Rizky Amelya Furqan
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Kehidupan manusia selalu berkembang dari waktu ke waktu. Jika dahulu, manusia hidup nomaden dan bertahan dengan cara berburu. Namun, sekarang manusia hidup menetap dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Hidup di zaman yang semuanya sudah serba canggih tentu menguntungkan, misalnya jika sedang lapar semuanya bisa didapatkan dengan satu kali klik. Kemudian, pesanan diantarkan sampai ke depan rumah. Hal ini, tentu menyebabkan manusia tumbuh dengan hal-hal yang bersifat real.
Keadaan kehidupan masyarakat modern tentu berdampak terhadap tradisi kehidupan masyarakat yang telah ada sebelumnya. Pada masa tradisional, masyarakat percaya dengan hal-hal yang bersifat magis, misalnya ketika sakit si ibu akan mengajak si anak untuk berobat ke dukun, bukan ke dokter. Namun, pertanyaanya apakah benar pada kehidupan modern masyarakat tidak percaya lagi pada hal-hal yang bersifat magis walaupun sudah dikonstruksi dengan pikiran-pikiran realis.
Norris (2009:6) mengatakan bahwa manusia modern ingin selalu jadi yang paling progresif, paling di depan, dan paling di atas. Secara konseptual, ini adalah hal yang ideal dan luhur, tetapi kenyataan yang acap kali terjadi malah penindasan terhadap sesama manusia dan pemerkosaan alam. Hal ini menjelaskan bahwa kehidupan modern berpikir secara logosentrisme. Selanjutnya, paradigma modern yang demikian tidak memberikan ruang pada yang “di antara”; ada hitam dan putih. Sementara itu, abu-abu disembunyikan atau diabaikan, tidak dibicarakan (bukan berarti tidak ada) karena posisinya yang antara hitam dan putih, tetapi bukan hitam dan bukan putih (Lyotard, 2009:206).
Berdasarkan pendapat Noris dan Lyotard di atas dapat disimpulkan bahwa hal magis dan real menjadi dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan begitu saja. Dengan demikian, keberadaan kedua hal ini menggiring manusia pada kehidupan postmodernisme. Di mana tidak ada lagi kebenaran mutlak terhadap suatu pemikiran, ada hal “abu-abu” yang tidak bisa ditentukan benar atau salahnya, misalnya ketika seorang ibu yang memiliki pendidikan tinggi dan berfikir secara realis, tetapi ketika mendapati anaknya tiba-tiba sakit sepulang bermain pada pukul 12.00 siang menganggap anaknya tasapo (sakit karena diganggu jin, kepercayaan masyarakat Sumatera Barat). Pemikiran tersebut membuktikan bahwa tradisi atau kepercayaan yang sudah turun-temurun hidup di dalam masyarakat tidak bisa dilupakan begitu saja walaupun pada hakikatnya manusia sudah dikonstruksi oleh paham-paham realis.
Hal ini, tidak hanya hidup pada kehidupan masyarakat saat ini, tetapi juga memengaruhi perkembangan karya sastra karena pada dasarnya karya sastra hadir sebagai refleksi dari kehidupan masyarakatnya. Tradisi yang ada dalam masyarakat seringkali menjadi topik utama yang dibahas dalam karya sastra realisme magis. Salah satunya karya-karya Khrisna Pabichara yang membahas tentang parakang baik dalam novel Natisha Persembahan Terakhir ataupun Gadis Pakarena. Menurut kepercayaan masyarakat Sulawesi, parakang adalah manusia yang bisa berubah bentuk menjadi pohon pisang, harimau, keranjang, dan sebagainya. Parakang salah satunya hadir ketika ada orang yang akan meninggal maka darah dari ubun-ubunnya akan dihisap.
Natisha Persembahan Terakhir adalah novel karya Khrisna Pabichara pada tahun 2016. Novel ini melanjutkan secara detail terkait kisah Rangka dan Tutu yang ada dalam kumpulan cerpen Gadis Pakarena yang ditulis oleh Khrisna Pabichara pada tahun 2012. Novel Natisha Persembahan Terakhir menjadi menarik karena penggambaran kehadiran magis pada dunia realis yang cukup apik oleh Khirsna Pabichara sehingga pembaca ikut serta percaya pada hal magis yang diceritakan dalam novel. Di satu sisi, kehadiran magis tersebut terasa biasa dan di sisi lain juga menimbulkan keraguan. Hal ini kembali memenuhi paham postmodernisme yang disampaikan oleh Lyotard bahwa selalu ada yang “abu-abu” dalam suatu fenomena. Jika dikaitkan dengan teori realisme magis (magical realism) yang disampaikan oleh Wendi B. Faris maka bisa dikaitkan dengan unsur ketiga, yaitu unsettling doubts (keraguan yang meresahkan atau tak terpecahkan).
