TELUR KEMERDEKAAN
Cerpen: Otriramayani
“Lho mang kenapa kalau mereka bernyanyi, menari dan berlomba?”
Dia masih bersungut. Muka temanku itu merah padam, marah! “Mereka keasyikan beryanyi, menari dan berlomba,”
“Lha biarin aja, mereka bergembira untuk merayakan….”
“Merayakan apa?” dia makin meradang, “Merayakan kemalangan saya?”
Aku tertawa, seperti orang orang yang sering menertawakan kenaifan dan kebodohan orang lain.
“Mereka sibuk dengan semua perayaannya tanpa peduli apa yang terjadi di sekelilingnya. Tidak menggubris pengaduan saya, tidak membantu kehilangan saya.” suaranya berubah lirih.
Haa, “Apa hubungannya?”
Dia menatapku, entah dia entah aku yang tidak mengerti. Kenapa orang orang suka mengadukan kemalangannya pada orang lain atau bahkan menyalahkan orang lain? Hidup setiap orang kan sudah ada garisan dan takdirnya sendiri.
“Memang seberapa berharganya barangmu yang hilang?” aku mencoba bersimpati.
Dia menunduk, menatap lantai papan tak beralas dan rapuh dimakan usia. “Tiga ekor induk ayamku lenyap dari kandangnya.”
“Hahaha…hahaha…” aku terbahak. Menatapnya tak percaya, lalu kembali tertawa, lebih keras.
“Induk ayam? Kenapa sih ribut amat kehilangan tiga ekor induk ayam?” aku menepuk pundaknya. “Kamu tidak lihat di teve? Ada banyak berita orang kehilangan beragam benda mahal, mobil, motor. Beritanya tiap hari bahkan sampai berapa kali sehari.”
Apa dia tidak tahu? Begitu banyak sekarang orang kecurian. Tidak hanya barang berharga, nyawapun sekarang gampang hilang. Tayangan televisi tentang kejahatan seperti tayangan sinetron berkali kali perhari. Nama caranya saja yang berbeda, isinya sama. kejahatan. Banyak kejahatan berarti banyak orang tidak sejahtera, begitu komentar ibuku setiap melihat tayangan yang katanya mengerikan tapi besoknya ditonton lagi.
Dia menatapku, tidak senang. “Induk ayam mahal bagiku.”
“Hahaha..” lagi-lagi aku tertawa. “Seberapa mahal sih?”
Yang ini memang aku tidak tahu. Paling aku cuma tahu belakangan ibuku jadi jarang membeli ayam. Mahal katanya.
Dia masih menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Muka mudanya terlihat lebih tua diberati ayam-ayamnya. “Semahal hidupku.” Suaranya hampir tak terdengar.
Kali ini aku tidak tertawa, tapi memandangnya, heran. “Apa?” Sekuat tenaga aku menahan tawa, melankolis amat! “Sok kamu!”
Dia balik memandangku, kali ini dengan ekpresi lain lagi. Dia menjauh dariku, memandang jauh, keluar jendela loteng rumah. Perayaan penuh suka cita merah putih di luar masih terdengar bising.
“Berapa belanja harianmu?”
Lha ni anak kok malah nanya, berapa uang belanjaku? “Lumayanlah, tapi tentu tidak cukup untuk membeli induk ayam barumu.”
“Jajanku senilai dengan berapa telur yang bisa aku bawa setiap pagi, dan seberapa yang laku terjual ketika aku pulang sekolah di warung Pak Ali. Itupun masih harus dikurangi keperluan sekolahku.” Ia bercerita tanpa ditanya.
“Alah, gayamu!” aku menyusulnya duduk di kusen jendela yang rapuh. Pusing aku dengan gaya bahasanya yang sok tinggi.
“Bagaimana bisa aku bergaya jika ayamku dicuri dan tidak ada yang peduli, tidak ada yang mau membantu mencarikan, kenapa dia hilang, entah siapa yang mencurinya.” dia menjawab sinis. “Kamu tahu, dengan telur ayam itu juga aku membantu ibuku membayar iuran erte yang katanya untuk uang keamanan warga. Keamanan apa? Apa ayamku bukan warga mereka?” Matanya terus memandang keriuhan itu. Aku membayangkan dia akan terbang dan memporakporandakan perayaan itu.
