Puisi-puisi Mikel Hidayat
Aku Pulang, Perang Telah Usai
Aku pulang ya, perang telah usai
Semua senjata telah kukubur dengan nisan
bertuliskan “Aku pernah berjuang dengan ini!”
Perang telah usai
Tugasku bukan lagi mengirimkan pesan di radio
Tapi belajar merelakan setiap korban yang telah tiada
Akhirnya perang usai
kini tugasku bukan membidik dan menembak lagi
tapi mengumpulkan setiap titik darah
dan menguburnya dengan hiasan bunga yang indah
Aku sudah sangat lega
meski banyak tugas baru yang telah menanti.
Tanah Kelahiran
Puan…
Hari ini aku pulang ke tempatmu
Menginjakkan kaki ke tempat yang kau sebut tanah kelahiran
Kotamu sungguh indah, begitu juga denganmu
Dingin, sejuk, dan sedikit berkabut
Ada banyak pasang kaki yang berlalu lalang di sini
Kuperhatikan satu persatu
Tapi tak kutemukan jua sepasang kakimu
Di manakah engkau, puan?
Tak rindukah engkau saat kita berkeliling kota ditemani rintik hujan?
Rasa Baru
Puan, kini semuanya terasa hampa
Tak ada lagi sajak-sajak sendu yang bisa mewakilkan perasaan ini
Tak ada lagi melodi sendu yang bisa membuatku meneteskan air mata
Hatiku sudah membeku
Telingaku sudah pekak
Air mataku sudah kering
Puan…
akhirnya aku sudah benar-benar terbiasa untuk merasakan perih yang kau tinggalkan
bahkan kini aku berteman akrab dengan-Nya
Puan…
bolehkah aku meminta tolong sekali lagi??
kira-kira apa nama yang pantas untuk perasaan baru ku ini??
bosan??
muak??
atau pasrah??
Perayaan Kecil Untukmu
Aku mencintai seseorang
Saat dia berulang tahun, aku mengucapkannya di ujung malam
Dengan harapan aku adalah orang terakhir yang mengucapkan
Dan kelak akan menjadi orang terakhir pula di hidupnya
Aku tidak memberinya hadiah
Tapi aku keluar di malam hari
Merayakannya dengan memberi makan kucing
Dan meniatkan atas namanya
Nama itu membuat nama yang kupanjatkan memanjang
Di sepertiga malam aku mengadakan pertemuan dengan Tuhan
Aku mengobrol serius dengan-Nya
Aku ingin Tuhan tahu
Betapa dia berharga bagi diriku.
Tentang Penulis
Mikel Hidayat, tinggal di Padang, selain suka laut juga suka memberi makan kucing jalanan, karyanya dapat di-stalking di Instagram mikelmekuta dan ban9lekss.
Gelak Sendu Rasa Baru Ulasan atas Puisi-puisi Mikel Hidayat
Oleh Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Aku tidak memberinya hadiah
Tapi aku keluar di malam hari
Merayakannya dengan memberi makan kucing
Dan meniatkan atas namanya
Puisi adalah sebuah karya sastra yang yang lahir dari ungkapan isi hati seorang penulis. Di dalamnya ada irama, lirik, rima, dan ritme yang tersemat di setiap baris. Puisi dikemas dalam bahasa yang imajinatif. Permainan kata-katanya padat dan mengandung pesan yang syarat makna. Puisi memiliki keteraturan meskipun diciptakan secara bebas oleh penyair. Menurut Herbert Spencer, puisi merupakan bentuk pengucapan gagasan yang memiliki sifat emosional dengan mempertimbangkan efek keindahan.
Setiap orang di dunia ini memiliki keinginan untuk berbagi pengalaman, ide dan perasaan kepada orang lain melaui tulisan-tulisannya. Beberapa bentuk dari tulisan-tulisan itu berupa puisi, prosa atau drama yang lebih kita kenal sebagai suatu bentuk karya sastra. Jadi dapat kita katakan bahwa kesusastraan itu adalah sebuah bentuk ekspresi manusia yang mencerminkan tentang pengalaman, ide-ide dan perasaanya. Menurut Aristoteles, kesusastraan adalah imitasi dari kehidupan (Abrams, 1971:11).
Puisi tersusun dari bermacam-macam unsur sarana kepuitisan. Sarana kepuitisan harus mampu merangsang imajinasi, panca indera, pemikiran, dan menghidupkan perasaan. Pradopo (2010: 7) mengatakan bahwa puisi merupakan hasil eksperimen dan pemikiran yang membangkitkan perasaan, merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Ekspresi tersebut disampaikan dalam susunan huruf dan kata-kata sedemikian rupa, sehingga mampu menarik hati pembaca dan menimbulkan kesan tersendiri bagi pembaca.
Pada edisi kali ini, Kreatika menampilkan empat buah puisi karya seorang alumni sekolah pelayaran, Mikel Hidayat. Puisi-puisi penulis yang akrab disapa Banglekss ini berjudul “Aku Pulang, Perang Telah Usai”, “Tanah Kelahiranmu”, “Rasa Baru”, dan “Perayaan Kecil Untukmu”.
