
Oleh: Nikicha Myomi Chairanti
(Mahasiswa Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Cerpen “Maria” (1999) karya A.A. Navis menghadirkan dialog dan narasi yang tajam dan kritis mengenai ketidaksetaraan gender dan dominasi patriarki dalam masyarakat. Narasi tersebut menggambarkan perjuangan perempuan untuk memperoleh hak dan kesempatan yang setara dengan laki-laki, sekaligus menentang berbagai bentuk pelecehan dan penindasan yang mereka hadapi. Sejalan dengan semangat feminisme yang mengedepankan kesetaraan dan keberanian perempuan untuk melawan penindasan, cerita ini memperlihatkan realitas pahit yang kerap dialami perempuan. Salah satu dialog yang menggambarkan kritik sosial adalah ketika tokoh Maria mengatakan:
“Aku ingin rumah bersih, halaman bersih. Apa salahnya kalau aku mengerjakannya? Begitu pun pekerjaan dapur. Tapi jangan anggap itu pekerjaan khusus perempuan.”
Sebagaimana ditegaskan Woolf dalam A Room of One’s Own, “a woman must have money and a room of her own if she is to write fiction.” Kutipan ini bukan hanya tentang ruang fisik, tetapi simbol kebebasan perempuan dari batasan domestik yang dibentuk budaya patriarki. Pandangan ini mendukung kritik Maria bahwa pembagian kerja rumah tangga bukan kodrat, melainkan konstruksi sosial. Lebih lanjut saat Maria menguatkan argumennya:
“Perbedaan antara laki-laki dengan perempuan hanyalah biologis. Tapi tidak dalam fungsi sosial,” katanya menguatkan pendiriannya.
Kalimat itu menegaskan bahwa pembagian fungsi bukan sesuatu yang tetap dan tidak kaku terhadap tradisi yang sebenarnya menjelma menjadi kekangan. Pemikiran ini sangat selaras dengan konsep Virginia Woolf yang menuntut perempuan memiliki ruang dan kesempatan yang setara untuk berkembang, bukan dibatasi oleh norma sosial patriarki. Maria secara tegas juga mengkritik sikap dominasi dan pelecehan yang dilakukan laki-laki di tempat kerja. Ia bertanya:
“Mengapa setiap atasan mesti memperlihatkan keperkasaannya? Padahal, mereka toh sama jadi orang gajian negara? Mengapa laki-laki tidak memandang pegawai perempuan itu sama dengan laki-laki secara sosial? Kalau saling jatuh cinta, itu normal. Tapi, jika ingin menggagahi atau menyalurkan birahi, sungguh tidak beradab.” Komentar Maria dengan perasaan getir.
Kritik Maria ini sejalan dengan analisis Woolf mengenai dominasi laki-laki dalam ruang publik. Woolf menuliskan bahwa perempuan selama berabad-abad “have served all these centuries as looking-glasses possessing the magic and delicious power of reflecting the figure of man at twice its natural size.” Pandangan Woolf ini menegaskan bahwa perilaku atasan laki-laki di kantor merupakan bagian dari struktur kuasa yang mengagungkan maskulinitas dan merendahkan perempuan. Namun, cerpen ini juga menyajikan dialog-dialog yang kontradiktif yang menampilkan kompleksitas realitas sosial, misalnya tokoh Aku yang menyindir:
“Ya, memang terlalu. Tapi perempuan juga terlalu, kalau perempuan yang jatuh, apalagi laki-laki, tidak ada perempuan mau menolong. Itu pekerjaan laki-laki, kata mereka,”
Kalimat itu mengindikasikan stereorotip yang lumrah dalam masyarakat. Begitu juga dengan pernyataan:
“Kalau tidak ada respons atau pancingan dari perempuan, laki-laki tidak akan bisa berbuat apa-apa?” kataku tanpa bermaksud membela si Tajak.