Orang-orang terus berteriak menyemangati peserta pacu karung. Banyak yang masih jauh dari finish sudah jatuh. Tidak ada yang menangis, mereka malah tertawa senang. Aku ikut tersenyum menyaksikan kelucuan dari jauh. Kenapa orang harus berlari dalam karung ya? Wong, berlari bebas aja masih ketinggalan, bukannya menang yang ada malah cilaka. Ah…entah karena bodoh atau karena memang orang orang senang dengan kelucuan yang dipertontonkan orang lain.
“Kau tahu kenapa belanjaku tergantung pada telur telur itu?” tanyanya lagi.. “Karena bapakku tidak pernah memberiku uang jajan sejak aku esempe dulu. Bukan karena ia tidak sayang anaknya.” Dia menjawab sendiri pertanyaannya. “
Aku terdiam, benar kah? Wah, selama kami berteman, aku kok tidak pernah tahu, ya? Payah juga aku, tidak betul betul mengenalnya. Padahal loteng ini telah menampungku entah untuk yang kesekian kalinya. Tempat sederhana yang entah kenapa membuat aku betah. Mungkinkah aku tidak pernah melihat kebawah, atau tidak melihat dalam perjalananku menaiki tangga, apa yang ada dibawah loteng ini.
“Seberapa sering kamu melihatku makan di restoran, minum kopi di kafe?” kali ini dia menatapku serius.
Mmm, kalau aku belum pelupa. Sepertinya belum pernah. Eh pernah deh, waktu itu ada yang ulang tahun. Ditraktir.
“Kafe dan restoran yang menjamur sebagai lambang kemakmuran masyarakat kata orang, tentu tak akan mampu dijangkau telur ayamku.”
“Hehehe…” Ada ada saja, sok puitis pula. Tentulah iya. Mana bisa. Kalaupun ayamnya bertelur sehari sepuluh butir, laku semua pun tidak akan cukup untuk mengaso di cafe. Satu gelas kopi susu saja harus merogoh kocek minimal dua puluh ribu. Itupun belum dengan pajak, kayaknya.
“Dua telur ayam dengan irisan bawang adalah sebuah pizza kenikmatan buat kafe rumahku. Tentu saja pizza itu membuatku mesti berjalan kaki. Dua telur ayam adalah ongkos terendah angkot (angkutan kota) sekarang. Jangan coba-coba beri tiga ribu, apalagi dua ribu. Bisa bisa sopirnya akan turun untuk menarik krah bajumu, sambil merepet, kau pikir minyak mobilku dibeli dengan air. Solar sesusah dan semahal ini!” Dia seperti mengerti apa yang aku pikirkan.
Aku dan orang-orang kelas menengah atas sepertiku mana paham soal itu. Motor dan uang pertamakku tersedia selalu. Aku sangat jarang naik angkot sendiri memang. Kalaupun ada dengan ibuku, tentu beliau yang bayar ongkos atau ramai-ramai dengan teman sekolah.
“Dari kemaren aku sudah melapor sama Pak Erte, sama ketua pemuda. Berkali kali malah. Tidak ada yang peduli.” Wajahnya kembali kesal. “Mereka sedang sibuk menyiapkan perayaan kemerdekaan. Bahkan mereka bilang, ikut saja dulu perayaan kemerdekaan, paling ayammu akan kembali sendiri.” Giginya menggeretak. “Kembali sendiri bagaimana?”
“Terus….” tanyaku bodoh
“Tidak ada yang terus, semua berhenti. Aku berhenti melapor dan berharap pada mereka. Aku berhenti makan pizzaku, aku berhenti membawakan Pak Ali telur. Aku berhenti mendapatkan rupiah-rupiah harianku.”
Aku terdiam sesaat, menunggu dia mengeluh lagi. Eh, apakah dia memang mengeluh? Atau hanya sekedar berbagi informasi kepahitan hidupnya. Beginilah aku dan kalian, ya. Kalau ada yang bercerita masalah hidupnya, kita selalu berpikir mereka mengeluh. Padahal yang tahu sesulit apa yang mereka alami tentulah mereka sendiri. Aku hobi banget menilai ya?
