Orang Ketiga
Oleh : Sakura Fitri
Aku adalah seorang lelaki yang kesepian. Istriku pergi setelah bertengkar hebat bulan lalu. Apa pasal? Iya, karena orang ketiga. Sudah hal yang lumrah rumah tangga retak bahkan pecah berderai karena orang ketiga. Dan yang sangat aku sesali, akulah yang membawanya ke rumah ini.
***
“Ayo duduk, Sidi” kataku pada Ibnu, teman lamaku dari rantau, sidi adalah gelar minang yang melekat padanya setelah menikah. Mumpung di kampung kuajak dia bersilaturahmi ke rumahku saat kami sama-sama duduk di lapau tadi pagi.
“Terima kasih, Uda” katanya padaku. Ibnu temanku semasa kecil, dia adalah juniorku semasa sekolah tingkat dasar. Lalu sewaktu tamat sekolah, dia pergi merantau ke Jakarta untuk mengadu nasib. Sekolahnya hanya sampai tingkat SD saja.
Aku mendorong asbak rokok ke hadapannya ketika rokoknya sudah mulai berabu. Kami bercerita sampai siang menjelang. Dia menceritakan betapa sulitnya kehidupannya di tahun pertama saat di Jakarta dulu. Bahkan dia harus tidur di kolong jembatan demi bisa melanjutkan hidup.
Dalam asyik berbagi cerita, istriku mengajak tamu kami untuk menikmati santap siang. Usai makan siang, Ibnu masih betah di rumahku. Kami melanjutkan obrolan di teras. Istriku ikut duduk disampingku menyimak obrolan kami. Aku melihatnya tidak biasa. Sebab ia melirik istriku cukup lama. Lalu aku gelisah ketika dia mengajak istriku mengobrol. Mulanya istriku risih, namun karena pembawaannya membuat istriku mengobrol dengan nyaman. Hatiku semakin ngilu. Hingga akhirnya kucoba menyudahi ota nya karena sudah petang.
“Sudah magrib, Sidi. Ada baiknya kita siap siap berangkat ke surau” usirku secara halus. Lalu dia pamit undur diri.
Suatu malam, aku mendengarkan seseorang sedang berbisik-bisik. Hendak hati ingin bertanya pada istriku, siapa tahu aku salah dengar. Kampung yang penuh mitos dan mistik ini sering membuat orang-orang bergidik ngeri jika mendengar hal-hal yang tidak biasa di malam hari.
Aku meraba sisi sebelahku, ingin membangunkannya dengan pelan agar tak terkejut. Tapi sayang yang kuraba hanya kasur tipis sepuluh tahun lalu yang pernah kubelikan sebagai hadiah pernikahan. Katanya waktu itu sudah tidak sanggup tidur di tikar. Kudengar dengan cermat suara itu. Lalu aku bangkit menuju sumber suara, kulihat istriku sedang berbicara di telpon. Aku menegurnya,
“Menelpon siapa sampai tengah malam begini?” tanyaku garang. Pasalnya istriku tak pernah menelpon tengah malam. Dia menjawab tergagab. Wajahnya menunduk seperti orang terciduk melakukan kesalahan. Hape poliponik hitam yang diberikan anak sulungku tahun kemarin terjatuh. Aku mengambilnya dan memeriksa nomor itu. Penelponnya menggunakan private number jadi aku tak bisa melacaknya langsung.
“Sudah tidur sana. Sudah malam masih cekikikan” tegurku masih dengan nada garang. Dia menurut dan menyusup ke dalam selimut. Aku pun sama. Tapi mataku tak bisa terpejam. Pikiranku bertanya-tanya siapa gerangan penelpon itu. Hatiku juga ikut curiga, akankah istriku sedang bermain di belakangku.
“Tidak mungkin. Selama ini dia perempuan yang penurut. Tidak pernah kulihat ataupun gosip kalau dia selingkuh” cuit hatiku.
