Bayangan Kebaikan
Cerpen: Zaskia Aurellia
Kabut tipis menyelimuti lereng bukit dengan lembut, membuat kesan dingin menelisik indra perasa. Hijau pepohonan melukis sepanjang perjalanan, dengan ribuan hektar bentang sawah dan kebun teh yang subur. Adimas tersenyum lebar, netranya berbinar menatap pemandangan dari balik kaca film. Kuda besi yang ia tunggangi membelah embun pagi, melesat cepat menuruni anak bukit. Segerombol anak-anak bermain layangan di lapangan merah yang luas menyapa dengan riang ke arah mobilnya. Adimas dengan segera menurunkan kaca dan membalas lambaian tersebut dengan semangat.
Mobil berwarna putih itu berhenti di sebuah bangunan dengan warna yang mulai memudar, yang ia yakini adalah kantor desa. Tampak seorang paruh baya yang berdiri sambil tersenyum hangat kepadanya dengan seragam cokelat, “Den Dimas?” Adimas membalas jabat tangan tersebut dengan sopan, “Benar, Pak. Ini Pak Bayu—kepala desa di sini?” Pak Kades mengangguk, lalu membantu Adimas untuk merapikan barang bawaannya.
Adimas Gumelar—seorang fotografer dari ibu kota yang sedang naik daun. Sebulan terakhir, namanya melejit di berbagai saluran televisi. Wajahnya tersebar di berbagai judul surat kabar negeri, membuat ia digandrungi banyak pekerjaan. Salah-satunya adalah mengambil potret indah dari desa di salah-satu kota kabupaten yang tengah ia kunjungi sekarang ini. Bukan hanya sebagai desa penghasil beras terbesar dan daun teh dengan kualitas terbaik di negeri, namun yang menarik perhatian Adimas adalah misteri yang telah lama tenggelam oleh waktu di desa ini.
Sebuah entitas rahasia yang tumbuh bersamaan dengan hiruk-pikuknya kehidupan. Adimas bertekad untuk menguliknya, mencari tahu siapa wajah di balik topeng Bayangan Kebaikan tersebut. Majalah perjalanannya yang terkenal akan dipenuhi oleh kebenaran dari entitas tersebut, pun oleh potret dari desa dengan seribu pesona ini.
Adimas mengeluarkan catatan kecil dan sebuah pulpen, sebelumnya ia telah meletakkan barang-barangnya di selasar kantor desa dibantu dengan Pak Kades, “Bapak percaya Bayangan Kebaikan itu ada?”
Pak Kades yang dilontarkan pertanyaan terdiam, menatap jauh ke arah lain. Seperti membayangkan sesuatu yang tidak benar-benar ada di hadapannya saat ini. Pak Kades menarik kembali perhatiannya, “Saya memang tidak pernah melihatnya, tapi saya percaya, Den.”
Adimas mengernyitkan dahinya tipis, “Jika tidak pernah melihatnya, bagaimana Bapak bisa percaya?” Ia kembali mewawancarai Pak Kades, tangannya dengan mahir menggurat kertas tipis itu.
“Den Dimas, saya percaya dengan kehadirannya, walau wujud aslinya pun saya tidak tahu,” Adimas tertegun atas penuturan Pak Kades, tampak yakin dan tegas. “Jika bukan karena Bayangan Kebaikan, mungkin saja saya sudah kehilangan diri saya. Dan mungkin saja, saya tidak akan berdiri di depan Den Dimas sebagai kepala desa.”
Adimas masih terdiam, ia masih memikirkan siapa kemungkinan yang menjadi tokoh dari entitas Bayangan Kebaikan. Seluruh perbuatan baik yang dilakukan oleh entitas tersebut disorot penuh oleh berbagai macam media. Menarik seluruh atensi dalam negeri hingga mancanegara. Membuat Adimas juga penasaran terhadap entitas yang selama ini tidak diketahui identitas aslinya.
“Den Dimas mau melihat lahan dan pemukiman warga?” Ajakan dari Pak Kades membuyarkan isi kepalanya. Dengan senang ia menerima tawaran tersebut, keduanya menelusuri jalan setapak sambil berbincang mengenai pembangunan desa yang berakhir di hamparan luas kebun teh. Adimas bersiap dengan alat kesayangannya, sebuah kamera dengan lensa canggih yang menggelantung di lehernya. Adimas tampak takjub dengan pemandangan di hadapannya. Ini mungkin akan menjadi pengalaman pertama dan terakhirnya untuk meresap keindahan dari hijaunya kebun teh. Wangi khas dari tanaman obat itu menyeruak masuk hingga ke dalam rongga dada. Adimas menyukainya.
“Mang Asep!” Pak Kades melambaikan tangannya kepada seorang lelaki yang dapat dilihat bahwa usianya tampak lebih jauh lebih tua daripada keduanya. Tas yang terbuat dari rotan memeluk erat punggungnya, berisi sekarung daun teh segar yang baru saja dipetik. Beliau langsung menghampiri keduanya dengan senyum yang lebar.