Sorak-sorai dan nyanyian terdengar semakin riuh di tengah kesepian antara kami.
“Buat apa mereka bergembira begitu?” tanyanya.
Aku tak menjawab, tapi memandang kehebohan yang terjadi disana. Orang-orang terlihat begitu bahagia. Ya, mereka bergembira agar mereka bahagia. Toh, bahagia tidak harus makan di restoran mahal atau dapat potongan diskon besar shoping online. Berkumpul, tertawa bersama juga membuat mereka bahagia.
“Kamu pikir mereka sudah merdeka?” suaranya terdengar sinis.
“Ya merdekalah, kan wong negara kita memang sudah merdeka, sudah 78 tahun. Kamu sudah lupa pelajaran sejarah apa?” cemoohku. “Lihatlah, kita punya negara sendiri. Setiap hari aman-aman saja. Gak ada perang.”
Dia lupa apa? Kita tiap tahun sudah merayakan kemerdekaan. Negera kita sudah punya segalanya. Jalan jalan dan gedung gedung bertingkat banyak. Mall mall dimana-mana, walaupun sekarang banyak yang sepi. Dia dan saya bisa sekolah. Bisa main kemana saja. Bisa ke masjid, bisa belajar agama. Merdeka apa lagi?
“Aman apa nya? Buktinya ayam-ayamku saja hilang” protesnya
“Kehilangan ayammu tidak bisa dong, dijadikan alasan negara tidak aman.” Aku balik protes.
Dia tertawa. Terdengar sumbang. “Tidak buat kamu. Tapi.., bagiku. Aku tidak bisa merdeka tanpa ayam-ayamku.”
Ha, aku memandangnya. Ingin tertawa tapi berusaha menanahan melihat air mukanya. Apa hubungannya merdeka dengan ayam-ayamnya? Dimana mana banyak orang yang punya ayam. Apalagi kehilangan ayam. Bukan hal yang luar biasa. Lebay amat!
“Aku tidak pernah merdeka sejak mereka-mereka itu, merampas uang bapakku.”
“Siapa yang merampas uang bapakmu?” Kaget aku. Belum pernah bercerita bapaknya pernah dirampas.
“Bapakku tidak pernah merdeka lagi. Mereka dengan semena-mena merenggut penghasilan rutinnya. Mereka membuat bapakku tidak bisa menjadi ayah dan suami yang baik buat keluarganya. Jadi bagaimana aku akan merdeka.” Dia terus mengoceh.
Mereka? Mereka siapa? Bukankah katanya bapaknya dulu di PHK, karena perusahaannya melakukan kebijakan pengurangan pegawai. Toh di negara ini bukan hanya bapak dia yang di PHK. Saudara dan tetangga saya juga banyak yang kena PHK. Bukankah katanya, uang PHK sudah dijadikan modal untuk jualan?
Apakah karena tokonya yang makin hari makin gak laku? Apa dia juga mau menyalahkan orang orang yang beralih belanja online. Pernah juga mendengar ayahnya pernah menjadi sopir angkutan kota. Apakah dia akan menyalahkan banyaknya angkutan online, saat bapaknya kemudian juga berhenti.
Hari gini tidak ada yang bisa menyalahkan kemajuan teknologi. Kalau terus protes dengan ini dan itu, ya terlibas. Orang di luar sana sudah ke planet, masa kita masih berpikir masih harus dengan cara kuno.
“Kamu pikir, ayam ayamku juga merdeka. Saat ayam orang sudah makan makanan buatan pabrik, ayamku masih harus menerima sisa nasi kami dan tetangga yang senang memberikan sisa nasinya ke kandang kami.” Dia tertawa sendiri. “Makanan ayam pabrikan itu terlalu mahal untuk dia. Tidak akan imbang dengan telurnya yang cuma dihargai Pak Ali dua ribu.”
Dia terdiam. Aku tidak berani mengatakan apa apa. Takut aku malah menjadi sok tahu. Aku tentu tidak bisa mengukur hidup dia dengan apa yang kutahu. Pengetahuanku saja tidak cukup untuk membuat apa yang dia katakan termasuk hoak atau fakta. Teori ekonomi dan angka angka statistik yang dajarkan guru belum tentu pas untuk menilai itu.