Secara umum puisi-puisi Mikel mengarah ke bentuk naratif liris yang menyerupai ungkapan perasaan dan isi pikiran secara khusus ditujukan kepada seseorang. Larik-larik monolog dengan kata-kata bernuansa sendu dan melankolis. Misalnya puisi pertama yang menggambarkan suasana perang yang telah berakhir:
‘Aku pulang ya, perang telah usai/ Semua senjata telah kukubur dengan nisan/ bertuliskan “Aku pernah berjuang dengan ini!”. Larik ini menyampaikan suara hati ‘aku’ lirik yang pernah terlibat di dalam perang yang telah selesai tersebut. Ada semacam kegamangan eksistensialis aku larik bahwa perannya di dalam perjuangan tersebut dinafikan sehingga dia mera perlu mengumumkan bahwa “Aku pernah berjuang dengan ini!”.
Lumrahnya, kondisi akhir perang mendatangkan kegembiraan dan kebahagiaan karena penderitaan dan ketegangan telah berakhir, Mikel melanjutkan kesannya: Perang telah usai/ Tugasku bukan lagi mengirimkan pesan di radio/ Tapi belajar merelakan setiap korban yang telah tiada. Ada semacam kepasrahan untuk menerima keadaan, sekaligus kesan usainya gelora masa perang yang membangkitkan ketegangan.
Mikel menutup gambaran perang yang telah berakhir tersebut dengan lapang hati: ‘Akhirnya perang usai/ kini tugasku bukan membidik dan menembak lagi/ tapi mengumpulkan setiap titik darah/ dan menguburnya dengan hiasan bunga yang indah// Aku sudah sangat lega/ meski banyak tugas baru yang telah menanti.’ Semenjana membaca puisi ini, pembaca barangkali teringat perang yang tengah berkecamuk di negeri Palestina, perang yang tak selesai-selesai karena Israel penjajah masih bercokol.
Puisi kedua dan ketiga secara verbal ditujukan kepada sosok perempuan yang dipanggil dengaan sapaan ‘puan’. Kedua puisi ini berisi kekecewaan aku lirik terhadap perempuannya. Pada puisi “Tanah Kelahiranmu” aku lirik membawa harapannya berkunjung ke negeri tempat si perempuan dilahirkan.
Dia menelusuri jejak-jejak perjalanannya dengan si perempuan sambil berharap bisa mengulang kembali pengalaman menyenangkan itu. Sayangnya, harapan tersebut tidak terwujud karena si perempuan entah di mana berada. Hanya aku lirik yang tercekam oleh dingin dan kabut kota:
‘Ada banyak pasang kaki yang berlalu lalang di sini/ Kuperhatikan satu persatu/ Tapi tak kutemukan jua sepasang kakimu/ Di manakah engkau, puan?/ Tak rindukah engkau saat kita berkeliling kota ditemani rintik hujan?’. Puisi ketiga, “Rasa Baru” menjadi antiklimaks atas hubungan aku lirik dengan perempuannya. Dia merasa hampa dan muak.
Sebagai karya seni yang merupakan media untuk mengekspresikan gagasan, puisi juga memberi ruang bagi kreatornya untuk menyampaikan pengalaman batinnya yang unik. Dengan media kata-kata (bahasa), puisi mempunyai potensi tanpa batas untuk menyampaikan gagasan dengan memanfaatkan simbol dan imaji yang berdaya jelajah sangat luas. Pengalaman batin penyair yang dikonkretisasi melalui bentuk imaji dan metafora tersebut berpeluang menjadi katarsis yang memicu bangkitnya pengalamaan batin pembaca sesuai referensi yang dimilikinya.
Puisi keempat Mikel, “Perayaan Kecil Untukmu”, memberi tawaran pengalaman batin yang unik tersebut. Biasanya, orang yang ingin diketahui bukti kesungguhan perhatiannya akan berusaha untuk menjadi yang paling pertama memberi ucapan selamat atau memberi hadiah kejutan. Namun, Mikel justru memilih menjadi yang paling terakhir sebagai penutup yang berarti untuk selamanya.
Mikel membiarkan sebanyak mungkin orang memberikan kesan spesial kepada sosok yang dicintainya itu untuk kemudian sebagai yang hadir terakhir, dia akan menutup sekaligus menghapus apapun yang ada terjadi sebelumnya. Seperti realita fiktif yang mengguncang dalam judul cerpen Hamsad Rangkuti, “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?” Orang terakhir bisa menjadi penutup, menjadi penyempurna.
‘Aku mencintai seseorang/ Saat dia berulang tahun, aku mengucapkannya di ujung malam/ Dengan harapan aku adalah orang terakhir yang mengucapkan/ Dan kelak akan menjadi orang terakhir pula di hidupnya,’ begitu tulis Mikel.
Tak cukup dengan menjadi pemberi ucapan selamat paling akhir, Mikel meneruskan keunikan cara membuktikan cintanya: ‘Aku tidak memberinya hadiah/ Tapi aku keluar di malam hari/ Merayakannya dengan memberi makan kucing/ Dan meniatkan atas namanya’. Melakukan pengorbanan atau amal kebaikan atas nama orang yang dicintai tentu punya pesona romantisme tersendiri, walaupun ‘hanya’ dalam bentuk memberi makan kucing jalanan. Lebih-lebih melangitkan namanya di dalam doa di ujung tahajjud. Duh!
Puisi adalah katarsis, ia melepaskan apa yang tersekat di dalam dada. Selamat menikmati![]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post