Bunyi dengkuran halus mulai terdengar mengisyaratkan bahwa istriku telah terlelap. Ku lihat wajahnya yang masih menyimpan pesona kembang desa meskipun kami sudah mengarungi pernikahan ini dua puluh tahun lamanya. Hatiku kembali risau, perihal telpon yang diterima istriku malam ini. Hingga pagi menjelang sedang mataku masih nyalang. Kantung mataku terlihat berat akibat tidak bisa memejamkan mata. Nelangsa kembali merajai hatiku bertanya-tanya apakah istriku bermain belakang. Namun aku berusaha menepis semua pikiran buruk tentang istriku.
***
Setelah malam itu istriku tidak lagi menelpon. Tapi sikap istriku sudah berubah. ia jadi sering berdandan padahal usianya sudah hampir memasuki kepala empat. Lalu ia juga sering membersihkan rumah lebih rajin dari biasanya. Sikap yang aneh tapi membuatku senang. Ia semakin cantik dan cintaku semakin besar padanya. Namun sayangnya, ia sering menghindariku. Membuat hatiku bertanya-tanya.
***
Aku memangku pangkul dipundakku sepulang dari sawah. Kulihat Ibnu pergi dari arah rumahku. Langkahnya tergesa sambil menengok kanan dan kiri. Aku gegas mengambil langkah pulang ke rumah. Perasaan tidak enak menyergapiku.
Kuucap salam dan disambut istriku yang baru terbangun. Jejak tidur masih ada di wajahnya. Lalu ia berlalu ke belakang membasuh wajah dan membuatkan minum. Aku duduk di teras.
“Tadi si Ibnu ke sini. Mau apa dia?” tanyaku pada istriku
“Ibnu? Kapan?” istriku balik bertanya.
“Apa dia tidak ke sini?”
“Tidak. Mungkin ke parak belakang. Kemarin kudengar dia mau beli kelapa di belakang rumah punya Uda Pidun.” Terang istriku. Kampung dengan jumlah kelapa terbesar di Kabupaten ini tidak membuat heran jika orang-orang menyerbu ingin membeli kelapa sampai berton-ton. Aku mengangguk paham. Tapi pikiranku menerka-nerka tingkahnya tadi. Aku kembali mengingat saat datang pintu rumah sedikit terbuka, namun kulihat istriku sedang tertidur. Mungkin dia lupa menutup pintu.
Lalu malam menjelang. Badanku teramat lelah setelah bekerja di ladang seharian. Aku terlelap seusai menunaikan shalat isya. Namun tiba-tiba mataku terjaga karena terkejut mendengar tertawa seseorang. Kudengar dengan seksama ternyata benar suara istriku. Kusingkap tirai pintu kamarku, kulihat ia sedang menelpon membelakangiku. Lalu dengan cepat ku ambil telpon itu dan mendengar suara dibalik telpon itu. Aku terpaku
“Hallo sayang. Kenapa diam aja? Kurang lucu ceritanya?” katanya. Itu suara Ibnu. Berani sekali ia menggoda istriku
“Cerita apa kau pada istriku?” bentakku. Lalu telpon terputus. Amarahku diubun-ubun. Ketika kutanyai istriku, ia tidak mengaku. Aku marah. Emosiku lepas begitu saja. Aku tidak menyadari ada sesuatu yang menyala dalam diriku. Tanpa bisa kukendalikan, aku memukulnya dengan sekuat tenaga. Lima belas menit aku menanganinya, baru aku menyadari ia sudah babak belur dan wajahnya sudah lebam sana sini. Aku menyesal dan berusaha memeluknya tapi sayang ia terlanjur lari ke rumah tetangga melindungi diri.
Aku tersungkur menyesali. Tengah malam buta aku menangis atas perbuatanku. Tak pernah sekalipun tangan ini melakukan hal kasar padanya, entah kenapa aku seperti mendapatkan dorongan.
***
Aku menerima surat dari pengadilan agama. Perempuan yang kucintai seumur hidupku setelah menikahinya, menggugat cerai padaku. Usai KDRT malam itu, ia tidak mau pulang dan bertahan di rumah orang tuanya.
Aku memindai kamar, semua peralatan dan pakaian istriku sudah tidak tampak. Ia mengemasinya kemarin bersama adiknya. Yang tersisa hanya jaket tipis yang tersampir di sisi ranjang. Aku meraihnya, menciumi jaket yang masih meninggalkan aroma pemiliknya.
