Jumat, 12/12/25 | 21:24 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI ARTIKEL

Kritik Feminis dan Gender dalam Cerpen “Maria” Karya A.A Navis

Minggu, 07/12/25 | 16:20 WIB

Oleh: Nikicha Myomi Chairanti
(Mahasiswa Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)

 

Cerpen “Maria” (1999) karya A.A. Navis menghadirkan dialog dan narasi yang tajam dan kritis mengenai ketidaksetaraan gender dan dominasi patriarki dalam masyarakat. Narasi tersebut menggambarkan perjuangan perempuan untuk memperoleh hak dan kesempatan yang setara dengan laki-laki, sekaligus menentang berbagai bentuk pelecehan dan penindasan yang mereka hadapi. Sejalan dengan semangat feminisme yang mengedepankan kesetaraan dan keberanian perempuan untuk melawan penindasan, cerita ini memperlihatkan realitas pahit yang kerap dialami perempuan. Salah satu dialog yang menggambarkan kritik sosial adalah ketika tokoh Maria mengatakan:

BACAJUGA

Psikologi Kekuasaan dalam Cerpen “Seekor Beras dan Sebutir Anjing”

Psikologi Kekuasaan dalam Cerpen “Seekor Beras dan Sebutir Anjing”

Minggu, 06/7/25 | 10:56 WIB

“Aku ingin rumah bersih, halaman bersih. Apa salahnya kalau aku mengerjakannya? Begitu pun pekerjaan dapur. Tapi jangan anggap itu pekerjaan khusus perempuan.”

Sebagaimana ditegaskan Woolf dalam A Room of One’s Own, “a woman must have money and a room of her own if she is to write fiction.” Kutipan ini bukan hanya tentang ruang fisik, tetapi simbol kebebasan perempuan dari batasan domestik yang dibentuk budaya patriarki. Pandangan ini mendukung kritik Maria bahwa pembagian kerja rumah tangga bukan kodrat, melainkan konstruksi sosial. Lebih lanjut saat Maria menguatkan argumennya:

“Perbedaan antara laki-laki dengan perempuan hanyalah biologis. Tapi tidak dalam fungsi sosial,” katanya menguatkan pendiriannya.

Kalimat itu menegaskan bahwa pembagian fungsi bukan sesuatu yang tetap dan tidak kaku terhadap tradisi yang sebenarnya menjelma menjadi kekangan. Pemikiran ini sangat selaras dengan konsep Virginia Woolf yang menuntut perempuan memiliki ruang dan kesempatan yang setara untuk berkembang, bukan dibatasi oleh norma sosial patriarki. Maria secara tegas juga mengkritik sikap dominasi dan pelecehan yang dilakukan laki-laki di tempat kerja. Ia bertanya:

“Mengapa setiap atasan mesti memperlihatkan keperkasaannya? Padahal, mereka toh sama jadi orang gajian negara? Mengapa laki-laki tidak memandang pegawai perempuan itu sama dengan laki-laki secara sosial? Kalau saling jatuh cinta, itu normal. Tapi, jika ingin menggagahi atau menyalurkan birahi, sungguh tidak beradab.” Komentar Maria dengan perasaan getir.

Kritik Maria ini sejalan dengan analisis Woolf mengenai dominasi laki-laki dalam ruang publik. Woolf menuliskan bahwa perempuan selama berabad-abad “have served all these centuries as looking-glasses possessing the magic and delicious power of reflecting the figure of man at twice its natural size.” Pandangan Woolf ini menegaskan bahwa perilaku atasan laki-laki di kantor merupakan bagian dari struktur kuasa yang mengagungkan maskulinitas dan merendahkan perempuan. Namun, cerpen ini juga menyajikan dialog-dialog yang kontradiktif yang menampilkan kompleksitas realitas sosial, misalnya tokoh Aku yang menyindir:

“Ya, memang terlalu. Tapi perempuan juga terlalu, kalau perempuan yang jatuh, apalagi laki-laki, tidak ada perempuan mau menolong. Itu pekerjaan laki-laki, kata mereka,”

Kalimat itu mengindikasikan stereorotip yang lumrah dalam masyarakat. Begitu juga dengan pernyataan:

“Kalau tidak ada respons atau pancingan dari perempuan, laki-laki tidak akan bisa berbuat apa-apa?” kataku tanpa bermaksud membela si Tajak.