Tapi bukankah banyak orang lain yang sudah lebih maju? Kan kondisi negara kita memang seperti ini. Sama-sama tahulah. Yang mahal sekarang bukan cuma minyak. Yang dibeli murah ke petani bukan cuma telur. Namun banyak orang yang tetap bisa pakai mobil pribadi kemana-mana. Promo-promo tetap ramai dikejar pembeli. Mungkin keluarga dia saja barangkali yang payah. Apa bapaknya memang kurang gigih berusaha?
“Kamu pikir kami kami senang cuma mengandal telur-telur itu?” kembali aku terkessiap. Dia benar benar bisa membaca apa yang kupikirkan. “Aku bisa saja membantu bapakku menjadi ojek online. Tapi apa kamu pikir pekerjaan itu menjanjikan? Sekarang tidak banyak lagi orang yang menggunakan jasa-jasa mereka seperti awal awal dulu. Tarifnya makin naik saja…”
“Nah bagus dong, tarifnya naik.” Potongku
“Hehehe.” Dia juga ikutan tertawa. Entah apa yang dia tertawakan. “Kamu pikir tarif naik siapa yang menikmati?”
Aku tidak mau lagi menjawab. Apa yang dia sampaikan terlalu berat untukku. Anak-anak sekolah seperti kami, bukankah mestinya cuma perlu memikirkan pelajarannya di sekolah. Makanan enak, game terbaru. Sepertinya dia sok dewasa. Meributkan apa yang seharusnya menjadi tugas dan tanggungjawab orang dewasa.
“Sekarang bagaimana agar aku bisa mendapatkan ayamku kembali. Agar tetap ada yang memakan nasi yang buat orang berada tidak apa disisakan. Agar Pak Ali tetap bisa menjual telur ayam kampung yang katanya baik bagi kesehatan. Entah lah…” dia kembali ke soal ayamnya.
“Kalau saja mereka mau membantu saya,“ dia menunjuk pada orang orang yang masih sibuk dengan perayaannya. “Barangkali saya akan merasa perayaan kemerdekaan itu berarti untuk saya. Buat orang orang seperti saya. Mereka tidak harus membuat mereka membelikan saya ayam baru dengan uang yang juga mereka kumpulkan dengan susah payah itu. Paling tidak mereka peduli.”
Ah, dia memang aneh. Pikirannya aneh bagi saya dan mungkin bagi kalian juga. Peduli? Memang sekarang masih ada orang yang peduli dengan masalah orang lain. Apalagi kemalangan. Mana pula kemalangan dia perlu dibagi ke orang lain yang jelas jelas tengah berbahagia.
“Terus bagaimana mereka menolongmu? Membuatmu merasa merdeka?”
Ia diam saja. Lama. Keyakinan saya, seperti saya dan orang lain, dia sendiri tidak tahu bagaimana menolong dirinya. Tidak tahu pertolongan apa yang dia butuhkan. Persoalan dia mungkin bukan hal besar bagi orang lain. Apa dia saja yang membesar besarkan? Mendramatisir kata orang sekarang. Aku menghela nafas. Memandang jauh.
Orang-orang terus bergembira dengan tarian, nyanyian dan perayaannya. Entah mereka bahagia atau tidak atau apakah kegembiraan sesaat itu hanya pelarian dari masalah hdiup mereka yang tidak lebih ringan dari dia. Dia terus diam dengan kegalauan dan kekakuan pikirannya. Karena merdeka bagi dia hanyalah ayamnya bisa kembali dan dia bisa melanjutkan hidup dengan telur-telur kemerdekaan itu.
Padang, Hujan Agustus 2023.
Tentang Penulis
Otriramayani, diusia jelang setengah abad memilih fokus menjadi ibu rumah tangga sambil mengikuti beberapa kegiatan di organisasi sosial agar ilmu dan pengalaman bertualang diberbagai wilayah dan program selama hampir 20 tahun tidak hilang begitu saja. Berharap dengan tidak bekerja bisa fokus menulis ternyata tidak terealisasi. Jadi tidak ada alasan sibuk kerja atau sekolah untuk tidak menulis sebenarnya. Yang mesti kuat hanya motivasi dan kemauan. Meski begitu, ibu satu anak ini berusaha untuk berbagi info dan semangat serta kritik sosial dengan postingan postingan singkat di media sosial.