“Den, perkenalkan ini Mang Asep. Beliau yang menjaga kebun teh ini sedari dulu,” lelaki tua dengan garis wajah halus itu menjabat tangan Adimas dengan riang. Perawakannya sangat ramah dan penuh gembira. “Mang Asep, ini Den Dimas dari ibu kota.”
“Duh, kasep piseun. Mamang, teh, merasa melihat artis!” Ungkap Mang Asep dengan heboh. Adimas hanya tertawa atas tingkah Mang Asep yang bersemangat. Beliau berteriak girang sambil menggoyangkan tangan Adimas. Persis seperti anak kecil walaupun usia Mang Asep telah memasuki lebih dari setengah abad. “Den Dimas mirip artis yang sering muncul di tipi!” Pak Kades dan Adimas tergelak. Mang Asep memang nampak berperan sebagai pencair suasana, beliau sangat ramah dan ukiran senyum tidak pernah hilang dari kanvas wajahnya.
Pak Kades terkekeh pelan, “Memang sering muncul di televisi, Mang. Ini Adimas Gumelar, fotografer yang suka bolak-balik di layar kaca,” Adimas mengangguk sopan mendengar dirinya diperkenalkan dengan menyebut pekerjaannya sekaligus.
“Waduh-waduh, berarti Mamang habis jabat tangan sama artis, nih?” Mang Asep menatap tangannya sendiri. “Kalau warga desa tahu, pasti semuanya pada iri sama Mamang,” Adimas tersenyum lebar mendengarnya, Mang Asep memang suka berguyon.
“Mang Asep mau saya ambil fotonya?” Mang Asep mengangguk antusias. Beliau langsung mengambil posisi dengan mengangkat gunting petiknya dengan ambul—sebuah tas rotan yang terpasang kokoh di pundak beliau, dihias dengan hamparan kebun teh sebagai latar belakang.
Cekrek!
“Boleh saya publikasi di majalah terbaru bulan ini, Mang?” Tanya Adimas dengan hati-hati. Ia takut jika Mang Asep tidak mengizinkannya, dirinya akan diminta pertanggungjawaban atas hak kepemilikan.
Mang Asep menatap dengan takjub, “Pak Kades, kayanya saya akan jadi artis betulan!” Pak Kades hanya menggelengkan kepalanya kecil sambil menahan tawa. “Boleh, atuh, Den. Saya, mah, senang.”
Adimas mengucapkan terima kasih kepada Mang Asep lalu kembali mengeluarkan catatan kecilnya, mulai menggurat tinta hitamnya, “Mang Asep sudah berapa lama menjaga perkebunan teh ini?” Sesi wawancara dimulai. Jemari Adimas mulai menari di atas kertas, menuliskan jawaban yang akan didapatkan dari Mang Asep.
“Sudah lama, atuh, Den. Sejak teh-teh ini masih bertunas, Mamang sudah menjaganya,” Mang Asep memukul pelan dada kirinya, merasa bangga. “Semenjak para warga kehilangan tekad dan semangat untuk membangun desa ini, Mamang merawatnya seorang diri,” suara Mang Asep terdengar bergetar di akhir, Adimas dapat merasakan bahwa ada kesedihan pada tiap ucapan beliau.
Adimas mengernyitkan dahinya, “Apa yang membuat Mamang tetap bertahan untuk merawat kebun seluas ini sendiri, sedangkan warga lain memilih berhenti?”
Mang Asep terdiam sejenak sebelum menjawab dengan tegas, “Bayangan Kebaikan,” Adimas langsung mendongak, rasa penasarannya terhadap entitas rahasia tersebut semakin membuncah. Ia benar-benar ingin menemukan jawaban dari misteri besar ini.
“Mang Asep pernah bertemu dengannya?”
Mang Asep menerawang jauh, seakan membayangkan sesuatu yang jauh entah di mana, “Mamang belum pernah bertemu dengan Bayangan Kebaikan, Den,” wajah Mang Asep berubah serius, kesan pelakonnya telah hilang. “Tapi Mamang percaya dengan kehadirannya. Jika bukan karena Bayangan Kebaikan, desa ini mungkin saja telah direnggut sepenuhnya. Mungkin saja seluruh lahan di sini telah diambil alih oleh Tuan Tanah,” Mang Asep mengecilkan suaranya, berharap tidak ada orang lain yang mendengar pembicaraan mereka.
Adimas menatap Mang Asep bingung, “Tuan Tanah?” Mang Asep mengangguk cepat, matanya melirik ke kanan-kiri pertanda takut, “Sebelum tiba di desa ini, Den Dimas melihat rumah besar di ujung lereng bukit?” Adimas tampak berpikir sebentar dan mengangguk mengiyakan. “Itu rumah Tuan Maldon si Tuan Tanah. Hampir sebagian lahan desa ini adalah miliknya. Tapi, karena Bayangan Kebaikan—kami bisa mempertahankan sisanya.”