Lalu aku duduk sambil tergugu. Tidak dapat kubayangkan akan menjalani hidup seperti apa di masa depan. Belahan jiwaku telah mati. Hatiku dibawanya pergi. Sesak tak lagi mampu menghirup nafas kehidupan. Aku kembali tergugu.
Beberapa menit aku tenggelam dalam kesedihan. Aku bangkit dan tanpa sengaja menyepak alas kaki di bawah tempat tidur. Alas kaki yang kami pakai untuk membersihkan kaki dari debu sebelum tidur.
Kulihat bungkusan kecil menyembul dibaliknya. Aku menggapainya dan membukanya. Sebuah jimat. Lalu kubuka semuanya sampai bersisa hanya lembaran timah yang ditulis mantra dengan tulisan arab dan sebuah nama yang amat sangat kukenali. Aminah, nama yang masih bertahta di hatiku. Tiba-tiba saja darahku berdesir. Jantungku berdegub dengan cepat. Nafasku tersengal.
“Mungkinkah Aminahku diguna-guna oleh si Ibnu?” kataku dengan tangan terkepal.
Tentang Penulis
Sakura Fitri. Sakura Fitri adalah nama pena dari Fitri Afriani. Ibu tiga anak kelahiran tahun 1992 ini aktif di Forum Lingkar Pena sejak tahun 2013. Ia saat ini berdomisili di Bukittinggi dengan profesi sebagai akunting di perusahaan umrah di kota Padang. Beberapa antologi sudah diterbitkan sejak tahun 2015. Beberapa cerpen terbit di media online dan media cetak lokal. Saat ini penulis dapat dihubungi di whatsApp 082388518514. Media sosial instagram sakura.fitri dan facebook Fitri Afriani.
Membaca “Aku” Lelaki Oleh Penulis Perempuan dalam Cerpen “Orang Ketiga”
Oleh: M. Adioska
Sudah lama memang, sejak Roland Barthes, seorang kritikus dan teoretisi sastra Prancis menuliskan esainya yang berjudul La mort de l’auteur dalam bahasa Prancis, atau lebih dikenal dengan The Death of the Author dalam Bahasa Inggris. Esai ini ia tulis tahun 1967. Dalam esainya, Barthes mengemukan beberapa poin penting dalam menginterpretasi sebuah teks, yang mengarah ke “kematian pengarang”.
Dalam esainya, Barthes menentang metode pembacaan dan kritik yang mengandalkan aspek identitas pengarang untuk menyaring makna dari karya pengarang. Pembaca harus memisahkan karya sastra dari penciptanya untuk membebaskan teks dari tirani interpretatif. Artinya hasil interpretasi sebuah teks oleh pembaca tidak boleh dikaitkan dengan pengarangnya, sehingga makna yang didapatkan dari teks tersebut murni dari interpretasi pembaca itu sendiri. Ia juga berpendapat bahwa penulis naskah ada untuk menghasilkan tetapi tidak untuk menjelaskan karya.
Seiring dengan perkembangan zaman, terutama perkembangan kritik sastra, essay ini kemudian menuai banyak tanggapan dan bahkan kritik balik dari beragam pihak. Mereka yang menentang esai ini beranggpan bahwa tidak mungkin memisahkan antara pengarang dan hasil tulisannya. Sebab dibalik sebuah karya sastra, atau teks secara umum, terdapat latar penceritaan yang bisa terbaca dengan melihat siapa pengarangnya.
Dalam Analisis ‘The Death of the Author’ karya Roland Barthes oleh Oliver Tearle dari Universitas Loughborough (dikutip dari interestingliterature.com), ia menyatakan:
Jika saya memberikan puisi kepada murid-murid saya dan tidak memberi tahu mereka apa pun tentang pengarangnya, mereka dapat menganalisis bahasa puisi itu dan mencoba menentukan maknanya; tetapi mengetahui sesuatu tentang pengarang dan konteksnya dapat membantu mengungkap makna baru yang penting dalam memahami teks. Begitu kita tahu bahwa puisi itu adalah karya Sylvia Plath, dan kita dapat membawa detail kehidupan (dan kematiannya) ke dalam pembacaan puisi itu, maknanya pun berubah.