Pertanyaan yang sekaligus pernyataan untuk divalidasi oleh tokoh Aku menunjukkan bagaimana norma sosial dan tanggung jawab moral seringkali dipinggirkan atau dipertanyakan oleh lelaki dalam dinamika gender. Di sisi lain, narasi tentang kebudayaan yang dibangun oleh laki-laki seperti dalam kalimat berikut:
“Maka itu semua norma, bahkan peraturan kenegaraan disusun berdasarkan pandangan dari kepentingan laki-laki. Meskipun beragam undang-undang telah menetapkan kesetaraan laki-laki dengan perempuan, banyak peraturan pelaksanaannya yang tetap meletakkan posisi perempuan sebagai bagian dari laki-laki, bukan mitranya. Itulah kebudayaan,”
Pandangan tersebut diperkuat oleh Woolf yang menyatakan bahwa sejarah dan institusi sosial “are all made by men” sehingga pengalaman perempuan jarang dijadikan dasar penyusunan norma. Dalam A Room of One’s Own, ia menunjukkan bahwa perempuan tidak pernah menjadi subjek utama dalam struktur pengetahuan maupun hukum, sebuah ketimpangan yang tercermin jelas dalam cerpen Maria.
Dialog lain yang menunjukkan kontradiksi antara feminisme dan kenyataan sosial yakni pada dialog tokoh Aku:
“Tak kuduga seorang gadis yang emansipatif, masih memerlukan laki-laki yang mampu memerintah dia.”
Kontradiksi ini dapat dipahami melalui konsep Woolf tentang patriarki. Woolf menulis bahwa budaya maskulin membuat perempuan “think back through their mothers” yakni memandang diri melalui nilai yang diwariskan masyarakat, bukan berdasarkan kebebasan personal. Artinya, kebutuhan untuk “diatur laki-laki” bukan sekadar keinginan pribadi, tetapi akibat konstruksi sosial yang mengakar. Narasi dalam cerpen juga memaparkan bagaimana perempuan sering dipandang sebagai objek seksual oleh laki-laki, seperti terlihat dalam kalimat:
“Menurut hematku, jalannya yang menantang sehingga buah dadanya kian provokatif dan badannya yang gempal, yang menjadikan faktor utamanya. Rambutnya yang ikal semarak, merah gincu bibirnya dan raut alisnya yang lengkung, menjadi daya pikat tersendiri.”
Objektifikasi ini sesuai dengan gagasan Woolf bahwa perempuan sering dijadikan cermin bagi laki-laki, yaitu objek yang dipakai untuk menegaskan harga diri dan superioritas maskulin. Dengan demikian, tubuh perempuan tampil bukan sebagai subjek, tetapi alat atau objek untuk memenuhi hasrat laki-laki, persis seperti kritik Woolf terhadap budaya patriarki. Selain itu, kesetaraan yang digambarkan dalam narasi:
“Orang-orang yang berdesakan macam itik keluar kandang itu memberi jalan kepadanya seraya memelototkan mata seperti hendak lepas dari kelopaknya. Laki-laki perempuan berbuat sama,”
Menunjukkan bahwa tingkah laku laki-laki dan perempuan bertindak setara, tetapi dalam ranah pandangan dan penghormatan, ketimpangan itu tetap ada. Hal ini menandakan bahwa kata “kesetaraan” disalah pahami dan ditunjukkan dalam tingkah laku yang dianggap setara, tetapi sebenarnya malah menyimpang dari esensi feminisme yang dijunjung Woolf. Kesetaraan harus mengacu pada penghargaan dan keadilan sejati, bukan sekadar kesamaan dalam hal tindakan.
Cerpen “Maria” karya A.A. Navis menunjukkan bagaimana ketimpangan gender dan dominasi patriarki bekerja dalam ruang domestik, profesional, dan kultural. Melalui kritik Maria terhadap pembagian kerja domestik, perilaku seksual atasan laki-laki, serta norma sosial yang mengutamakan kepentingan maskulin, cerpen ini mengungkap struktur kuasa yang menempatkan perempuan sebagai objek. Membaca cerpen ini melalui perspektif Virginia Woolf memperlihatkan bahwa ketidakadilan tersebut bukan sekadar persoalan individual, tetapi bagian dari sistem patriarki yang telah lama mengatur ruang sosial.
Woolf menegaskan bahwa perempuan selama berabad-abad berfungsi sebagai “cermin” yang memperbesar dan menegaskan ego laki-laki sehingga pengalaman perempuan selalu diposisikan di pinggir. Kemunculan kontradiksi dalam diri tokoh perempuan juga menegaskan penghayatan nilai patriarkal yang dibahas Woolf sebagai warisan budaya yang mengikat perempuan dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian, cerpen Maria tidak hanya menyajikan kritik sosial, tetapi juga memperkuat relevansi teori feminisme khususnya pemikiran Woolf dalam memahami bagaimana struktur patriarki terus beroperasi dan mempengaruhi kehidupan perempuan dalam masyarakat.