“Bahkan, tradisi yang leluhur kami jaga dengan baik—dianggapnya ritual aneh yang tertinggal oleh zaman,” Adimas menatap Mang Asep, meminta penjelasan lebih, “Pesta Panen. Tradisi itu akan kami laksanakan dalam waktu dekat, walau Tuan Tanah melarangnya dengan keras.”
Adimas menyimak dengan baik. Sebesar apa kuasa yang dimiliki oleh Tuan Tanah ini sehingga para warga kehilangan sebagian besar hak mereka? Adimas semakin ingin menyelidiki pengaruh Bayangan Kebaikan dalam melawan Tuan Maldon si Tuan Tanah. Ia kembali berkutat dengan catatannya, menuliskan informasi yang ia dapatkan dari Mang Asep.
Tepat setelah pembicaraan selesai, langit tampak mendung. Awan kelabu menyelimuti angkasa yang mulanya membiru. Rintik perlahan turun, bertemu sapa dengan tanah yang merindu. Perlahan curahnya menderas, membuat beberapa pemetik teh berjalan kembali menuju jalan setapak. Adimas menatap para warga yang menapak beriringan, mencoba mencari tempat berlindung dari gemuruh yang lebat.
“Den Dimas, saya sudah menyiapkan villa. Mari saya antar,” putus Pak Kades. Walau enggan, Adimas tetap mengikuti Pak Kades, penyelidikan tentang Bayangan Kebaikan dan perburuan mengenai potret indah dari desa ini sepertinya tidak akan ia lanjutkan untuk sekarang.
***
Genap sepekan Adimas bermukim di desa ini, namun perlahan seakan rasa percayanya terhadap Bayangan Kebaikan mulai memudar. Selama berada di desa ini, Adimas banyak mendapatkan pernyataan bahwa entitas tersebut berperan besar dalam kehidupan bermasyarakat di desa ini, ia telah menyimpulkan dari banyak sesi wawancara bersama warga sekitar. Sekaligus mengambil potret dari nuansa asri di tiap-tiap sudut desa. Tetapi, walau hasil wawancaranya begitu menakjubkan, hingga saat ini Adimas belum mendapatkan petunjuk mengenai identitas asli dari Bayangan Kebaikan.
Adimas duduk termenung di selasar villa, menatap para warga yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tampak anak-anak yang berlarian mengelilingi ibu-ibu yang membawa keranjang sayur-mayur di atas kepalanya. Ibu-ibu tersebut berjalan beriringan menuju ujung jalan setapak. Tampak rumah kayu berukuran besar yang ramai oleh warga, Adimas tahu bahwa itu adalah Rumah Panggung.
“Den Dimas mau ikut?” Lamunan Adimas terbuyar, ia terkejut dengan kehadiran Mang Asep secara tiba-tiba. Mang Asep telah siap dengan dua keranjang berisi buah-buahan. Tangan keriputnya dengan erat memeluk keranjang tersebut, tak memedulikan tubuh ringkihnya yang dimakan oleh usia. Adimas tak kalah sigap mengambil alih keranjang yang lebih berat, “Mau ke mana, Mang?” Ia menyejajarkan langkahnya dengan Mang Asep. Walau ia tahu tujuan Mang Asep, tetap saja ia berinisiatif untuk bertanya.
“Ke Rumah Panggung, Den,” Mang Asep menyapa anak-anak kecil yang berlalu-lalang di sekitar mereka. “Kita akan melaksanakan pesta panen. Karena, beberapa hari ini selalu hujan, pesta panen baru bisa diadakan malam ini.”
“Pesta panen, Mang?”
Mang Asep mengangguk, “Den Dimas, Mamang minta tolong. Kabar tentang pesta panen ini jangan sampai terdengar hingga Tuan Tanah. Semua warga ikut merahasiakannya,” Adimas mengangguk. Keduanya telah tiba hingga ke halaman rumah panggung. Para ibu-ibu sibuk merontokkan padi, lalu menumbuknya di dalam lesung dengan alu. Nada menyenangkan mulai memenuhi indra pendengaran, mencipta nada dan tempo teratur yang berasal dari lumpang kayu. Diiringi pula dengan nyanyian khas musim panen. Anak-anak mereka pun tak kalah sibuk, mereka saling bercengkrama di bagian bawah Rumah Panggung.
Di sisi lain Rumah Panggung, banyak gadis berjejer dengan rapi. Mereka berpakaian sederhana dengan perpaduan batik dan hiasan rangkaian bunga di kepala. Mahkota bunga itu menambah kesan manis untuk wajah oriental gadis desa. Mang Asep berjalan menuju anak tangga dari Rumah Panggung, “Den Dimas ke padepokan saja, Mamang mau mengantar ini ke dapur,” Mang Asep menunjuk ke arah bangunan kecil yang terbuat dari bambu. Padepokan tersebut menghadap langsung ke arah hamparan luas sawah, bagai lautan penuh dengan kristal hijau yang berkilauan.
