Lastry Monika
(Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand)
Minggu lalu, pada 9 Maret 2025, saya menulis tentang makna dari urang balakang dan bagaimana istilah ini digunakan dalam kehidupan keseharian. Namun, masih ada hal-hal yang ingin saya ungkapkan lebih lanjut mengenai topik tersebut. Bagi saya, urang balakang adalah sosok yang sering luput dari perhatian, padahal peran mereka begitu penting di balik setiap keberhasilan yang dirayakan.
Menariknya, urang balakang tidak hanya mencerminkan peran-peran yang tersembunyi, tetapi juga cara masyarakat memandang kekuatan di balik layar. Apakah urang balakang adalah pilar yang menopang kesuksesan, atau justru bayang-bayang yang meragukan keabsahan sebuah pencapaian?
Urang balakang bukan sekadar istilah yang meluncur begitu saja dalam percakapan. Ia menyimpan lapisan makna yang tidak selalu tampak di permukaan. Dalam satu sisi, ia bisa bermakna netral, bahkan positif mengacu pada orang-orang yang bekerja dalam diam, yang keberadaannya mungkin luput dari perhatian, tapi perannya begitu vital. Namun, di sisi lain, ia juga bisa mengandung nada sinis, sebagai tanda tanya akan keabsahan sebuah pencapaian, seolah keberhasilan seseorang tak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu ada sosok lain di baliknya.
Menariknya, dalam kehidupan sosial orang Minangkabau, urang balakang justru sering kali memiliki pengaruh yang lebih besar daripada mereka yang tampil di depan. Ada ungkapan yang menyatakan “nan nampak di muko alun tantu itu nan di balakang”. Ini menegaskan bahwa sistem sosial dan budaya Minangkabau tidak hanya berorientasi pada siapa yang terlihat, tetapi juga siapa yang bekerja dalam diam.
Saya sendiri pernah mengalami bagaimana urang balakang menjadi bagian dari dinamika kehidupan. Suatu ketika, dalam sebuah organisasi kampus, ada seseorang yang selalu berada di balik layar, memastikan segala sesuatu berjalan lancar tanpa pernah sekalipun menonjolkan diri. Ketika acara sukses, nama-nama yang disebut sebagai panitia inti adalah mereka yang tampil di depan, berbicara di panggung, atau berinteraksi langsung dengan peserta.
Namun, tanpa orang yang bekerja di balik layar atau si “urang balakang” itu, acara mungkin tak akan berjalan sebagaimana mestinya. Ironisnya, di lain waktu, istilah ini justru digunakan untuk mempertanyakan kredibilitas seseorang, seperti ketika seorang teman memenangkan kompetisi, dan muncul komentar, “sia urang balakangnyo tu?”. Seolah tanpa dukungan dari seseorang di balik layar, keberhasilannya tak mungkin terjadi.
Pada akhirnya, apakah seseorang berada di depan atau di belakang bukanlah ukuran mutlak atas nilai dan perannya. Dunia ini bergerak bukan hanya oleh mereka yang terlihat, tetapi juga oleh tangan-tangan tak tampak yang bekerja dalam senyap. Maka, yang lebih penting dari sekadar mencari siapa urang balakang adalah bagaimana kita tetap bergerak, berkarya, dan berkontribusi, entah dari depan atau dari belakang.