Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Minggu lalu, di rubrik Renyah, saya menulis tentang pengalaman mencuci pakaian—aktivitas sederhana yang diam-diam menyimpan banyak pelajaran hidup. Tema ini sebenarnya muncul bukan tanpa sebab. Beberapa minggu sebelumnya, mesin cuci bermasalah. Dan di situlah, kenangan lama tentang masa kuliah, saat mencuci adalah ritual penuh drama antara kemalasan dan kewajiban muncul kembali, seolah ingin diingat dan dibagikan lagi.
Tapi lucunya, setelah lulus kuliah dan mulai sibuk dengan dunia kerja, kebiasaan menumpuk cucian itu malah berkembang jadi seni manajemen krisis. Bedanya, kalau dulu menunda karena malas, sekarang karena kelelahan. Rasanya hari-hari dihabiskan untuk mengejar deadline kerjaan. Jadilah cucian menumpuk bukan lagi karena “nanti aja deh”, tapi lebih ke “kapan ya ada waktu?”.
Namun seperti yang sudah-sudah, waktu luang selalu datang seperti hujan sore, tak bisa dipastikan, tapi saat datang, ia membawa aroma segar. Dan di sanalah saya, kembali berdiri di depan ember tua, membuka satu per satu baju yang menyimpan cerita, kemeja yang dipakai saat presentasi penting, kaos oblong penuh keringat selepas lari sore, atau celana training yang jadi saksi momen rebahan paling jujur minggu lalu.
Ajaibnya, kegiatan mencuci ini tetap punya efek yang sama. Saat mengucek pikiran pun mulai semrawut. Pikiran-pikiran yang semrawut pelan-pelan luruh bersama kotoran di kain. Ada semacam rasa tenang yang tak bisa didapat dari scrolling media sosial.
Kadang saya berpikir, mungkin perlu kiranya ada rutinitas sederhana yang memaksa untuk diam sejenak, kemudian menyelesaikan persoalan satu per satu. Bukan demi hasil yang instan, tapi demi rasa utuh sebagai manusia yang kadang bisa kalut, kadang juga bisa pulih lewat hal-hal remeh.
Dan di akhir cucian itu saya tersentak, mulai menyadari bahwa kebahagiaan datang dari menyelesaikan hal-hal kecil. Ia hadir dari tangan yang mau bekerja, hati yang mau menghadapi, dan semangat kecil yang tak mau menyerah walau hanya demi setumpuk baju kotor. Siapa sangka, dari sekian banyak drama kehidupan orang dewasa, tagihan listrik, saldo dompet yang gampang tersinggung, justru cucianlah yang paling jujur dan setia menunggu kita pulang. Ia tak pernah mengeluh, hanya diam menumpuk di pojokan, mengirimkan aroma halus sebagai pengingat.