Adimas berjalan ke arah padepokan, ikut bergabung dengan Pak Kades dan beberapa bapak-bapak yang ikut membantu, “Pak Kades, tahun ini pesta panen harus dilaksanakan tanpa kendala!” Netra Adimas menyorot penasaran ke arah salah-satu warga.
“Saya usahakan, Pak. Saya juga tidak mau pesta panen gagal seperti tahun kemarin,” Pak Kades menjawab dengan lesu. Beliau menerawang jauh ke setahun yang lalu. Saat itu, warga desa juga mengadakan pesta panen secara sembunyi-sembunyi, awalnya semuanya berjalan dengan lancar. Hingga saat puncak acara, beberapa ekor anjing liar datang dan merusak seluruh perlengkapan. Mengoyak semua bahan makanan hingga membuat halaman rumah panggung kotor. Adimas yang mendengar kilas-balik tersebut ikut merasakan sedih.
“Tolong! Tolong!”
Suara riuh dari arah rumah panggung membuat gaduh suasana. Para ibu berteriak tak karuan sambil menyelamatkan anak-anak mereka. Adimas bersama warga lain langsung berlari ke arah kegaduhan, netranya bergetar khawatir ketika sebagian sisi Rumah Panggung yang telah dilahap oleh api. Si jago merah tengah berkobar, menyebar bagai tak ada lawan yang sebanding dengannya.
Tanpa memikirkan apapun, Adimas langsung berlari menerobos api kecil. Pak Kades sudah mencegahnya, namun tidak berhasil. Yang berada dalam pikiran Adimas sekarang adalah Mang Asep, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa lelaki tua dengan perawakan ramah itu masuk ke dalam Rumah Panggung.
Saat berada di dalam, asap putih mengepul di sekitarnya. Panas perlahan menyergap kulitnya, namun Adimas pantang menyerah. Tampak tubuh ringkih tergeletak begitu saja di lantai kayu. Sebagian tubuhnya telah terbakar, Adimas meringis pelan melihatnya dan langsung membawa Mang Asep ke luar. Para warga sibuk memadamkan api dengan bergantian mengambil air dari sumur di dekat rumah panggung.
Setelah api berhasil dikendalikan, semua atensi menuju pada Adimas yang membawa tubuh lunglai Mang Asep. Semua warga kaget, keadaan Mang Asep saat ini sangat menyedihkan. Lebam merah di leher dan luka bakar di sekujur tubuh bagian bawahnya. Semua terlihat khawatir, bagi warga desa Mang Asep adalah seorang tua yang sangat menyenangkan. Pembawaannya yang ramah dan murah senyum membut para warga menghormatinya.
Perlahan, kelopak mata Mang Asep terbuka walau tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakkan, “Den Dimas, saya titip warga desa ini,” Mang Asep menepuk pelan bahu Adimas “Cari tahu kebusukan Tuan Tanah itu, maka Den Dimas akan menemukan apa alasan Den Dimas berada di sini,” semua warga menahan napas ketika pesan terakhir dari Mang Asep melayang bebas ke angkasa, menyisakan hening yang mengganjal. Suara Mang Asep melemah, “Bayangan Kebaikan akan datang kepada mereka yang mempunyai tekad dan keberanian.”
“Mamang yakin, Den Dimas bisa menemukan siapa itu Bayangan Kebaikan.”
***
Setelah jasad Mang Asep dikebumikan, Adimas memilih untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Ia menuju rumah besar di lereng bukit secara diam-diam. Kamera kesayangannya telah ia genggam dengan baik, berharap ada sesuatu yang bisa ia tangkap dengan mata lensa itu. Tampak seorang lelaki dengan lembaran uang yang tidak diketahui jumlahnya bersama tiga orang laki-laki yang mengenakan pakaian senada berwarna hitam. Mereka terlihat sedang melakukan transaksi, lelaki yang Adimas yakini sebagai Tuan Maldon tengah menerima puluhan bungkus kecil berisi serbuk putih. Ia yakin sekali bahwa itu adalah narkoba.
Adimas menghidupkan kameranya dan membidik objek dengan bagus, ia tersenyum tipis setelah mengetahui sisi gelap dari si Tuan Tanah.
Cekrek!
***
Embun pagi jatuh dari pucuk daun, udara segar menghiasi paru-paru. Ayam berkokok dengan merdu, menyelaraskan mentari yang malu-malu untuk muncul. Adimas duduk di kedai berteman dengan teh hangat, ia dan beberapa warga tengah menyaksikan siaran berita di salah-satu kanal televisi. Sejak tadi layar kaca dipenuhi oleh berita bahwa Tuan Maldon si Tuan Tanah dengan harta melimpah itu ditangkap pihak berwajib karena mengonsumsi narkoba.
Hukumannya diberatkan pula dengan fakta bahwa ia melakukan korupsi terhadap dana desa, tidak membayar upah pekerja dengan layak, dan membakar bangunan yang dilindungi oleh kota, yaitu Rumah Panggung. Pak Kades menepuk pundaknya bangga. Tuan Tanah itu dapat ditangkap karena usaha dari Adimas. Ia menyerahkan banyak bukti dibantu para warga dan hasil laporan dana desa yang dipegang oleh Pak Kades.
