
Oleh: Derry Sanjaya
(Mahasiswa Departemen Adminsitrasi Publik Universitas Andalas)
Badan Gizi Nasional (BGN) dibentuk untuk menjadi lembaga pusat yang mengoordinasikan kebijakan gizi nasional, menetapkan standar nutrisi, serta mengawasi implementasi program besar seperti Makan Gizi Gratis (MBG). Sebagai lembaga teknokratik, BGN seharusnya berisi para ahli nutrisi, epidemiolog, pakar pangan, peneliti kesehatan masyarakat, dan birokrat sipil yang memiliki kompetensi teknis. Namun, masuknya figur-figur berlatar belakang militer dalam struktur lembaga ini memunculkan pertanyaan besar mengenai urgensi dan motif di balik keputusan tersebut.
Pemerintah mungkin berargumen bahwa TNI memiliki kemampuan manajerial, kedisiplinan, serta pengalaman mengelola operasi skala nasional. Namun, konteks kerja BGN sangat berbeda dengan operasi militer. Pengelolaan gizi bukanlah persoalan keamanan negara, melainkan persoalan teknis kesehatan masyarakat yang memerlukan keahlian berbasis riset dan ilmu. Oleh karena itu, sulit menemukan dasar urgensi yang kuat bagi penempatan perwira aktif maupun purnawirawan TNI dalam jabatan strategis di BGN. Argumen kedisiplinan saja tidak cukup untuk menggantikan kebutuhan akan kompetensi ilmiah.
Alih-alih berbasis kebutuhan teknis dan pelibatan orang-orang TNI dalam BGN lebih tampak sebagai keputusan politis. BGN adalah lembaga baru dengan anggaran besar dan peran krusial dalam program unggulan pemerintah. Dalam dinamika politik Indonesia, lembaga besar seperti ini sering menjadi ruang penempatan figur yang dianggap perlu untuk diamankan oleh pemerintah. Dengan memasukkan unsur militer, pemerintah bisa memastikan kontrol yang lebih kuat atas lembaga dan program yang menjadi sorotan publik. Pendekatan seperti ini mengirimkan sinyal bahwa stabilitas politik dan kepentingan pemerintah mungkin lebih diutamakan dibandingkan kebutuhan teknokratis lembaga.
Keterlibatan TNI di BGN juga menimbulkan kekhawatiran melemahnya batas antara ranah sipil dan militer. Indonesia memiliki sejarah panjang pengaruh militer dalam institusi sipil. Ketika lembaga teknis seperti BGN diisi oleh aktor militer, ada risiko normalisasi kembali peran militer dalam pengambilan kebijakan sosial. Keadaan ini dapat memperlambat proses profesionalisasi birokrasi serta menghambat upaya memperkuat institusi sipil yang selama ini masih membutuhkan pembenahan.
Selain itu, penempatan personil TNI di BGN berpotensi mengurangi keterbukaan dan objektivitas dalam perumusan kebijakan gizi. Kebijakan gizi memerlukan pendekatan berbasis bukti, analisis ilmiah, dan riset nutrisi yang mendalam. Ketika jabatan-jabatan strategis ditempati oleh figur yang bukan berasal dari disiplin ilmu terkait, keputusan yang dihasilkan bisa dipengaruhi oleh pertimbangan politik dan kepentingan institusional, bukan lagi oleh data ilmiah. Hal ini berbahaya karena menyangkut hajat hidup masyarakat luas, terutama anak-anak yang menjadi sasaran program MBG.
Di sisi lain, kehadiran figur militer dalam BGN juga mereduksi ruang bagi para ahli sipil. Lembaga baru seperti BGN seharusnya menjadi wadah bagi para pakar nutrisi dan ahli kesehatan masyarakat untuk mendorong inovasi dan memperkuat bukti ilmiah dalam kebijakan. Ketika posisi penting justru diisi oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang keilmuan gizi, momentum penguatan institusi bisa terganggu. Kultur kerja ala militer yang hierarkis juga belum tentu cocok dengan dunia penelitian dan kebijakan gizi yang membutuhkan fleksibilitas dan pendekatan partisipatif.
Meski demikian, bukan berarti TNI tidak boleh terlibat sama sekali dalam pelaksanaan Program MBG. Peran mereka tetap sejalan dalam konteks tertentu, misalnya memperlancar distribusi logistik di wilayah 3T (terpencil, terluar, dan tertinggal) atau membantu pemerintah daerah yang mengalami keterbatasan infrastruktur. Peran tersebut semestinya berada di luar struktur inti BGN. Keterlibatan sebagai eksekutor lapangan tidak harus diterjemahkan menjadi penempatan figur militer di dalam lembaga perumus kebijakan.
Pada akhirnya, urgensi keterlibatan TNI dalam Badan Gizi Nasional perlu diuji secara terbuka. Apakah benar diperlukan untuk meningkatkan efektivitas lembaga atau sekadar pengisian posisi strategis demi kepentingan politik? Tanpa alasan yang jelas dan berbasis kebutuhan teknis, publik wajar meragukan keputusan ini. Jika tidak hati-hati, langkah ini justru dapat mengurangi kualitas kebijakan gizi nasional dan menghambat tujuan utama yang ingin dicapai oleh MBG itu sendiri.