Pertanyaan yang sekaligus pernyataan untuk divalidasi oleh tokoh Aku menunjukkan bagaimana norma sosial dan tanggung jawab moral seringkali dipinggirkan atau dipertanyakan oleh lelaki dalam dinamika gender. Di sisi lain, narasi tentang kebudayaan yang dibangun oleh laki-laki seperti dalam kalimat berikut:

“Maka itu semua norma, bahkan peraturan kenegaraan disusun berdasarkan pandangan dari kepentingan laki-laki. Meskipun beragam undang-undang telah menetapkan kesetaraan laki-laki dengan perempuan, banyak peraturan pelaksanaannya yang tetap meletakkan posisi perempuan sebagai bagian dari laki-laki, bukan mitranya. Itulah kebudayaan,”

Pandangan tersebut diperkuat oleh Woolf yang menyatakan bahwa sejarah dan institusi sosial “are all made by men” sehingga pengalaman perempuan jarang dijadikan dasar penyusunan norma. Dalam A Room of One’s Own, ia menunjukkan bahwa perempuan tidak pernah menjadi subjek utama dalam struktur pengetahuan maupun hukum, sebuah ketimpangan yang tercermin jelas dalam cerpen Maria.

Dialog lain yang menunjukkan kontradiksi antara feminisme dan kenyataan sosial yakni pada dialog tokoh Aku:

“Tak kuduga seorang gadis yang emansipatif, masih memerlukan laki-laki yang mampu memerintah dia.”

Kontradiksi ini dapat dipahami melalui konsep Woolf tentang patriarki. Woolf menulis bahwa budaya maskulin membuat perempuan “think back through their mothers” yakni memandang diri melalui nilai yang diwariskan masyarakat, bukan berdasarkan kebebasan personal. Artinya, kebutuhan untuk “diatur laki-laki” bukan sekadar keinginan pribadi, tetapi akibat konstruksi sosial yang mengakar. Narasi dalam cerpen juga memaparkan bagaimana perempuan sering dipandang sebagai objek seksual oleh laki-laki, seperti terlihat dalam kalimat:

“Menurut hematku, jalannya yang menantang sehingga buah dadanya kian provokatif dan badannya yang gempal, yang menjadikan faktor utamanya. Rambutnya yang ikal semarak, merah gincu bibirnya dan raut alisnya yang lengkung, menjadi daya pikat tersendiri.”

Objektifikasi ini sesuai dengan gagasan Woolf bahwa perempuan sering dijadikan cermin bagi laki-laki, yaitu objek yang dipakai untuk menegaskan harga diri dan superioritas maskulin. Dengan demikian, tubuh perempuan tampil bukan sebagai subjek, tetapi alat atau objek untuk memenuhi hasrat laki-laki, persis seperti kritik Woolf terhadap budaya patriarki. Selain itu, kesetaraan yang digambarkan dalam narasi:

“Orang-orang yang berdesakan macam itik keluar kandang itu memberi jalan kepadanya seraya memelototkan mata seperti hendak lepas dari kelopaknya. Laki-laki perempuan berbuat sama,”

Menunjukkan bahwa tingkah laku laki-laki dan perempuan bertindak setara, tetapi dalam ranah pandangan dan penghormatan, ketimpangan itu tetap ada. Hal ini menandakan bahwa kata “kesetaraan” disalah pahami dan ditunjukkan dalam tingkah laku yang dianggap setara, tetapi sebenarnya malah menyimpang dari esensi feminisme yang dijunjung Woolf. Kesetaraan harus mengacu pada penghargaan dan keadilan sejati, bukan sekadar kesamaan dalam hal tindakan.

Cerpen “Maria” karya A.A. Navis menunjukkan bagaimana ketimpangan gender dan dominasi patriarki bekerja dalam ruang domestik, profesional, dan kultural. Melalui kritik Maria terhadap pembagian kerja domestik, perilaku seksual atasan laki-laki, serta norma sosial yang mengutamakan kepentingan maskulin, cerpen ini mengungkap struktur kuasa yang menempatkan perempuan sebagai objek. Membaca cerpen ini melalui perspektif Virginia Woolf memperlihatkan bahwa ketidakadilan tersebut bukan sekadar persoalan individual, tetapi bagian dari sistem patriarki yang telah lama mengatur ruang sosial.