“Ini, untuk Pak Kades. Saya berikan sebagai kenangan,” Adimas menyerahkan sebuah lembaran kertas yang digabung menjadi buku. “Itu majalah perjalanan saya, kemarin baru saja diterbitkan oleh perusahaan,” dengan senang hati Pak Kades menerimanya. Sampul buku tersebut menyorot Mang Asep yang tengah bergaya dilatar-belakangi oleh kebun teh, foto itu diambil saat Adimas pertama kali diperkenalkan dengan Mang Asep.
“Jika Mang Asep melihatnya, beliau pasti merasa benar-benar menjadi artis,” mendengar penuturan dari Pak Kades, keduanya tertawa. “Sekarang Den Dimas sudah menemukan jawaban dari Bayangan Kebaikan, kan?”
Adimas tersenyum. Ya, dia sudah menemukannya. Entitas tersebut memang tidak memiliki rupa, tidak berwujud, tidak ada yang bisa melihatnya. Tapi Adimas percaya atas kehadirannya, sama seperti Pak Kades, Mang Asep, dan warga desa. Adimas menyadari semuanya, kebaikan sejati ada di dalam diri setiap individu. Mereka yang memiliki tekad dan keberanian, memiliki kesempatan besar untuk melawan kejahatan dan mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik bagi semua orang.
“Setelah ini, Den Dimas mau memotret sudut negeri yang mana?”
Adimas tersenyum, “Saya mau pergi ke tempat-tempat yang dihiasi oleh banyak kebaikan. Seperti desa ini.” (*)
Tentang Penulis:
Zaskia Aurellia merupakan siswi SMA IT Insan Cendekia Boarding School Payakumbuh. Zaskia sangat menyukai membaca buku, terutama buku-buku karya Tere Liye, sehingga membuat Zaskia tertarik dengan dunia kepenulisan, serta berharap suatu hari nanti bisa konsisten menulis dan bisa menjadi penulis yang bermanfaat seperti Tere Liye.
Cerpen Sebagai Kritik Sosial
(Analisis atas Cerpen “Bayangan Kebaikan” karya Zaskia Aurellia)
Oleh: Azwar
(Dewan Penasihat Pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat)
Cerpen “Bayangan Kebaikan” karya Zaskia Aurellia mengusung tema utama tentang kebaikan dan keberanian dalam menghadapi ketidakadilan. Cerpen ini menggambarkan bagaimana entitas “Bayangan Kebaikan” menjadi simbol perlawanan warga desa terhadap penguasa yang korup, yaitu Tuan Maldon.
Tokoh-tokoh dalam cerpen ini adalah Adimas Gumelar sebagai tokoh utama yang merupakan seorang fotografer dari ibu kota. Ia memiliki karakter penasaran dan idealis. Perkembangan karakternya terlihat dari awal yang skeptis terhadap “Bayangan Kebaikan” hingga akhirnya menyadari bahwa kebaikan tersebut nyata dalam diri setiap orang yang berani melawan ketidakadilan.
Tokoh-tokoh lain yang hadir dalam cerpen ini adalah Pak Kades, seorang kepala desa yang bijak, memercayai keberadaan “Bayangan Kebaikan” meskipun belum pernah melihatnya. Ia menjadi penghubung antara Adimas dan penduduk desa. Selanjutnya Mang Asep, seorang petani teh yang sangat dihormati oleh warga desa. Karakternya ramah dan penuh semangat, meskipun usianya sudah tua. Ia memiliki kepercayaan kuat terhadap “Bayangan Kebaikan”, yang memberinya kekuatan untuk tetap merawat desa. Sementara itu Tuan Maldon merupakan tokoh antagonis, seorang tuan tanah yang serakah, berusaha menguasai tanah desa dan melarang tradisi lokal.
Alur cerpen ini adalah alur maju. Cerita dimulai dengan kedatangan Adimas di desa untuk mengambil foto dan menyelidiki misteri “Bayangan Kebaikan”. Sepanjang cerita, Adimas melakukan wawancara dengan warga desa, termasuk Mang Asep, dan akhirnya mengetahui sisi gelap Tuan Maldon serta kebenaran di balik “Bayangan Kebaikan”. Latar tempat cerpen ini, berlokasi di sebuah desa yang asri dengan hamparan kebun teh dan sawah. Desa ini berada di bawah tekanan seorang tuan tanah yang kaya dan serakah. Latar waktu, secara khusus waktu yang tidak disebutkan secara spesifik, namun menggambarkan suasana pedesaan yang tradisional dengan elemen modern (seperti kamera dan majalah perjalanan Adimas).
Cerpen ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, di mana narator mengetahui pikiran dan perasaan tokoh utama, Adimas, serta beberapa tokoh lainnya. Amanat utama dari cerita ini adalah bahwa kebaikan ada di dalam diri setiap orang yang berani melawan ketidakadilan dan memperjuangkan kebenaran. Sosok “Bayangan Kebaikan” dalam cerita menjadi metafora bahwa setiap individu memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan.
Gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang cukup deskriptif, terutama dalam menggambarkan latar alam desa dan kehidupan masyarakatnya. Pengarang juga menggunakan dialog-dialog yang memperkuat karakterisasi tokoh dan membangun suasana cerita. Konflik dalam cerita ini adalah konflik sosial antara warga desa dengan Tuan Maldon, yang ingin menguasai desa dan melarang tradisi mereka. Selain itu, terdapat juga konflik internal pada diri Adimas yang awalnya meragukan keberadaan “Bayangan Kebaikan” hingga akhirnya ia menyadari maknanya.
Klimaks cerita terjadi ketika Rumah Panggung terbakar dan Adimas menyelamatkan Mang Asep, yang kemudian meninggal dengan pesan terakhirnya tentang “Bayangan Kebaikan”. Setelah itu, Adimas menemukan bukti bahwa Tuan Maldon terlibat dalam kejahatan dan berhasil menyerahkannya kepada pihak berwajib. Cerita berakhir dengan penyelesaian yang positif, di mana Tuan Maldon ditangkap, dan desa berhasil mempertahankan tradisi mereka. Adimas menemukan jawaban tentang “Bayangan Kebaikan”, yang sesungguhnya merupakan simbol dari keberanian dan ketulusan hati warga desa dalam melawan kejahatan.
Cerpen “Bayangan Kebaikan” bisa dianalisis menggunakan teori sosiologi sastra. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau mengenai sastra karya para kritikus dan sejarahwan yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekonomi serta khalayak yang ditujunya. Sapardi Djoko Damono (1979) menyatakan bahwa sosiologi dapat memberi penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi, pemahaman tentang sastra belum lengkap.
Melalui pendekatan ini dapat dilihat bagaimana karya ini mencerminkan kondisi sosial masyarakat yang digambarkan di dalam cerita, serta hubungan antara karya sastra dan struktur sosial, konflik, dan nilai-nilai dalam masyarakat tersebut. Cerpen “Bayangan Kebaikan” menggambarkan realitas sosial masyarakat pedesaan yang hidup di bawah tekanan seorang tuan tanah.
Dalam konteks sosiologi sastra, karya ini merefleksikan ketimpangan sosial antara warga desa yang sederhana dan tuan tanah yang kaya dan berkuasa, yakni Tuan Maldon. Kekuasaan yang dimiliki oleh Tuan Maldon menggambarkan sistem sosial yang tidak adil di mana segelintir orang memiliki kekuatan ekonomi dan politik untuk mengontrol kehidupan masyarakat kecil. Hal ini mencerminkan hubungan kekuasaan dan dominasi yang sering terjadi dalam masyarakat feodal atau agraris di masa lalu, yang masih relevan dalam beberapa konteks pedesaan modern.
Tuan Maldon berusaha mengontrol tanah desa, melarang tradisi lokal, dan memanfaatkan posisinya untuk mengeruk keuntungan, bahkan dengan cara yang tidak sah seperti narkoba dan korupsi. Sementara itu, warga desa, terutama tokoh seperti Mang Asep, merepresentasikan kelas bawah yang meskipun miskin secara ekonomi, tetap bertahan dengan nilai-nilai tradisi dan kebaikan. Dalam perspektif sosiologi sastra, ini bisa dilihat sebagai kritik terhadap eksploitasi kaum lemah oleh elite sosial.
Ada stratifikasi sosial yang jelas dalam cerita ini, yang membedakan kelas ekonomi dan sosial antara warga desa dan Tuan Maldon. Desa yang digambarkan penuh dengan kesederhanaan kontras dengan kemewahan dan kekuasaan yang dimiliki oleh Tuan Maldon. Konflik antara kelas bawah (warga desa) dan kelas atas (Tuan Maldon) menyoroti ketimpangan sosial yang sering terjadi dalam masyarakat yang dikuasai oleh segelintir orang dengan kekayaan dan pengaruh politik.
Konflik ini juga dapat dilihat sebagai cerminan dari perjuangan kelas yang diidentifikasi oleh Karl Marx dalam analisis sosiologi. Warga desa, terutama tokoh-tokoh seperti Mang Asep dan Adimas, berusaha melawan kekuasaan yang menindas mereka. Mereka menggunakan kebaikan, keberanian, dan solidaritas sosial sebagai senjata untuk melawan eksploitasi yang dilakukan oleh Tuan Maldon.
Tuan Maldon sebagai tokoh antagonis mencerminkan korupsi kekuasaan dalam masyarakat. Ia memanfaatkan posisinya sebagai tuan tanah untuk mendapatkan keuntungan pribadi, termasuk melalui cara-cara ilegal seperti perdagangan narkoba dan korupsi dana desa. Ini bisa diinterpretasikan sebagai kritik terhadap elitisme dan penyalahgunaan kekuasaan dalam masyarakat modern.