Begitu juga kiranya jika kita menganalisa sebuah karya sastra Indonesia yang notabenenya sebagian besar karya tersebut tidak bisa dipisahkan dengan budaya dan waktu penulisan karya tersebut. Sebab dengan melibatkan latar belakang penulis dalam menerjemahkan sebuah karya dapat memperdalam dan memperkaya interpretasi atas karya tersebut.
Kreatika kali ini akan mengkritisi sebuah cerpen karya Sakura Fitri dengan judul “Orang Ketiga”. Berlawanan dengan teori yang dikemukakan Roland Barthes di atas, interpretasi atas cerpen ini melilbatkan keterpautan antara penulis dengan karya yang telah dilahirkannya.
Sejalan dengan judulnya, cerpen Orang Ketiga menceritakan tentang retaknya sebuah rumah tangga karena kehadiran orang lain, yang dalam masyarakat umum dikenal dengan istilah yang sama yaitu orang ketiga. Dengan judul yang sesuai dengan stereotip yang berlaku dalam masyarakat banyak, maka tidak sulit kiranya untuk menebak isi cerita Orang Ketiga.
Cerita dimulai dengan prolog dari sudut pandang tokoh “aku”. Dalam prolog tersebut dinyatakan dengan jelas bahwa tokoh “aku” adalah seorang lelaki, seorang suami yang baru saja ditinggalkan istrinya akibat perbuatannya sendiri. Bermula ketika tokoh “aku” memperkenalkan teman lamanya yang bernama Ibnu, atau yang bergelar Sidi, kepada istrinya. Ibnu datang bertamu sehari penuh, dari pagi menjelang siang hingga malam datang menjelang. Sejak bertamu itulah prahara dimulai. Sidi memulai percakapan dengan istri si “aku”. Awalnya si istri risih. Lambat laun menjadi nyaman. Lalu berlanjut dengan menelepon secara sembunyi.
Sikap si Istri pun berubah, suka berdandan, lebih sering membersihkan rumah dan terlihat semakin cantik di mata si “aku”. Pada akhirnya, si Istri ketahuan sedang berbicara melalui telepon dengan Ibnu. Hal ini sontak membuat “aku” marah. Ia langsung memukul istrinya dan berhenti setelah menyadari istrinya sudah babak belur dan lebam sana-sini. Tokoh “aku” menyesal dan mencoba memeluk istrinya. Tapi si istri sudah terlanjur lari ke rumah tetangga untuk mencari perlindungan. Kisah ini kemudian ditutup oleh plot twist dimana si “aku” menemukan sebuah jimat dibawah alas kaki tempat tidur yang biasa digunakan untuk membersihkan kaki dari debu sebelum tidur. Dalam jimat tersebut tertulis nama istri si “aku”.
Secara umum, cerpen ini disajikan dengan sangat apik. Gaya penceritaannya mengalir begitu saja sehingga sangat nikmat untuk dibaca. Ditambah lagi penggunaan diksi yang mudah dipahami. Dari penyajian cerita secara umum, dapat dilihat bahwa penulis tampaknya sudah berpengalaman dalam menuliskan sebuah cerita.
Disamping itu, dengan sangat piawai, penulis berhasil menyajikan sebuah plot twist. Penulis sukses membangun alur yang menarik sehingga pembaca menjadi fokus pada masalah utama yang dihadapi tokoh “aku” tanpa memunculkan percikan lintasan tentang sebuah jimat. Penulis juga dengan cerdas mampu menyelipkan cerita penghubung antara masalah utama dengan kejutan diakhir cerita.
Hal ini dapat dilihat ketika tokoh “aku” melihat Ibnu berjalan dengan tergesa-gesa dari rumahnya sambil menengok kiri kanan. Sementara, ketika “aku” sampai di rumah, ia mendapati istrinya bangun dari tidur dengan jejak yang masih ada di wajahnya. Inilah kiranya asal muasal jimat yang ditemukan pada akhir cerita. Pada akhirnya, jika maksud utama penulis adalah untuk menampilkan sebuah plot twist, maka ia telah berhasil.
