Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Ketika pelesiran di media sosial, terkadang membuat kita tersesat ke konten yang bisa jadi tidak kita minati. Akan tetapi, begitulah algoritma media sosial dengan cara kerja yang agak membingungkan. Suatu kali, ketika asyik menggulir-gulir layar telepon pintar, saya berhenti di sebuah konten yang membandingkan atlet sepak bola dengan idola K-pop asal Korea Selatan.
Konten tersebut menyorot cedera yang dialami oleh keduanya. Salah seorang atlet sepak bola ditampilkan mengalami cedera setelah terkena tendangan keras dari pesepak bola lain. Tendangan serupa itu memungkinkan ia mengalami cedera patah tulang yang parah. Di samping itu, konten tersebut juga menampilkan seorang idola pria Korea Selatan yang terpeleset dari tangga ketika tampil di atas panggung.
Pasalnya, perbandingan kemungkinan cedera yang ditampilkan dalam konten bertujuan untuk meremehkan atau mencemooh salah satunya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan pula kolom komentar dipenuhi oleh komentar-komentar yang membuat pembaca dapat berdecak keheranan.
Komentar-komentar tersebut menunjukkan betapa susahnya seseorang dalam mengendalikan jempolnya. Komentar yang menyebut ‘lelaki plastik’ tidak hanya satu, dua, atau tiga yang bermunculan. Label ini ditujukan kepada idola K-pop yang terpeleset. Lebih mengherankannya, label ini kemudian seolah ditujukan secara general untuk semua idola pria dalam per-K-pop-an. Dalam pendapat yang dikemukakan terdapat tendensi para idola ini jauh dari kata maskulin. Sebab, selain dianggap melakukan operasi plastik, mereka berdandan, memakai warna pink, dan bertingkah imut.
Memang tidak dapat pula dipungkiri bahwa operasi plastik bukan tidak mungkin dilakukan oleh sebagian idola pria tersebut. Hal ini tergolong lazim dilakukan bahkan oleh mereka yang bukan idola di Korea Selatan sana. Lagipula, keputusan untuk operasi plastik tidak selalu berdasarkan kemauan para idola, tetapi berdasar pada kemauan dan tuntutan dari agensi yang menaunginya. Tampil sempurna seolah menjadi tuntutan yang perlu dipenuhi.
Sebagaimana profesi pesepak bola, profesi idola juga berhasil dicapai dengan kerja keras, bukan tampilan menawan belaka. Sebagaimana cedera berat yang dialami pesepak bola, para idola juga memiliki kemungkinan mengalami cedera yang sama beratnya. Tarian yang yang ditampilkan di atas panggung tidak sekadar mengayunkan kaki ke kiri dan ke kanan. Sebagian dari tarian bahkan tergolong sulit dan menuntut kekuatan fisik.
Seorang pesepak bola barangkali telah mengawali kariernya dengan menjadi bagian dari akademi sepak bola sedari belia. Hal yang sama juga dilakukan oleh seseorang yang berkeinginan menjadi idola. Sejak di sekolah menengah, mereka tergabung ke dalam sekolah seni di samping mulai berlatih bertahun-tahun sebagai trainee di sebuah agensi. Menjadi idola dan memiliki banyak penggemar bukanlah suatu hal yang didapat secara instan. Hal itu sama saja dengan profesi lainnya yang diinginkan oleh setiap orang.
Melabeli ‘lelaki plastik’ dengan tujuan merendahkan memang membikin berdecak keheranan. Melakukan operasi plastik, berdandan, memakai warna pink, dan bertingkah imut saya kira tidak perlu dinilai sebagai ancaman yang dapat menggores kemaskulinan seseorang. Namun, hal ini barangkali terkecuali bagi orang-orang dengan sisi maskulin yang memang mudah terluka.
Discussion about this post