Selain itu, kontrol Tuan Maldon terhadap tanah dan larangannya terhadap tradisi lokal, seperti Pesta Panen, juga menunjukkan bagaimana kekuasaan yang sentralistik sering kali tidak menghormati nilai-nilai budaya lokal dan keberagaman. Dalam konteks sosiologi sastra, ini merefleksikan ketegangan antara modernitas dan tradisi, di mana kekuasaan modern sering kali mengabaikan atau meremehkan warisan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dalam cerpen ini, solidaritas sosial antara warga desa ditonjolkan sebagai kekuatan utama yang melawan ketidakadilan. Mang Asep, Pak Kades, dan warga lainnya bersatu untuk melawan kekuasaan Tuan Maldon. Mereka tetap memegang teguh tradisi dan kebaikan, meskipun menghadapi ancaman dan ketakutan. Hal ini mencerminkan teori fungsionalisme struktural dalam sosiologi, yang menunjukkan bagaimana nilai-nilai dan norma-norma sosial dapat menjadi kekuatan penyatu masyarakat untuk bertahan dalam menghadapi perubahan atau ketidakadilan sosial.
Bayangan Kebaikan sebagai entitas yang tidak berwujud tetapi diyakini oleh semua warga mencerminkan nilai sosial yang ada di dalam masyarakat, di mana kebaikan kolektif adalah bagian dari mekanisme pertahanan sosial. Ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat tradisional, kerja sama dan kebaikan bersama dapat menjadi cara efektif untuk melawan penindasan.
Adimas sebagai tokoh utama yang berasal dari luar desa melambangkan agennya perubahan sosial. Dalam sosiologi, sering kali perubahan dalam masyarakat diinisiasi oleh individu atau kelompok dari luar yang membawa perspektif baru. Adimas, sebagai fotografer yang ingin mengungkap kebenaran tentang “Bayangan Kebaikan”, akhirnya berhasil mengungkap kejahatan Tuan Maldon dan membantu warga desa membebaskan diri dari penindasan. Kehadiran Adimas mencerminkan bagaimana intervensi eksternal atau transformasi sosial bisa terjadi melalui media dan pengungkapan fakta kepada publik yang lebih luas.
Konflik dalam cerpen ini juga menunjukkan benturan antara tradisi dan modernitas. Tuan Maldon, sebagai perwakilan kekuatan modern (kapitalisme dan kekuasaan), mencoba menghapuskan tradisi desa, sementara warga desa berusaha mempertahankan tradisi mereka seperti Pesta Panen. Dalam sosiologi sastra, ini bisa dilihat sebagai representasi dari perjuangan budaya di mana kelompok yang terpinggirkan sering kali berusaha mempertahankan identitas dan warisan mereka di tengah arus modernisasi.
Dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra, cerpen “Bayangan Kebaikan” menggambarkan dinamika sosial yang kompleks antara kekuasaan dan rakyat kecil, serta bagaimana nilai-nilai sosial seperti solidaritas, tradisi, dan kebaikan bisa menjadi alat perlawanan terhadap ketidakadilan. Cerita ini menawarkan kritik terhadap penindasan elit sosial, ketimpangan sosial, serta mempertahankan pentingnya nilai-nilai kolektif dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan harmonis.
Cerpen dapat berfungsi sebagai media kritik sosial terhadap sistem kekuasaan dengan berbagai cara yang subtil maupun eksplisit. Kritik terhadap kekuasaan dalam cerpen biasanya dilakukan melalui penggambaran tokoh, alur, konflik, dan latar yang menunjukkan ketidakadilan, penindasan, korupsi, atau bentuk-bentuk penyalahgunaan wewenang oleh mereka yang berkuasa.
Cerpen ini menunjukkan penggambaran tokoh antagonis sebagai representasi penguasa yang korup. Tokoh antagonis, seperti Tuan Maldon dalam cerpen “Bayangan Kebaikan,” berfungsi sebagai simbol kekuasaan yang menyalahgunakan wewenang. Tuan Maldon, yang memiliki kendali atas tanah dan perekonomian desa, menggunakan posisinya untuk menindas warga dengan melarang tradisi lokal dan merampas lahan. Kekuasaan Tuan Maldon juga mencerminkan bagaimana elite sosial dan politik sering kali menyalahgunakan sumber daya dan posisi mereka demi kepentingan pribadi, seperti yang terlihat dalam keterlibatannya dengan narkoba dan korupsi.
Kritik terhadap kekuasaan ini terlihat dari bagaimana cerpen menggambarkan kekejaman penguasa yang berusaha menghancurkan kehidupan masyarakat dengan menekan kebebasan mereka. Dalam banyak cerita pendek, tokoh antagonis penguasa mencerminkan sistem tirani, oligarki, atau sistem sosial yang tidak adil, yang dirancang untuk mempertahankan kekuasaan atas rakyat kecil.
