Oleh: Ria Febrina
(Dosen Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Tinggal di kota membuat kami harus mengenalkan anak-anak pada situasi alam. Selama ini anak-anak belum pernah merasakan bagaimana rasanya main air dan berenang di sungai. Untunglah di Yogyakarta ada satu tempat wisata yang masih asri dan memiliki suasana seperti di kampung. Namanya Ledok Sambi. Lokasinya berada di Lembah Kali Kuning, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Di sana sawah, ladang, dan rumput hijau membentang seluas mata memandang. Anak-anak bisa menikmati mountain view Puncak Gunung Merapi yang mempesona. Jaraknya sekitar 22 km dari Malioboro.
Setelah membuat rencana, kami dan teman-teman yang sama-sama tinggal di Yogyakarta membawa anak-anak ke Ledok Sambi. Anak-anak disiapkan baju kaus dengan namanya masing-masing. Ada Uda Farras, Uda Fatih, Uni Rumi, Uni Nuha, Uni Adeva, dan Uni Naya. Yang laki-laki disapa uda ‘kakak laki-laki’ dan yang perempuan disapa uni ‘kakak perempuan’. Sebuah cara yang dilakukan agar mereka mengenal budaya sendiri sebagai putra-putri Minangkabau. Cara juga untuk memantau mereka di lokasi. Kami jadi lebih mudah mengenali mereka di antara ratusan orang yang hadir di sana.
Dari Wirobrajan, kami berkendara naik mobil. Kami berkendara dari Jalan Cokroaminoto menuju Jalan Magelang, lalu mendaki ke arah Gunung Merapi. Kali ini butuh waktu lebih lama sampai ke lokasi karena hujan tiba-tiba turun. Menjelang tiba di lokasi, kami melewati rumah penduduk. Kala itu hujan pun berhenti. Kedatangan kami disambut dengan udara yang terasa sejuk. Hujan memang membawa berkah.
Kami memarkir mobil di tempat yang cukup lapang. Ternyata sudah banyak mobil berjejer di sana. Kami berkumpul dan memastikan barang yang akan dibawa turun. Ledok Sambi terletak di bawah tebing. Kami harus berjalan turun ke lokasi. Karena ada yang ulang tahun, kami memastikan agar bisa membawa kue ulang tahun dan parsel makanan ringan. Sebagai wisatawan, kami tidak dipungut biaya masuk. Namun, ternyata kami tidak boleh masuk membawa makanan dan minuman. Setelah melapor kepada petugas wisata, kami diizinkan membawa kue ulang tahun untuk Uni Rumi, tetapi tidak diizinkan membawa parsel makanan sebagai hadiah untuk anak-anak. Meskipun demikian, kami cukup senang karena masih bisa merayakan ulang tahun dengan sebuah kue.
Masuk ke Ledok Sambi juga cukup unik. Anak-anak dan orang muda boleh memilih masuk dengan menaiki flying fox atau turun melewati tangga. Ketika memilih naik flying fox, ada dua jalur yang disiapkan. Pertama melaju ke arah sawah, lalu pindah ke jalur kedua agar bisa turun di pintu masuk. Melihat flying fox di depan mata, tentu saja anak-anak menjadi tidak sabar. Mereka memilih turun dengan cara ini. Anak-anak yang sudah sekolah, seperti Uda Farras, Uni Rumi, dan Uni Adeva naik flying fox sendiri. Anak-anak balita, seperti Uda Fatih, Uni Nuha, dan Uni Naya turun didampingi orang tua. Sementara itu, para ibu turun menuruni tangga demi tangga.
Anak-anak sangat senang membelah langit Ledok Sambi dengan flying fox. Setiba di bawah, mereka berebutan menceritakan serunya menaiki flying fox sambil melihat sungai mengalir di bawah kaki mereka dan melihat sawah menghampar di sekitarnya. Namun, para bapak hanya tersenyum ngilu karena ternyata naik flying fox di usia tua tidak semenyenangkan yang anak-anak rasakan.
Setelah bercerita sambil berjalan menyeberangi sungai, kami memilih sebuah pondok. Sebagai pengunjung, kami boleh mengambil tikar yang sudah disediakan gratis oleh pihak pengelola. Kami mengambil dua buah tikar sebagai alas lantai pondok yang sempat basah kena hujan. Di atas tikar mereka, kami membuka tikar kami agar bisa duduk dengan nyaman.
Karena sudah reservasi terlebih dahulu, pihak pengelola membawakan kami tumpeng nasi kuning. Setelah meminta Uni Rumi berdoa dan meniup lilin, kami menikmati tumpeng, kue ulang tahun, dan banyak camilan. Sungguh nikmat makan siang di sebuah pondok di tepi sungai yang airnya mengalir dengan jernih. Dari pondok, kami bisa melihat Gunung Merapi dengan hamparan sawah dan rumah di kakinya. Persis seperti gambar anak TK menggambar gunung, sawah, dan sebuah rumah di kaki gunung. Bedanya, pemandangan di depan kami begitu nyata.
Bukannya menikmati makanan yang disajikan dan pemandangan yang begitu hijau, anak-anak tidak mau melewatkan kesempatan bermain air di sungai yang mengalir begitu indah. Meskipun air terasa dingin, mereka langsung menceburkan diri, menyiram badan, dan berendam di dalamnya. Bagi mereka, mandi di sungai adalah hal terindah dan terbaik ketika berada di alam. Kami membiarkan anak-anak bermain di pinggir yang ada bebatuan, tetapi tetap didampingi dan diawasi. Sebelum ikut turun ke sungai, kami pun melahap dengan nikmat nasi kuning dengan ayam goreng, tahu dan tempe, kue ulang tahun, serta teh yang membuat perut hangat di antara udara yang cukup dingin.
