Cerpen: Abdurrahman Amato
1
“Jadi, apa kamu sudah menyelesaikan artikel tentang karier impianmu, Ai?” Mama berkata sembari mencuci piring dan gelas kami di wastafel.
“Belum, Ma. Aku masih belum memutuskan akan menjadi apa nanti. Aku ingin seperti Mama, menjadi seorang perawat sehingga bisa membantu orang lain untuk sembuh dari penyakitnya, tetapi aku juga ingin seperti Papa, menjadi seorang penulis sehingga bisa memiliki waktu lebih banyak untuk keluarga.”
“Hehehe. Kamu terkadang lupa bahwa mama sekarang bertugas di unit gawat darurat, Ai. Tugas mama memberi pertolongan pertama kepada pasien yang datang ke rumah sakit, bukan perawat yang membantu pasien sembuh dari penyakitnya. Mengapa harus membatasi pilihanmu kepada dua pilihan itu, Ai? Bukannya masih banyak profesi lain yang bisa kamu pilih di luar sana? Bukannya begitu, Pa?” Mama menoleh kepada Papa.
“Iya. Karier yang kamu pilih adalah jati dirimu, Ai. Kamu akan menghabiskan diri lebih banyak bersamanya. Jadi pilihlah karier yang nanti akan membahagiakanmu. Bukan karena Papa adalah seorang penulis sehingga kamu juga ingin menjadi seorang penulis. Bukan karena mama adalah seorang perawat sehingga kamu memilih untuk menjadi seorang perawat.” Papa berkata.
Aku mengganggukkan kepala kepada mama dan papa. Pada dasarnya, papa adalah seorang pendiam, tetapi ketika aku atau mama meminta pendapatnya, dia bisa berbicara panjang lebar yang terkadang ketika dia sadari membuatnya malu.
Mama mengeringkan tangannya dengan kain lap di rak piring dan membuka celemek dari badannya. Papa bangkit dari kursinya, “Mama kamu sudah siap, sebaiknya Papa mengeluarkan mobil dari garasi ya.”
“Kamu mau ikut mengantar Mama ke rumah sakit, Ai?”
“Tentu saja, Ma. Besok hari minggu, sehingga tidak apa-apa jika aku tidur agak larut.” Aku berkata kepada mama yang akan berdinas di rumah sakit malam ini.
Mama tersenyum dan mengusap kepalaku. “Oh, waktu begitu cepat berlalu. Baru kemarin rasanya Mama menggendongmu, sekarang kamu akan segera tamat sekolah menengah atas dan segera melanjutkan kuliah. Tidak lama lagi, Papa dan Mama akan kembali hidup berdua. Kamu tentu akan memilih kuliah di luar kota atau ke Pulau Jawa.”
“Belum tentu, Ma. Siapa tahu aku memutuskan untuk kuliah di kota ini. Aku tidak tahu apa aku bisa jauh dari Mama dan Papa.”
Sekali lagi mama tersenyum dan memelukku. Pelukan yang ternyata menjadi pelukan terakhir dari mama. Di luar, aku dengar klakson mobil dari papa memberi tahu kami untuk segera menyusulnya keluar.
2
“Mamamu tidak akan pulang hari ini, Ai.” Begitu kata papa ketika dia pulang sendirian dari rumah sakit menjemput mama.
“Kenapa dengan Mama, Pa?” Aku bertanya karena terkejut dengan berita yang dibawa papa.
“Salah seorang pasien yang ditangani Mama tadi malam ternyata adalah pasien yang terjangkit virus covid-19. Dia datang dengan keluhan sesak napas ke unit gawat darurat tempat mama bertugas. Pasien yang kemudian menularkannya kepada Mama. Untuk sementara waktu, mama harus diisolasi di rusunawa milik pemerintah daerah. Ayo kita siapkan baju dan perlengkapan yang akan dibutuhkan mama di sana.”
“Apakah mama akan baik-baik saja, Pa?”
“Semoga saja, Ai. Yang dapat kita lakukan sekarang adalah berdo’a untuk kesembuhannya.” Papa berkata dengan suara bergetar.
Aku mengikuti papa ke kamar untuk menyiapkan segala sesuatu yang mungkin akan diperlukan oleh mama. Aku tidak begitu mengikuti berita tentang virus covid-19. Ternyata, virus ganas itu telah menyebar ke kota ini. Mamaku sendiri telah terjangkit virus itu. Oh Tuhan, berilah kesembuhan kepada Mama.
3
“Ai, mamamu telah pergi. Mamamu tidak tertolong.” Sekali lagi, papa membawa berita yang meremukkan seluruh tulang di tubuhku. Tidak pernah terbayang olehku bahwa mama akan mendahului kami pergi, meniggalkan diriku dan papa.
