Puisi-puisi Gibran Harsingki
Kekuatan Sayap yang tak Terlihat
Dalam hening malam yang panjang
Tangan menengadah, hati terurai,
Percikan harapan yang kecil,
Menjadi nyala yang membakar jiwa
Di relung hati yang terdalam
Ada bisikan lembut tak terbantahkan
Doa mengalun dalam sunyi
Menggapai yang maha tinggi
Setiap tetes air mata yang jatuh
Menjadi saksi dari ketulusan hati
Di dalam doa yang terucap lirih
Tersimpan kekuatan tak terperi
Ketika semua terasa mustahil
Dan langkah terasa kian berat
Doa menjadi sayap yang tak terlihat
Membawa jiwa terbang melintasi batas
Di balik segala ketidakmungkinan
Ada kuasa yang tak terjangkau akal
Doa yang tulus menjadi jembatan
Menuju kenyataan yang terwujud nyata
Ketika semua terasa mustahil
Doa dan harapan tak pernah sirna
Menuntun langkah dalam keyakinan
Mengubah mimpi menjadi kenyataan
Kupeluk dalam Doa
Doa, aku mengetuk pintu langit
Memeluk dingin hingga lutut
Lagi-lagi doaku kembali padaku
Hingga kubuka mata tak ada lagi asa baru
Tak tahu mengapa
Tak tahu kenapa
Doa, aku terbang ke angkasa
Semua hanya seonggok cerita
Kumohon hanya sejengkal doa
Kupinta kesempatan kedua
Angkatlah asanya
Hingga waktu tiada
Hingga tak segan kembali
Hingga hidupku tak tergadai
Tuhan kabulkanlah yang kupinta
Jadikanlah doaku itu nyata
Bunga Aksara Untukku
Jelajahku mendera bumi
Menusuk palung raga
Kupastikan menyibak hati
Tertembus peluru jiwa
Aku di antara dendam
Berontak dalam gelap
Terhimpit di antara kelam
Bergulat dalam senyap
Pada sajadah lusuh
Kulepaskan hayati
Pada sang luruh
kupasrahkan nurani
Fajar melipat gelapku
Mentari tersenyum dahaga
Bunga langit untukku
Menyemai bahagia nyata
Tentang Penulis
Gibran Harsingki, seorang yang tengah beranjak dewasa dan memiliki hobi menuangkan ide-ide nya dalam bentuk tulisan. Sekarang ia merupakan mahasiswa aktif di perguruan tinggi. Di luar perkuliahan ia aktif menulis buku kumpulan puisi, antara lain, ketika semua terasa mustahil maka doamu yang merealisasikan, sejuta lisan dan luka. Masjid Syehk Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Padang, Sumatera Barat, 12 November 2024
Berdaya dalam Lirih Doa
Oleh Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Pada sajadah lusuh
Kulepaskan hayati
Pada sang luruh
kupasrahkan nurani
Kedudukan manusia dan sastra memiliki peranan masing-masing. Manusia adalah sebagai pencipta karya sasrta dan karya sastra itu dikembalikan kepada manusia yakni pembaca untuk dinikmati, dihayati, dan bahkan dijadikan sarana pendidikan untuk memperhalus perasaan dan membentuk kepribadian. Dari penilaian yang demikian terhadap karya sastra dan hubungannya dengan manusia, maka jelaslah bahwa antara manusia dengan karya sastra terdapat hubungan yang tak dapat dipisahkan. Kedekatan hubungan antara manusia dan sastra dapat dilihat dari keterangan berikut ini bahwa, sebagaimana halnya kebudayaan atau kesenian, maka sastra sebagai salah satu unsur sastra yang paling dominan dan setia, tiadalah dapat diwujudkan dalam bentuk yang nyata tanpa kehadiran manusia (Ali, 1986).
Sebab diciptakan oleh manusia dan untuk manusia, puisi berhubungan erat dengan realitas kehidupan manusia, tak semata-mata berisi khayalan semu penyair yang lepas selepas-lepasnya dari lingkungan kehidupan sosial yang dihadapi penyair. Sebagai makhluk sosial, apa yang ditulis penyair dapat mewakili pandangan kritisnya terhadap situasi dan kodisi yang terjadi.
Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Dalam perkembangan selanjutnya, makna kata tersebut menyempit menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan (Situmorang, 1980:10).
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga buah puisi dari Gibran Harsingki. Seorang mahasiswa yang suka menulis untuk menuangkan idenya. Ketiga puisi itu berjudul “Kekuatan Sayap yang tak Terlihat”, “Kupeluk dalam Doa”, dan “Bunga Aksara Untukku.”
Puisi-puisi Gibran berisi renungan terhadap kehidupan, lebih khusus tentang upaya seorang insan untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Hal itu dilakukan dengan selalu mengingat sang pencipta ketika melaksanakan aktivitas, menjalankan amal ibadah yang diperintahkan, serta menyampaikan doa permohonan sebagai manifestasi pengakuan kelemahan diri sebagai manusia yang fana terhadap kebesaran Tuhan yang Maha Perkasa dan berkuasa atas segala hal di atas dunia.
Gibran menulis dengan liris, ‘Dalam hening malam yang panjang / Tangan menengadah, hati terurai, / Percikan harapan yang kecil,/ Menjadi nyala yang membakar jiwa’. Pengakuan dari penulis bagaimana doa dan pinta yang disampaikan ke hadirat Tuhan dengan cucuran air mata memberikan kekuatan batin. Di dalam ajaran agama memang sebagai hamba kita dituntun untuk mengiringi segala usaha dan kerja keras perjuangan mencapai tujuan hidup dengan bermunajat kepada-Nya. Sebab, sekeras dan sesempurna apapun usaha yang dikerjakan manusia, tetap juga semua berpulang pada takdir dari Sang Kuasa.
Manusia hanya bisa berikhtiar dengan segala daya dan kreativitas yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi diri yang telah diberikan sebagai ciptaan paling sempurna dibanding makhluk lain, yakni tubuh yang sempurna, akal, pikiran, dan hawa nafsu atas citarasa yang indah menarik, dan dapat memberi kepuasan atau kebahagiaan batiniah. ‘Di balik segala ketidakmungkinan/ Ada kuasa yang tak terjangkau akal/ Doa yang tulus menjadi jembatan / Menuju kenyataan yang terwujud nyata,’ demikian tulis Gibran. Doa yang terkabul adalah kebahagiaan yang tak terhingga nilainya.
Mahayana (2015: 14) berpendapat bahwa puisi bukan sekadar ekspresi perasaan dari suara hati yang terdalam, melainkan pergulatan estetis dan tarik menarik perasaan yang melimpah. Gejolak perasaan tersebut harus dikendalikan dan diintegrasikan pada pemikiran intelektual yang berkualitas. Memaknai pendapat tersebut, puisi tidak hanya memaparkan untaian kata-kata yang tersusun berirama.
Puisi kedua dan ketiga Gibran masih bernuansa sama, yakni sehubungan dengan doa yang merupakan wujud komunikasi hamba dengan Sang Khalik dan refleksi diri manusia yang bergulat dengan pengakuan dosa-dosa yang telah diperbuat lalu bagaimana jiwa menanggung rasa bersalah. Beban yang berkecamuk di malam-malam sunyi bisa juga disebabkan dendam yang belum lunas sehingga mengusik ketenangan pikiran.
Persoalan dengan sesama manusia biasanya memang meninggalkan bekas yang lama sekalipun telah terucap kata-kata maaf di mulut, namun yang terasa di dalam hati siapa yang tahu. Amarah dan perasaan dendam memang harus dilepaskan supaya jiwa menjadi tenang. Dendam dan kebencian menyebabkan dunia terasa sempit, ‘Fajar melipat gelapku/Mentari tersenyum dahaga/ Bunga langit untukku/ Menyemai bahagia nyata.’
Puisi-puisi Gibran cukup intens mengungkapkan dialog reflektif dengan larik-larik yang cukup rapi dan liris. Tulisan renungan hidup yang menarik. []
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.