Dara Suci Rezki Efendi
(Mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
“Tentang nasib orang bawahan dan kebesaran orang atasan, tentang kejatuhan orang – orang bawahan dan kemuliaan orang atasan, tentang orang bawahan yang menumpang diri pada orang atasan, tentang kekuasaan dan tentang takdir.” Gadis Pantai (Pramoedya Ananta Toer)
Ketimpangan sosial, merupakan masalah yang tidak akan pernah ada habisnya. Perbedaan status antara kaum bangsawan dengan kaum bawahan seolah menjadi momok yang selalu menghantui hidup manusia. Terlebih lagi dalam budaya Indonesia, masyarakat dibedakan atas status dan kedudukannya. Si kaya dan si miskin, kaum terhormat dan kaum melarat bagaikan perbedaan siang dan juga malam. Orang – orang bangsawan kadang dengan sesuka hati memperlakukan orang di bawahnya. Ketidakberdayaan dari kaum bawah, membuat mereka menjadi kaum yang selalu tertindas. Kisah tentang jurang pemisah antara kaum bangsawan dengan kaum bawahan itu digambarkan dalam sebuah cerita yang sangat epik.
Novel dengan judul “Gadis Pantai” yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer merupakan novel yang mengangkat isu – isu sosial dalam kehidupan masyarakat. Adanya jarak dan pemisah yang menyebabkan ketimpangan sosial antara kaum bangsawan dengan kaum bawahan, digambarkan secara jelas dalam novel ini. Melalui novel Gadis Pantai, Pramoedya Ananta Toer ingin memperlihatkan kepada masyarakat luas tentang cerita miris yang terjadi di tanah Jawa mengenai foedalisme pada zaman kolonial Belanda.
Gadis Pantai merupakan panggilan untuk tokoh utama yang ada di dalam novel ini. Saat berumur empat belas tahun, Gadis Pantai dinikahkan oleh orang tuanya dengan seorang laki – laki bangsawan yang dipanggil Bendoro. Bendoro adalah bangsawan kaya raya yang berasal dari kota, sedangkan Gadis Pantai hanyalah orang biasa yang berasal dari kampung nelayan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Gadis Pantai terpaksa menikah dengan Bendoro karena dorongan dari ayahnya. Alasan Gadis Pantai dinikahkan dengan Bendoro untuk memperbaiki kehidupan dari Gadis Pantai dan memenuhi keinginan dari Bendoro.
Tidak hanya itu, terjadinya pernikahan dini juga menjadi masalah yang diangkat dalam novel ini. Gadis Pantai yang baru berumur empat belas tahun, harus menerima pernikahan yang sebetulnya belum siap untuk ia jalani. Lagi – lagi semua itu terjadi karena keterpaksaan, Bendoro yang merupakan seorang kaum bangsawan dengan bebas mengambil siapa saja untuk dijadikan istrinya. Terlebih jika ia ingin mengambil istri dari kaum bawah, maka ia berhak menentukan apa saja tanpa mempedulikan nasib orang lain.
Salah satu contohnya dalam menentukan bentuk pernikahan. Dalam prosesi pernikahan yang sebenarnya harus dihadiri oleh kedua mempelai, justru saat itu, Bendoro digantikan oleh sebuah keris saat menikahi Gadis Pantai. “Kemarin ia dinikahkan, dinikahkan dengan sebilah keris”. Dari kutipan tersebut, terlihat bahwa pernikahan bisa digantikan dengan sebilah keris. Itu terjadi karena Bendoro adalah orang yang berkuasa dan bebas melakukan apa saja. Termasuk menggantikan dirinya dengan sebilah keris saat pernikahan. Hal demikian tentu bukanlah suatu hal yang normal untuk dilakukan, namun karena Gadis Pantai adalah kaum bawahan, maka ia patuh dan menerima semua perlakuan itu.