“Ayo kita ke Bungus, Nak. Prosesi pemakaman mama akan dilakukan sendiri oleh tenaga kesehatan. Kita hanya dapat mengunjungi makamnya setelah prosesi pemakamannya selesai.” Suara papa jelas sekali bergetar. Aku hanya mengangguk, berusaha keras mengangkat tubuhku untuk mengikuti papa.
4
Mama, untuk pertama kalinya aku melihat papa menangis. Selama ini, aku beranggapan bahwa papa adalah lelaki terkuat yang pernah aku kenal. Lelaki yang tidak pernah mengeluh atau bersedih, tetapi kehilanganmu sepertinya menghancurkan benteng di dalam dirinya. Dia menangis di makammu. Mungkin setiap orang juga akan seperti itu ketika kehilangan orang yang paling mereka cintai. Cinta sejatinya adalah dirimu. Ketika dia kehilanganmu, menjadikan dirinya seperti kehilangan separuh napasnya.
Mama, aku masih belum memutuskan untuk menjadi apa. Pilihanku masih tetap sama; menjadi seorang perawat seperti dirimu atau menjadi seorang penulis seperti papa. Akan tetapi, aku ingin tetap di kota ini. Aku tidak ingin meninggalkan papa sendiri. Seperti dirimu, aku ingin merawat dirinya yang ternyata begitu rapuh.
5
“Jadi, sudahkan kamu memutuskan untuk menjadi apa, Ai?” Papa tiba-tiba bertanya ketika aku mencuci piring-piring kotor sehabis kami makan malam. Seminggu sudah mama meninggalkan kami. Keberadaanya masih terasa di sini.
“Belum, Pa. Aku diperbolehkan untuk tidak mengumpulkan artikel tentang karir impianku itu, Pa. Guru Bahasa Indonesia-ku memberiku kelonggaran karena meninggalnya mama.” Jawabku.
“Ya, meskipun begitu. Kamu harus tetap menentukan pilihan kan, Ai? Kamu telah sampai pada usia yang paling menentukan dalam hidupmu. Apa yang akan kamu pilih dalam tiga atau empat tahun mendatang akan menentukan jalan hidupmu selanjutnya. Seperti papa bilang sebelumnya, karir pilihanmu adalah jati dirimu. Jadi, apa pun yang kamu pilih, kamu harus mulai mendedikasikan hidupmu ke arah sana. Agar karier yang kamu pilih memberimu kepuasan.”
“Menurut Papa, bagaimana jika aku memilih menjadi seorang perawat seperti mama?”
“Bagus sekali. Mamamu pasti akan bangga.” Papa menjawab.
“Benarkah, Pa? Apa Papa tidak takut jika nanti aku akan terjangkit penyakit yang mungkin juga akan menewaskanku?”
Papa terdiam sejenak. “Mengapa kamu bertanya seperti itu, Ai? Kematian adalah jalan yang pasti akan kita lalui. Cepat atau lambat, maut pasti akan menjemput. Hanya waktu dan bagaimana kita akan mati yang tidak pernah kita tahu. Tugas kita adalah memberikan yang terbaik terhadap satu-satunya hidup yang diberikan Tuhan kepada kita. Salah satunya adalah dengan memilih karier yang akan kita jalani dengan sepenuh hati. Papa yakin mama pun tidak pernah menyesal dengan profesi yang telah dia pilih, Ai. Begitu menurut Papa.”
Aku menggangguk. Aku mengeringkan tanganku dengan kain lap yang beberapa waktu lalu digunakan oleh mama. Aku terus memikirkan perkataan papa. Aku tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya. Aku sampai pada titik yang menentukan dalam hidupku. Apa yang aku pilih sekarang menentukan apa yang akan aku lakukan dengan seluruh hidupku. Mungkin karena itu jugalah mama memilik untuk menjadi perawat. Mama ingin mendedikasikan hidupnya membantu orang lain. Aku teringat, sekali aku pernah bertanya mengapa mama memilih menjadi seorang perawat, bukan memilih menjadi seorang dokter. Sembari tersenyum dia menjawab, “Yah, karena mama ingin memberi bantuan secara langsung kepada mereka yang membutuhkan. Kamu tahu, Ai? Perawatlah yang secara langsung melakukan intervensi untuk kesembuhan pasien. Perawatlah yang mengeksekusi saran-saran dokter. Perawat juga yang akan mendengarkan keluhan-keluhan yang disampaikan oleh pasien. Karena itu menurut mama perawat sama pentingnya dengan dokter. Bedanya perawat lebih dekat dengan pasien.”
Akhirnya aku mengerti dengan apa yang disampaikan mama. Aku memutuskan aku akan mengikuti jalanmu mama. Aku akan menjadi seorang perawat, seperti halnya dirimu yang merawat negeri ini.
Biodata Penulis:
Abdurrahman Amato bekerja sebagai tenaga kependidikan di Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat dan berdomisili di Padang, Sumatera Barat. Nomor ponsel : 081378357375.
Discussion about this post