Konflik antara warga desa dan Tuan Maldon dalam cerita ini mencerminkan perlawanan masyarakat terhadap penguasa yang menindas. Warga desa ingin mempertahankan tradisi mereka, seperti Pesta Panen, namun Tuan Maldon menggunakan kekuasaannya untuk melarang ritual ini karena dianggap “kuno” dan mengancam kepentingannya. Ini menggambarkan benturan antara tradisi lokal dan kekuasaan modern, di mana kekuasaan sering kali tidak menghargai nilai-nilai sosial yang diwariskan turun-temurun.
Cerpen menjadi media kritik dengan menunjukkan bahwa kekuasaan yang otoriter tidak hanya mengancam kebebasan fisik, tetapi juga menghancurkan identitas budaya suatu kelompok. Perlawanan warga desa menunjukkan bahwa kekuasaan yang tidak menghormati hak dan identitas masyarakat cenderung mendapatkan perlawanan yang kuat.
Dalam “Bayangan Kebaikan,” Bayangan Kebaikan itu sendiri adalah simbol perlawanan yang tak terlihat terhadap ketidakadilan. Ini mengajarkan bahwa kebaikan dan keberanian untuk melawan penindasan bisa datang dari siapa saja dan bisa dilakukan secara kolektif. Mang Asep dan Pak Kades adalah simbol-simbol kecil dari perlawanan tersebut, yang mewakili masyarakat yang tidak memiliki kekuatan formal tetapi tetap berani melawan ketidakadilan dengan cara mereka sendiri.
Penggunaan simbol-simbol seperti ini memungkinkan pengarang untuk mengkritik sistem kekuasaan dengan cara yang lebih halus, tetapi tetap mendalam. Pembaca yang lebih peka akan menangkap bahwa simbol-simbol ini adalah kritik terhadap kekuatan struktural yang menekan dan menolak kebaikan.
Cerpen dapat menunjukkan bagaimana kekuasaan menindas masyarakat dengan cara mengekspos ketidakadilan yang dialami oleh karakter-karakter yang lebih lemah. Dalam cerita ini, warga desa telah lama menderita karena Tuan Maldon merampas lahan mereka dan menghancurkan Rumah Panggung, simbol utama identitas dan budaya mereka. Tindakan Maldon yang merusak tradisi desa ini menunjukkan bagaimana penguasa yang kejam sering kali berusaha menghilangkan unsur-unsur penting yang memberikan makna hidup bagi masyarakat yang ditindas.
Eksposur terhadap ketidakadilan ini juga menjadi kritik langsung terhadap sistem kekuasaan yang hanya memperhatikan kepentingan penguasa tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat. Pembaca akan melihat bagaimana tindakan kekuasaan yang korup seperti itu berlawanan dengan konsep keadilan, dan mereka dapat merasakan empati terhadap perjuangan masyarakat yang tertindas.
Realisme sosial adalah teknik di mana pengarang menggunakan situasi-situasi nyata dan relevan secara sosial untuk menciptakan cerita yang mencerminkan ketidakadilan dalam kehidupan nyata. Dalam cerita ini, kondisi warga desa yang hidup di bawah kendali tuan tanah dan terancam oleh korupsi menggambarkan kehidupan masyarakat agraris yang tertindas oleh kekuatan politik atau ekonomi yang dominan.
Pengarang menyajikan ketidakadilan sosial yang realistis untuk memberikan kritik langsung kepada sistem sosial yang tidak adil dan eksploitatif. Realisme ini memungkinkan pembaca untuk membandingkan cerita dengan situasi dunia nyata, sehingga kritik sosial terhadap kekuasaan lebih mudah dipahami dan dihubungkan dengan kondisi masyarakat saat ini.
Cerpen seperti “Bayangan Kebaikan” juga bisa mengkritik kekuasaan dengan menekankan pada nilai-nilai moral seperti kebaikan, keberanian, dan solidaritas sosial. Dalam cerita ini, pengarang menunjukkan bahwa nilai kebaikan yang dimiliki oleh warga desa (seperti yang diwujudkan oleh Mang Asep) menjadi senjata utama melawan kejahatan dan korupsi yang dilakukan oleh kekuasaan.
Adimas, setelah menyadari nilai-nilai ini, memilih untuk berpihak pada warga desa, dan melalui aksinya, kejahatan Tuan Maldon dapat diungkapkan. Melalui penekanan pada kekuatan kebaikan melawan kekuasaan yang korup, pengarang mengkritik bahwa kekuasaan yang didasarkan pada kekerasan, penindasan, dan korupsi pada akhirnya akan kalah oleh kekuatan moralitas dan kebaikan bersama.
Cerpen dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk mengkritik sistem kekuasaan dengan cara-cara yang subtil dan reflektif. Pengarang dapat menggunakan karakter, alur cerita, simbol, dan konflik untuk mengungkapkan penindasan dan ketidakadilan yang sering terjadi dalam masyarakat yang dikuasai oleh segelintir orang yang korup. Melalui cerpen, pengarang dapat mengekspresikan bagaimana perlawanan, kebaikan, dan solidaritas sosial bisa menjadi cara untuk melawan ketidakadilan kekuasaan yang menyalahgunakan wewenang. (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.