Cerpen: Ali Usman
Angin Bukik Cubadak menyapu dingin bulu romaku. Daun-daun pohon duku berjatuhan menangis terlepas dari tangkainya. Suara gemericik air cucian Uni Lia mengikuti irama angin. Sisa gemericik air itu juga menemani jatuhan dedaunan pohon di depan rumah. Amak bergegas mandi ketika Uni Lia masih asyik menyuci pakaian.
“Maan… Lakeh lah…! Pai ndak samo Amak?”
“Ka ma Mak?” sahutku.
Amak mengajakku pergi ke pesta pernikahan anak Mamak. Lokasi pesta pernikahan itu di Simpang Tabing, tak jauh dari Tugu Linggarjati yang menjadi bukti sejarah pernah ada agresi militer Belanda di Sumatera Barat. Amak sudah agak terlambat pergi baralek. Aku yang sedang masih santai didesak Amak, karena hari Minggu adalah hari liburku untuk jalan-jalan, hari bebas dari belajar dan dari pekerjaan rumah yang ditugaskan oleh bapak dan ibu guru.
Setelah memakai pakaian paling bagus, aku punya dan Amak juga sudah selesai berpakaian yang paling cantik yang Amak punya, kami pun siap-siap berangkat.
“Lah Mak, pai wak baralek lai Mak!” sambil menarik tangan Amak yang masih bercermin, aku terus bujuk Amak untuk segera pergi. Aku tidak sabar untuk pergi baralek karena aku sangat suka dan juga sudah bosan seminggu belajar.
“Yo Nak, tunggulah subanta dih. Amak masih mamelok–an jilbab Amak bia rapi,” jawab Amak seraya menarik kembali tangannya untuk merapikan jilbabnya. Aku patuh sama nasihat amak untuk menunggu sebentar.
“Maan, Allah bersama orang-orang yang sabar Nak. Innallaha ma’ashabirin. Artinya, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” Itu pesan salah satu pesan amak yang aku ingat.
Amak sangat sering ingatkan aku untuk belajar jadi anak yang sabar karena sabar itu adalah akhlak yang mulia. Aku melangkah ke luar rumah main di taman depan rumah sambil melihat-lihat dan menangkap belalang. Di atas pagar taman yang terbuat dari bunga bonsai hijau yang sudah dipotong rapi oleh Da Jun, Uni Lia menjemur pakaian kami. Namun, karena beberapa belalang melompat-lompat di antara bunga di taman itu, aku langsung kejar dan tangkap.
“Uni! Tolong tangkap belalang itu!” teriakku meminta Uni Lia menangkap belalang yang melompat ke ember kain cucian Uni Lia yang akan dijemur.
“Yap! Yaaa… Man. Dapat sama Uni belalangnya. Nih, sini dek, pegang baik-baik ya, jangan sampai patah kakinya, apalagi kalau sampai mati. Jaga ya, kalau udah mau pergi sama Amak, lepas lagi belalangnya ya, dek,” papar Uni Lia sambil menyerahkan belalangnya padaku.
“Ya Uni, aku anak baik kok Uni. Kan belalang juga ciptaan Allah,” kataku sambil senyum menggenggam lembut dengan kedua tanganku
“Santiang adek Uni!” Puji Uni Lia seraya memberikan senyum indahnya.
“Siapa dulu dong uninya?” tegasku turut bangga punya kakak yang penyayang ini.
“Masya Allah! Bangga Amak liat anak Amak saling menasihati dan menyayangi binatang, makhluk ciptaan Allah.” Amak membuat aku tersipu malu.
“Padahal seringnya kalau Maman main nangkap belalang, selalu mati lho Mak,” Uni Lia menimpali.
“Mana ada? Uni Lia ini, nuduh aja!” Aku membela diri. “Tu kan! Lepas belalangnya,” aku kesal sama Uni Lia.
“Itu bukan karena Uni Lia, Man, karena tangan Maman nggak kuat megangnya.” Uni Lia balas dengan bela diri seraya melanjutkan jemur kain di pagar taman rumah.
Amak melerai kami. Pertengkaran mulut itu terhenti seketika, karena aku langsung mengejar belalang yang lepas dari tanganku.
“Maan! Udah hampir pukul 11.00. Ayo kita jalan lagi ke Simpang Iraqi naik mobil cigak baruak ya,” panggilan Amak serta merta menghentikan langkahku mengejar belalang.
“Yee! Uni Lia tinggal, nggak dibawa Amak pergi baralek. We…we…” Aku lari bergegas meninggalkan Uni Lia yang tengah melanjutkan menjemur kain yang sudah dicuci.
***
Siang pukul 14.00 WIB.
