lubis
(Ketua Program Studi PPKN Universitas Muhammadiyah, Bengkulu)
Tulisan ini tidak mewakili mereka yang menjadi fans berat “pemuja” selebritis dan kaum “The Have” atau berpunya, tetapi hanya untuk mewakili lorong-lorong dan relung-relung hati serta rasa keadilan orang-orang miskin yang menjadi mayoritas di negara ini.
Saya menyadari kritikan “nakal” ini akan dilawan oleh para “lovers” selebritas dengan tudingan lebai, pansos, dan iri hati, tetapi saya pasti tidak sendiri. Saya punya teman, yaitu lorong-lorong dan relung-relung hati yang berharap datangnya keadilan dan kesejahteraan. Saya akan mewakili keresahan ini dengan menyajikan data orang miskin di Indonesia menurut BPS. Menurut lembaga data ini, jumah orang miskin di Indonesia saat ini sekitar 10%-12% dari total jumlah penduduk. Indikator kemiskinan yang dipakai untuk menyatakan orang miskin adalah mereka yang berpenghasilan sekitar 400-500 ribu per bulan, sebenarnya rendah sekali. Jika indikator kemiskinan itu dinaikkan mereka yang berpengasilan sekitar 1-1,5 juta perbulan, dapat dipastikan penduduk miskin Indonesia bisa mencapai sekitar 30%-40% dari total jumlah penduduk.
Namun, anehnya kita saban hari di berbagai fitur media sosial, media mainstream, dan YouTube menyaksikan ada segelintir orang di republik ini mempertontonkan gaya hidup glamour, hedonisme, umbar kekayaan, dan barang mewah impor di hadapan publik. Bahkan, pesta mahal bertabur simbol-simbol kemewahan diumbar secara “brutal” di ruang publik dengan menggunakan space dan saluran frekuensi milik publik dengan durasi waktu panjang. Ironisnya, pesta itu dilegitimasi oleh kehadiran simbol negara. Kita bukan “nyinyir” apalagi “iri hati” dengan keberhasilan seseorang dengan tumpakan kekayaan melimpah, tetapi hanya sekedar mengingatkan bahwa cara mengekploitasi kekayaan, hedonisme, dan gaya hidup glamour itu mencederai rasa keadilan orang-orang miskin dan marginal yang merupakan mayoritas “penghuni” republik ini.
Apakah tidak ada cara lain yang lebih “beradab” dan humanis yang bisa dilakukan daripada sekedar menampilkan “akrobatik” kemewahan yang sangat menyayat hati rakyat. Apakah tidak ada cara yang lebih edukatif untuk mengartikulasi kesuksesan, keberhasilan, dan kerja keras selain dengan “mengumbar” kemewahan di ruang publik. Apalagi di tengah kondisi bangsa yang sedang “bergabung” sebagai dampak covid–19 yang telah meluluhlantakkan perekonomian masyarakat dan negara. Apakah tidak ada “proyek empati dam simpati” lain yang bisa dilakukan oleh orang yang “The Have” atau “The Rich” hanya untuk sekedar menghibur orang yang “Do Not Have”.
Katanya, negara kita negara Pancasila, tetapi kenapa praktik kapitalisasi dan hedonisme yang brutal yang ditonjolkan. Saya hanya mengkhawatirkan jika orang-orang kaya selalu mempertonton kemewahan dan gaya hidup glamour kepada ratusam juta penonton kanal media sosial dan mainstream, hal itu bisa berpotensi memicu terjadinya “revolusi sosial” di masyarakat. Ingat, dalam banyak teori ilmu sosial, salah satu faktor yang menyebabkan bangkitnya “anarkisme” dan kemarahan masyarakat kelas sosial rendah bukan karena semata-mata karena kemiskinan mereka, tetapi karena orang-orang yang membuat frustasi, depresi, dan marah. Jika mereka miskin, sudah bekerja keras (meminjam istilah Ade Armando yang sering bikin geram banyak orang), tetapi mereka melihat ada segelintir orang yang dengan mudah menghambur-hamburkan uang dan kekayaan di depan mata dan kepala sendiri setiap hari.
Itulah mengapa “pameran atau show” kekayaan menjadi berbahaya karena bisa menimbulkan “bandit sosial” yang bisa mengancam relasi sosial yang penuh dengan konflik di dalam masyarakat. Kita berharap orang kaya bisa menebar kebaikan pada banyak orang. Kisah sukses dan kerja keras mereka bisa menggerakkan dan menginspirasi banyak orang. Selamat malam. Jangan lupa bahagia
Discussion about this post