Berbicara tentang teori realisme magis yang disampaikan oleh Faris maka kehadiran magis pada dunia real dianggap sebagai fenomena yang biasa saja. Namun, kehadiran magis terkadang masih menimbulkan keraguan karena adanya penyatuan antara hal real dan magis dalam satu kejadian. Di samping itu, peristiwa tersebut dipercayai kejadiannya, tetapi juga akan dipertanyakan benarkah itu terjadi atau itu hanya mimpi. Hal inilah yang memengaruhi juga eksistensi hal magis dalam hal real. Jika keraguan ini tidak hadir maka salah satu dari lima elemen yang dikemukan oleh Faris tidak akan terpenuhi.
Faris menyampaikan ada lima indikator dalam melihat karya Realisme Magis, di antaranya 1). Irreducible Element (elemen yang tak tereduksi); 2). Phenomenal World (dunia yang fenomenal); 3). Unsettling Doubts (keraguan yang tak terelesaikan); 4). Merging Realms (penggabungan dua dunia); dan 5). Disruption of Time, Space, and Identity (gangguan waktu, ruang, dan identitas). Ketika kelima elemen tersebut terpenuhi, sebuah karya sastra dapat digolongkan pada genre realisme magis. Namun, jika salah satunya tidak terpenuhi maka karya sastra tersebut tidak berhasil menjadi sebuah karya yang bergenre realisme magis.
Kelima indikator realisme magis yang disampaikan oleh Wendy B. Faris terdapat dalam novel Natisha Persembahan Terakhir karya Kealisme magis. Dalam novel ini, terlihat bagaimana magis eksis dalam dunia realis. Hal ini digambarkan pada tokoh Tutu yang memiliki kemampuan melihat hal-hal magis dan kehadiran Rangka sebagai parakang mengisi kedudukan irreducible element. Antara satu elemen dengan elemen yang lainnya tentu juga memiliki keterkaitan. Kehadiran elemen yang tidak tereduksi membentuk kemunculan elemen lain, seperti timbul keragu-raguan yang dialami oleh Tutu terhadap apa yang dia lihat. Hal ini tentunya menduduki posisi unsettling doubts, keragu-raguan seringkali muncul karena dipengaruhi oleh teks itu sendiri.
Kehadiran peristiwa yang berisfat irreducible dan unsettling doubts tidak bisa dilepaskan dari kehadiran peristiwa yang tergolong ke dalam phenomenal world. Adanya hal magis dan keragu-raguan itu muncul karena kehadiran hal-hal yang bersifat nyata, misalnya kehadiran tempat-tempat nyata seperti kompleks Makam Kerajaan Binamu. Hal-hal yang bersifat magis sering kali dimunculkan pada tempat-tempat yang nyata seperti ini. Kehadiran kedua elemen inilah yang membentuk peristiwa merging.
Kehadiran hal-hal magis yang dialami oleh tokoh yang berada pada dunia dan pemikiran real secara bersamaan oleh Wendy B. Faris disebut realisme magis sebagai narasi defokalisasi. Kehadiran hal-hal magis pada tokoh Tutu membuatnya tidak sepenuhnya berada pada magis ataupun realisme hal ini membuat ruang baru yang tidak berada pada timur ataupun barat dalam konteks pascakolonial sehingga ada ruang baru yang disebut dengan ruang dekolonisasi.
Analisis mengenai realisme magis tidak berhenti sampai di sana saja. Hal ini disebabkan oleh pendapat Faris yang mangatakan bahwa realisme magis selalu memiliki konteks sosial sehingga lokasi akan mempengaruhi penulis dalam menulis ceritanya. Di dalam novel, diceritakan tentang tradisi masyarakat Sulawesi yang pada dasarnya memang telah dipengaruhi oleh hal magis. Hal inilah yang membangun penulis membuat karya dengan cerita yang ada di dalam masyarakatnya, yaitu parakang sebagai suatu hal yang mungkin sudah mulai dilupakan. Penulis mencoba kembali memunculkan nilai-nilai tradisional yang bersifat magis dan membungkusnya dengan nilai-nilai modern yang bersifat nyata.
Khrisna Pabichara tidak hanya mencoba menampilkan tradisi masyarakat yang berupa narasi magis terkait parakang dan ritual yang dilakukan oleh Rangka dalam menyempurnakan ilmunya sebagai parakang sukkuk, tetapi juga memaparkan narasi real yang bersifat tradisi di dalam masyarakat Sulawesi. Hal inilah yang menyebabkan hal magis tetap eksis di dunia yang bersifat real. Di mana hal magis juga merupakan bagian dari tradisi yang tetap di jalani oleh masyarakat sehingga tidak bisa dilupakan begitu saja.