Woolf menegaskan bahwa perempuan selama berabad-abad berfungsi sebagai “cermin” yang memperbesar dan menegaskan ego laki-laki sehingga pengalaman perempuan selalu diposisikan di pinggir. Kemunculan kontradiksi dalam diri tokoh perempuan juga menegaskan penghayatan nilai patriarkal yang dibahas Woolf sebagai warisan budaya yang mengikat perempuan dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, cerpen Maria tidak hanya menyajikan kritik sosial, tetapi juga memperkuat relevansi teori feminisme khususnya pemikiran Woolf dalam memahami bagaimana struktur patriarki terus beroperasi dan mempengaruhi kehidupan perempuan dalam masyarakat.

Tags: #Nikicha Myomi Chairanti
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Keterlibatan TNI dalam Program MBG: Kebijakan Tepat atau Alasan Politik?

Berita Sesudah

Puisi-puisi Indri Rahmadani

Berita Terkait

Keterlibatan TNI dalam Program MBG: Kebijakan Tepat atau Alasan Politik?

Keterlibatan TNI dalam Program MBG: Kebijakan Tepat atau Alasan Politik?

Minggu, 07/12/25 | 16:00 WIB

  Oleh: Derry Sanjaya (Mahasiswa Departemen Adminsitrasi Publik Universitas Andalas) Badan Gizi Nasional (BGN) dibentuk untuk menjadi lembaga pusat yang...

Hari Guru dan Tantangan Mendidik Generasi Alpha

Hari Guru dan Tantangan Mendidik Generasi Alpha

Kamis, 04/12/25 | 14:27 WIB

Hari Guru dan Tantangan Mendidik Generasi Alpha Oleh : Fatma Hayati, M.Pd November menjadi bulan yang istimewa bagi hampir seluruh...

Jejak Sastra Melayu Klasik dalam Kehidupan Masyarakat Lampau

Jejak Sastra Melayu Klasik dalam Kehidupan Masyarakat Lampau

Minggu, 30/11/25 | 15:11 WIB

Oleh: Noor Alifah (Mahasiswi Sastra Indonesia dan Anggota Labor Penulisan Kreatif FIB Universitas Andalas)   Salah satu karya sastra tertua...

Luka Peperangan Musim Gugur pada Cerpen “Tepi Shire” Karya Tawaqal M. Iqbal

Luka Peperangan Musim Gugur pada Cerpen “Tepi Shire” Karya Tawaqal M. Iqbal

Minggu, 23/11/25 | 06:57 WIB

Oleh: Fatin Fashahah (Mahasiswa Prodi Sastra dan Anggota Labor Penulisan Kreatif Universitas Andalas)   Musim gugur biasanya identik dengan keindahan....

Sengketa Dokdo: Jejak Sejarah dan Pelajaran untuk Masa Kini

Sengketa Dokdo: Jejak Sejarah dan Pelajaran untuk Masa Kini

Minggu, 16/11/25 | 13:49 WIB

Oleh: Imro’atul Mufidah (Mahasiswa S2 Korean Studies Busan University of Foreign Studies, Korea Selatan)   Kebanyakan mahasiswa asing yang sedang...

Puisi-puisi M. Subarkah

Budaya Overthinking dan Krisis Makna di Kalangan Gen Z

Minggu, 16/11/25 | 13:35 WIB

Oleh: M. Subarkah (Mahasiswa Prodi S2 Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)   Di tengah gemerlap dunia digital dan derasnya...

Berita Sesudah
Puisi-puisi Indri Rahmadani

Puisi-puisi Indri Rahmadani

POPULER

  • Bupati JFP dan Wabup Candra Apresiasi Aksi Cepat IMLG-RTIK Sumbar Bantu Korban Bencana

    Bupati JFP dan Wabup Candra Apresiasi Aksi Cepat IMLG-RTIK Sumbar Bantu Korban Bencana

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tim Lupak Satresnarkoba Polres Dharmasraya Ringkus Dua Pengedar Ganja di Jalan Lintas Sumatra Gunung Medan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Walhi Sumbar Kritik Keras Pernyataan Gubernur: Pemprov dan KLHK “State Actors” Utama Bencana Ekologis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kejaksaan Dharmasraya Tetapkan Satu Tersangka Korupsi BKD, Rugikan Negara Rp589 Juta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Diduga Buang Limbah ke Sungai, PT Dharmasraya Lestarindo Jadi Sorotan Warga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Kata “bapak” dan “ibu” Harus Ditulis dalam Huruf Kapital ?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Walikota Padang Terima Kunjungan Wakil Duta Besar UEA

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024