Dalam novel ini, digambarkan mengenai kehidupan Gadis Pantai setelah ia menikah dengan Bendoro. Hidup yang sebetulnya tidak pernah ia inginan sama sekali. Bahkan orang – orang memanggilnya dengan sebutan Mas Nganten. Sebuah panggilan baru yang melekat dalam diri Gadis Pantai. Panggilan yang menjadi pemisah antara dirinya dengan orang di bawahnya dan menjadi jarak antara ia dengan orang tuanya sendiri. Tak hanya itu, kehidupan baru tersebut seolah menjadi rantai yang membelenggu hidupnya. Seharusnya wanita bebas menikah dengan siapa saja yang ia cintai, hidup dengan tenang tanpa memikirkan batasan dan ketimpangan sosial yang terjadi.
Bahkan diakhir pernikahannya Gadis Pantai harus menerima perlakukan yang sangat menyakitkan. Menjadi istri percobaan adalah puncak dari rasa sakit dari seorang istri. Gadis Pantai diceraikan dengan tidak hormat.“Dan ingat. Pergunakan pesangon itu baik – baik. Dan tak boleh sekali – kali kau menginjakkan kaki di kota ini. Terkutuklah kau bila melanggarnya. Kau dengar?”. Ucap Bendoro saat menceraikan Gadis Pantai. Sia – sia sudah segala pengorbanan yang telah dilakukan oleh Gadis Pantai. Pesangon dijadikan sebagai patokan, seolah – seolah harga diri seseorang bisa dibeli hanya dengan harta. Begitulah kenyataan yang sebetulnya terjadi, apabila sudah bosan, maka seseorang bisa dicampakkan begitu saja. Alasannya adalah Bendoro akan menikah dengan wanita yang sederajat dengannya.
Maka yang tersisa dari Gadis Pantai hanya luka dan kekecewaan. Itu adalah segelintir dari banyaknya kasus serupa yang terjadi pada masa itu. Harga diri dan perasaan kaum bawahan bukanlah hal yang penting. Gadis Pantai yang bahkan sudah menjadi Mas Nganten sekalipun tak luput dari ketidakadilan itu, karena pada dasarnya Gadis Pantai adalah perempuan yang berasal dari kaum bawah, bukan dari kaum bangsawan.
Novel Gadis Pantai merupakan novel yang ditulis pada era kolonial Belanda. Cerita ini tidak hanya berkisah tentang kehidupan Gadis Pantai saja, namun kesenjangan sosial juga tergambar dari kisah seperti Gadis Pantai dengan pembantunya, dengan ibunya dan Bendoro dengan orang – orang yang kedudukannya lebih tinggi dari Bendoro itu sendiri. Novel ini ditulis dengan alur yang cukup sederhana oleh Pramoedya Ananta Toer, namun dengan kisah yang sangat epik. Melalui tokoh Gadis Pantai, kehidupan yang dipenuhi kesenjangan sosial itu dapat tergambar dengan jelas. Gadis Pantai melihat sendiri bahkan menjadi korban dari kesenjangan itu.
Dari novel Gadi Pantai ini, Pramoedya Ananta Toer mencoba untuk menyinggung dengan tegas tentang kebiasaan dan kebudayaan suatu masyarakat. Masyarakat yang menciptakan jurang pemisah antara satu sama lain. Status dijadikan landasan dasar untuk membedakan manusia. Kaum bangsawan hanya akan bergaul dengan kaum bangsawan juga, dan enggan untuk memandang pada kaum bawahan. Dalam novel Gadis Pantai, Masyarakat yang tinggal di perkotaan sangat menjaga jarak dengan masyarakat desa atau pinggiran.
Gadis Pantai menjadi lambang dari banyaknya kesenjangan sosial yang terjadi di tanah Jawa pada era itu. Gadis Pantai sekaligus menjadi saksi betapa peliknya kehidupan yang dihiasi oleh jurang pemisah antara kaum bangsawan dengan kaum bawahan.“Ah, tidak. Aku tidak suka pada pada priyayi. Gedung – gedung berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan”. Ungkapan yang menjelaskan kekecewaan Gadis Pantai pada kaum priyayi yang suka menindas lalu berlindung dalam gedung – gedung mewah mereka, tanpa memikirkan perasaan orang yang teraniaya.
Discussion about this post