Namun disisi lain, alih-alih menyajikan cerita yang menarik, hal yang menggelitik lainnya dalam cerpen ini adalah penggunaan sudut pandang laki-laki melalui tokoh utama yang diciptakan oleh penulis perempuan. Sangat lumrah sebenarnya. Bahkan kebalikan dari cerpen ini pun sudah banyak ditemukan, dimana penulis laki-laki menyajikan cerita dari sudut “aku” seorang wanita.
Hal yang harus menjadi catatan pada kasus seperti ini adalah bahwa si penulis harus benar-benar paham karakteristik dari tokoh yang ia ciptakan. Singkatnya, penulis perempuan harus benar-benar paham karakteristik seorang laki-laki, baik itu sikapnya, tindakannya, kata-katanya, dan semua hal yang menyangkut tokoh laki-laki. Begitupun sebaliknya. Untuk melihat itu semua, tentu kita harus mengabaikan esai “Kematian Pengarang” oleh Roland Barthes di atas. Sebab dalam hal ini antara pengarang dan penggunaan sudut pandangnya sangat berkaitan erat.
Nurul Eka dalam https://id.quora.com menyebutkan beberapa poin penting mengenai penulis perempuan yang menggunakan sudut pandang “aku” laki-laki. Diantaranya adalah bahasa yang digunakan laki-laki biasanya vulgar. Vulgar dalam artian menuliskan sesuatu secara langsung. Dalam cerpen ini misalnya:
“Aku menerima surat dari pengadilan agama. Perempuan yang kucintai seumur hidupku setelah menikahinya, menggugat cerai padaku. Usai KDRT malam itu, ia tidak mau pulang dan bertahan di rumah orang tuanya.”
Dalam pemaparan cerita di diatas, barangkali masih dapat dirasakan bahwa “aku” (laki-laki) seperti layaknya perempuan bercerita. Pemakaian istilah KDRT pun cenderung digunakan untuk memperhalus kata yang mengandung unsur kekerasan. Sementara disisi lain, (penulis) laki-laki akan cenderung langsung mengungkapkan apa yang terasa:
“Aku menerima surat dari pengadilan agama. Perempuan yang selama ini kucintai telah menggugat cerai padaku. Usai pemukulan malam itu, ia tidak mau pulang dan bertahan di rumah orang tuanya.”
Selain hal di atas, Nurul Eka juga menambahkan bahwa seorang laki-laki biasanya tidak semerta-merta membeberkan perasaan atas suatu kejadian yang ia alami. Dalam cerpen ini hal itu dapat dilihat pada saat “aku” melakukan pemukulan pada istrinya.
“…baru aku menyadari ia sudah babak belur dan wajahnya sudah lebam sana sini. Aku menyesal dan berusaha memeluknya tapi sayang ia terlanjur lari ke rumah tetangga melindungi diri.
Aku tersungkur menyesali. Tengah malam buta aku menangis atas perbuatanku. Tak pernah sekalipun tangan ini melakukan hal kasar padanya, entah kenapa aku seperti mendapatkan dorongan.”
Dari penggambaran di atas, dapat dilihat bahwa “aku” laki-laki langsung merasa menyesal dan langsung pula ingin memeluk istri yang sudah ia pukul tadi. “Aku” laki-laki juga langsung menangis di tengah malam buta atas perbuatannya. Sementara sang istri sudah terbukti secara nyata sedang “bermain api” dengan teman lamanya. Apakah karakter laki-laki memang akan seperti itu, atau apakah ini hanya gambaran seorang laki-laki dari kacamata seorang perempuan? Barangkali butuh penelitian, atau pengalaman lebih jauh untuk menjawab hal ini. Sebab pada beberapa kasus didunia nyata, sering ditemukan seorang laki-laki yang tidak menyesal telah menyakiti perempuannya hanya lantaran ia telah dikhianati oleh si perempuan.
Merangkum pemaparan diatas, cerpen Orang Ketiga sangat menarik dari semua aspek penceritaan. Penulispun berhasil mengakhiri cerita dengan unsur kejutan yang menarik pula. Meskipun ada beberapa hal yang menggelitik, yang mungkin bisa jadi pertimbangan untuk tulisan berikutnya. Teruslah berkarya. Ditunggu cerita selanjutnya!
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerjasama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com
Discussion about this post