Oleh:
Hermanto
Kabid Kehumasan,
Diskominfo Kota Payakumbuh.
Setiap hari, kita disuguhkan oleh berita-berita tentang perkembangan Covid-19. Baik melalui media cetak, online, whatshap grup, bahkan yg lebih rame lagi adalah di media sosial.
Kalau kita cermati, terutama berita menyangkut pengumuman penambahan pasien positif corona selalu menulis nama dengan “inisial”. Hal demikian bukan lah suatu kesalahan. Akan tetapi memang demikianlah menurut aturan yang ada. Penulis berita terikat dengan adanya :
1. UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
2. UU No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
3. UU No.36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Dalam undang-undang diatas, mengatur tentang klasifikasi informasi data pasien.
Menurut beberapa ahli hukum, undang-undang tersebut bertentangan dengan pasal 28 f dan pasal 28 h UUD 1945. Hal ini ditunjukkan dengan adanya warga negara yang mengajukan “judicial reviuw” ke mahkamah konstitusi (MK).
Hal ini menjadi menarik ditengah banyak pihak yang menginginkan agar identitas pasien suspect Covid 19 diungkap ke publik. Pertimbangan pengungkapan identitas pasien adalah demi kepentingan masyarakat yang lebih luas lagi, agar tidak tertular serta mudah untuk melakukan “tracking”.
Tapi disisi lain, dengan diungkapkan identitas pasien ke publik, dipandang sebagian kalangan sebagai penyebab timbulnya diskriminasi terhadap pasien. Pasien akan mendapat diskriminasi sosial karena stigma publik terhadap korban yg berlebihan.
Ini banyak dialami pasien korban Covid 19 di beberapa daerah. Bahkan yang masih segar di ingatan kita adalah adanya pasien (tenaga medis) meninggal yang ditolak warga untuk di makam kan di daerahnya, miris.
Dikutip dari “hukum online”, Wahyudi Djafar, Deputi Direktur ELSAM mengungkapkan alasannya, “Kenapa data pribadi kesehatan masuk kualifikasi data sensitif, karena dia membuka peluang diskriminasi dan pengucilan sosial”, ujar wahyudi.
Ada benturan antara hak pasien yang harus dilindungi dengan hak azasi publik untuk lebih terlindungi dari penyebaran Covid 19. Sebuah Dilema memang. Apalagi kalau dikaitkan dengan usaha kita bersama untuk memutus mata rantai penyebaran Covid 19.
Harapan kita semua, adalah adanya kebijakan dan itu sangat diperlukan saat ini, yaitu membuka data pasien agar menahan laju penyebaran dan memutus mata rantai Covid 19 demi kepentingan yang lebih besar.
Apalagi kita dihadapkan pada situasi darurat, bukan situasi normal seperti undang-undang ini diterapkan. Aturan yg relatif komprehensif demi memenuhi rasa keadilan semua pihak.
Dan terhadap pasien positif Covid 19, mari kita berikan dukungan supaya mereka kuat dalam menghadapi musibah ini, dan mari jangan kucilkan mereka, sesungguhnya Covid 19 bukanlah aib.(*)
Discussion about this post