Pulang dari baralek, rumahku sepi. Biasanya ada Uni Lia sambil istirahat siang setelah hampir setengah hari membantu Amak membersihkan rumah, masak, dan mencuci. Siang ini hening. Rumah terkunci sekeliling. Amak lupa bawa kunci.
“Uni Lia mana Mak?” Aku langsung tanya Amak dalam keheningan itu.
“Nggak tahu Amak, Maan. Mungkin pergi ke rumah temannya,” jawab Amak sambil pegang erat tanganku.
Siang itu aku merasa aneh. Amak juga kelihatan kuatir dengan keadaan Uni Lia. Uda Zul juga tidak ada di rumah. Rumah-rumah tetangga juga sepi. Hening mencekam rasanya.
“Mak! Mana Uni Lia?”
“Uni Lia pergi ya Mak?”
“Pergi ke mana Mak?”
Aku terus menyerbu Amak dengan pertanyaan ke mana Uni Lia. Raut muka Amak kelihatan cemas. Ke mana perginya Uni Lia? Aku dan Amak tidak bisa masuk rumah karena rumah terkunci semuanya. Uni Lia pergi. Pergi entah ke mana.
“Mak, Lia pergi main sama teman-teman ke Palobanda Mak. Mungkin Lia besok tidak pulang karena setelah mandi di Palobanda Lia mau ikut teman jadi pembantu di Taluk Kuantan, Mak. Insya Allah Lia bisa jaga diri Mak. Amak jangan kuatir Mak. Insya Allah Lia sehat-sehat aja. Mohon izin dan doa restunya ya, Mak.”
Wajah Amak langsung sedih setelah baca surat Uni Lia yang aku temukan dekat pintu belakang arah ke dapur. Alhamdulillah kunci rumah ditaruh Uni Lia di bawah surat itu. Aku juga sedih, tadi sempat bertengkar mulut sama Uni Lia.
***
Pagi hari pukul 07.00 WIB
“Uni Lia! Sinilah! Bantu Maman, nangkap belalang ini” sambil nunggu Amak ngantarin aku ke Simpang Iraqi. Aku sudah selesai mandi, sarapan, dan sudah berseragam sekolah.
“Maan! Sini dulu Nak!” Amak yang menyahut panggilanku.
“Uni Lia ‘kan pergi bersama temannya kemarin. Maman lupa ya?” setelah aku mendekat ke arah Amak, Amak menjelaskan bahwa Uni Lia sudah tidak di rumah hari ini. Uni Lia sudah pergi.
Aku baru sadar, ternyata Uni Lia tidak ada di rumah. Uni Lia sudah pergi. Kata Amak, Uni Lia pergi ke rumah temannya, sejatinya itu niat baik Uni Lia membantu Amak agar bisa menyekolahkanku. Da Zul juga bekerja membantu Amak. Kami tiga bersaudara yatim. Abak meninggal saat aku masih dalam kandungan. Da Zul anak sulung harus banting tulang membantu Amak sehingga Da Zul hanya tamat MIN Lubuk Buaya. Uni Lia hanya tamat SD Inpres Lubuk Buaya dan juga sering jadi pembantu di rumah orang untuk bantu Amak dan biaya sekolahku. Aku termangu di atas dipan tua yang digunakan Amak dan Abak sejak mereka menikah 20 tahun lalu. (*)
Biododata Penulis:
Ali Usman merupakan alumni Universitas Negeri Padang (UNP). Saat ini, ia bertugas sebagai guru di AR Risalah, Padang. Aktif menulis di berbagai media. Bukunya yang baru terbit berjudul Mengukir Sejarah (2021) dapat dipesan melalui nomor kontak 081363046547.
Yang Akan Kita Kenang dari Masa Kecil
Oleh: Ragdi F. Daye
(Penulis buku Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu & Rumah yang Menggigil)
Dalam bukunya yang berjudul Semasa Kecil di Kampung (1950, terbit ulang 2020), Muhammad Radjab menulis tentang polah tingkah anak-anak yang tinggal di kampung Sumpur yang terletak di bagian utara Danau Singkarak. Anak-anak kampung yang menghabiskan waktu di seputaran rumah-surau-danau-dan arena bermain; Belajar mengaji, mandi-mandi, menangkap ikan, memanjat pohon buah-buahan, berkelahi, makan enak bersama teman sepermainan, dan menonton keramaian di pasar yang buka sekali sepekan. Sungguh pengalaman yang sulit dilupakan.
Pengalaman masa kecil sangat berpengaruh bagi kehidupan seseorang. Menurut Chairilsyah (2012), pembentukan kepribadian sudah dimulai sejak masa keemasan (golden Age), yaitu 0-6 tahun atau masa pendidikan anak usia dini. Kepribadian ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan sifat-sifat bawaan yang diturunkan atau diwariskan oleh orang tua, sedangkan faktor eksternal diperoleh dari interaksi antara individu dengan keluarga, teman, sekolah, dan masyarakat tempatnya berada. Proses pembentukan kepribadian memang sulit untuk diprediksi karena kepribadian bersifat dinamis.