Setelah kenyang, kami pun turun ke sungai dan ikut bermain air. Sebagai orang tua masa kini, kami tidak lupa merekam tingkah bahagia mereka, serta berfoto sebagai kenang-kenangan. Siapa sangka bahwa anak-anak kami kini berteman seperti orang tuanya. Para orang tua mereka sudah berteman sejak SMA, lalu mereka melanjutkan pertemanan tersebut sejak usia SD. Tidak hanya di Sumatera Barat, tetapi di Yogyakarta, tempat nan jauh dari Pulau Sumatera. Sebuah ikatan yang tidak pernah direncanakan, tetapi terjadi karena takdir yang ditentukan Tuhan.
Selepas bermain air, anak-anak diajak bermain paint ball. Mereka dengan seru mengenakan kacamata pengaman, lalu menyebar di antara tong-tong dan kayu-kayu untuk berlindung. Suara peluru plastik terdengar keras mengenai tong dan kayu. Meskipun tidak sakit terkena peluru, tetap saja mereka memilih menghindar. Alhasil suara teriakan mereka lebih dahsyat dibandingkan suara peluru yang ditembakkan. Permainan perang-perangan ini pun menjadi sangat riuh dan heboh. Kami para orang tua tertawa bahagia menyaksikan tingkah mereka.
Tidak hanya mereka, para ibu yang sudah lama tidak healing karena sibuk mengurus rumah, kuliah, dan bekerja, tidak mau melewatkan kesempatan bermain paint ball ini. Namun, permainan yang diberikan khusus untuk dewasa. Peluru yang dipakai lebih besar dibadingkan yang anak-anak gunakan. Para ibu juga mengenakan kacamata dan seragam untuk melindungi diri dari pedihnya terkena tembakan.
Sama persis dengan anak-anak, suara ibu yang berteriak sambil berkata, “Tunggu dulu, mau ganti lokasi,” atau “Jangan tembak ke badan ya, tembak ke tong atau kayu saja” menggema di area permainan. Ibu-ibu tidak bernyali bermain paint ball. Mereka hanya berlari, berteriak, dan berlindung di belakang tong dan kayu. Sesekali suara tembakan peluru terdengar. Tentu saja setelah ada aba-aba, “Awas, saya tembak ke tong dekat pohon sebelah kanan ya.”
Petugas paint ball hanya tercegang melihat tingkah kami para ibu, sedangkan bapak-bapak cekikikan menertawakan kekonyolan kami. Yah, begitulah menjadi tua. Kami menjadi takut dan ngeri terhadap apa saja. Bermain paint ball ini hanya pencitraan agar bisa berfoto memakai kacamata dan seragam, serta memegang sebuah pistol. Selebihnya, kami berlari tak beraturan mengitari arena. Lucu memang, tapi kami menikmatinya dengan bahagia.
Selepas bermain paint ball, hari sudah sore. Saatnya duduk santai lagi di pinggir sungai. Mi rebus, pisang goreng, dan kopi hangat menjadi incaran. Sementara itu, anak-anak menikmati river tubing. Mereka menyewa ban dan naik bersama-sama ke atasnya. Mula-mula mereka mengatur diri sendiri agar satu per satu naik. Mereka naik dari sisi bagian teratas sungai. Siapa pun yang naik terakhir harus mengatur laju ban dengan tongkat panjang yang diambil di sekitar sungai. Mereka duduk di atas ban sembari berayun-ayun mengikuti air sungai yang tidak deras, tapi mengalir dengan lancar.
Suara teriakan dan suara tertawa terdengar begitu nyaring. Mereka akan menggulingkan diri atau menancapkan kayu dengan sigap di sungai yang bercabang pada sisi bagian bawah. Mereka berhenti di sana, lalu kembali ke bagian atas untuk melakukan hal yang sama. Berulang-ulang kali anak-anak melakukan ini tanpa rasa bosan. Meskipun tubuh menggigil dan tangan sudah dingin, mereka terus bermain sampai akhirnya terdengar suara, “Sudah pukul setengah lima, ayo turun dan mandi. Kita pulang ke rumah”.
Bermain air dan menjelajah sungai merupakan tempat terbaik bagi anak-anak tumbuh dan berkembang. Inilah salah satu pesona wisata Ledok Sambi. Selain river tubing dan paint ball, banyak permainan lain yang bisa dilakukan di sini. Anak-anak bisa naik perahu dan juga berkemah. Mereka bisa menikmati outbound, seperti membajak sawah, menanam padi, dan menangkap ikan, serta mengembangkan kreativitas dengan belajar tarian jawa, membatik, serta melukis gerabah dan T-Shirt. Kawasan ini sangat luas dan memang didesain untuk outbound ecopark.
Menyaksikan sendiri bagaimana serunya bermain di Ledok Sambi membuat kami ingin mengatur jadwal lagi. Libur semester nanti, kami ingin membawa anak-anak ke sini. Lagi. Di Ledok Sambi, anak-anak mengeluarkan energi, kreativitas, dan kebebasan mereka berekspresi. Alam memang selalu menawarkan hal terbaik. Jadi, kalau ke Yogyakarta, jangan lupa singgah ke Ledok Sambi ya!
Discussion about this post