Pendidikan kepribadian baik di rumah maupun di sekolah sangat berpengaruh bagi anak. Beberapa metode yang dapat dilakukan oleh orang tua dan guru pendidik anak usia dini dalam rangka membuat landasan pribadi yang positif pada diri anak dapat dilakukan dengan beberapa metoda atau cara, antara lain mengajarkan anak dengan contoh yang konkret, tidak bosan-bosan memberikan nasihat positif, mengajarkan anak untuk mengendalikan emosinya, menerapkan program hukuman dan hadiah, memperkenalkan Tuhan dan agama sejak kecil, menjadi model pribadi yang positif, mengawasi pergaulan anak, mengawasi tontonan anak dan mengawasi teknologi internet untuk anak. Metode-metode ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi orang tua dan guru anak usia dini dalam membentuk anak usia dini yang memiliki karakter kepribadian yang positif.
Sejalan dengan tulisan di atas, cerpen Ali Usman yang terpilih untuk menghiasi ruang Kreatika pekan ini memberikan contoh yang gamblang tentang pendidikan keluarga terhadap anak, di dalam cerpen ini melalui tokoh Maman, bocah laki-laki kesayangan ibu dan kakak-kakaknya. Pengalaman penulis yang berprofesi sebagai guru ini sangat menguatkan unsur edukatif cerpen ini.
Maman diceritakan tinggal bersama Amak dan Uni Lia kakaknya tidak sabar untuk pergi menghadiri undangan pernikahan bersama sang ibu. Sambil menunggu ibunya yang sedang berdandan, Maman bermain di pekarangan rumah dekat kakaknya yang sedang menjemur pakaian yang baru selesai dicuci. Maman menangkap belalang, sebuah kesenangan anak kecil yang tinggal dekat dengan alam. Namun, karena pegangan tangannya kurang kuat, belalang yang telah berhasil ditangkap itu lepas sehingga Maman merasa kesal dan menyalahkan kakaknya yang sama sekali tidak bersalah. Mereka pun bertengkar, khas kakak-beradik yang sering ribut bila berkumpul namun akan rindu-rinduan jika berjauhan. Dan benar, kemudian Uni Lia pergi meninggalkan Maman dan Sang Ibu. Uni menyusul kakak sulung pergi merantau untuk bekerja agar bisa memperbaiki nasib keluarga. Maman pun merasa kehilangan.
Boleh dikatakan, cerpen ini sangat sederhana. Mulai dari peristiwa yang membangun alur, dialog antartokoh, persoalan yang dihadapi, maupun jalan keluar yang diambil tokoh untuk menyelesaikan masalah. Gaya bertutur yang digunakan penulis juga memakai cara bertutur anak-anak dengan kepolosan dan kenaifannya.
Gaya bercerita melalui sosok anak juga digunakan Ben Okri, penulis Nigeria, pada novelnya yang berjudul The Famished Road. Okri bercerita melalui tokoh anak kecil bernama Azaro. “Salah satu alasan kenapa aku tak ingin dilahirkan semakin jelas setelah berada di dunia. Aku masih sangat belia ketika dalam keadaan linglung kulihat Bapak ditelan sebuah lubang jalanan. Di lain hari kusaksikan Ibu berjela-jela dari batang sebuah pohon biru. Umurku baru tujuh tahun ketika bermimpi kedua tanganku bersimbah darah kuning orang asing. Aku tak tahu apakah imaji-imaji liar ini bagian dari kehidupan yang sedang kujalani, kehidupan sebelumnya, atau berhubungan dengan kehidupan di masa datang. Atau, apakah imaji-imaji ini hanyalah rangkaian imaji yang menjajah semua pikiran anak kecil (2007:18). Okri mengungkapkan kehidupan spiritual dan tradisional di sebuah daerah di Afrika dengan gaya naratif realisme animis yang menggabungkan dunia nyata dan dunia roh seperti cerita fantasi.
Berbeda dengan sastrawan Ben Okri, Ali Usman belum mengeksplorasi peluang-peluang narasi seputar kehidupan Maman yang juga menarik dengan kedekatannya dengan fauna (melalui belalang) dan kebiasaan adat tradisi (melalui acara baralek) di sekitarnya. Pengalaman sosiologis pengarang di masa kecil adalah bahan baku potensial untuk dijadikan karya. Tinggal meramu dengan persoalan relevan dan diperkuat dengan muatan nilai-nilai yang dapat dijadikan bahan renungan pembaca.
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.