Dulce et Utile dalam Karya Sastra
Ulasan atas Cerpen “Telur Kemerdekaan” karya Otriramayani
Oleh: Azwar, M.Si
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta dan Dewan Penasihat Pengurus (DPP) Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sumatera Barat)
Cerpen sebagai bagian dari karya sastra memiliki banyak fungsi dalam kehidupan masyarakat. Fungsi cerpen itu bisa dilihat dari sisi cerpen sebagai cerita pendek yang merupakan karya imajinatif pengarangnya. Selain itu cerpen itu juga memiliki fungsi-fungsi sosial jika cerpen dilihat sebagai media untuk menyampaikan pemikiran pengarangnya.
Riris K Toha Sarumpaet dalam buku Pedoman Penelitian Sastra Anak (2010) menyampaikan bahwa secara umum cerpen pada khususnya dan karya sastra pada umumnya memiliki dua manfaat atau fungsi utama yaitu mendidik dan juga menghibur. Konsep ini mengacu pada apa yang disampaikan Horatius tentang fungsi karya sastra yaitu dulce et utile dalam Bahasa Inggris sejajar dengan sweet and useful. Secara bebas dapat diartikan dengan sesuatu yang menyenangkan dan sesuatu yang bersifat mendidik.
Bressler (1999) dalam Sarumpaet (2010) menyebut dua fungsi tersebut dengan istilah to teach mengajar dan to entertain menghibur. Fungsi menghibur (dulce)artinya sastra memberikan kesenangan tersendiri dalam diri pembaca sehingga pembaca merasa tertarik membaca sastra.
Lebih lanjut dia menjelaskan fungsi mengajar (utile) artinya sastra memberikan nasihat dan penanaman etika sehingga pembaca dapat meneladani hal-hal positif dalam karya sastra. Dalam hal ini, sastra memampukan manusia menjadi lebih manusia: mengenal diri, sesama, lingkungan, dan berbagai permasalahan kehidupan.
Kreatika edisi minggu ini menayangkan cerita pendek berjudul “Telur Kemerdekaan” karya Otriramayani. Cerpen ini sepertinya terinpirasi dengan momentum peringatan hari kemerdekaan Indonesia pada bulan Agustus ini.
Cerpen “Telur Kemerdekaan” karya Otriramayani merupakan cerita tentang percakapan dua sahabat yang digunakan oleh penulisnya untuk memaknai arti kemerdekaan. Kemerdekaan dalam pandangan anak muda yang berbeda sudut pandang. Tokoh “Aku” dalam cerpen ini merasa heran dengan kenaifan temannya yang marah pada hidup dan kehidupan yang dijalaninya.
“Aku” dan temannya itu sedang menyaksikan orang-orang memperingati kemerdekaan dengan mengadakan berbagai lomba. Percakapan mereka itu dimulai dengan protes salah satu tokoh dalam cerita itu pada orang-orang yang bergembira ria sementara itu disaat yang sama dia merasa bersedih atas kehilangan tiga induk ayamnya.
Tokoh “Aku” mencoba membuat pembicaraan mereka itu menjadi tidak dramatis atau berlebih-lebihan. Bagi dia tidak perlu dibesar-besarkan soal ayam yang hilang, kebetulan bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan Indonesia.
Tapi pemikiran teman tokoh “Aku” tersebut menjauh mengkritik banyak persoalan bangsa ini. Contohnya tentang kemerdekaan yang baginya belumnya kemerdekaan seutuhnya, karena kemerdekaan dia sendiri dirampas oleh maling ayam disaat-saat peringatan hari kemerdekaan Indonesia ini.
Ia kemudian menyampaikan banyak hal tentang makna kemerdekaan bahwa bangsa Indonesia belum merdeka seutuhnya. Kemerdekaan tersebut tidak ada artinya jika di tanah air yang katanya sudah merdeka ini masyarakatnya masih terbelenggu oleh kemiskinan.
Selanjutnya dia juga menyampaikan bahwa kemerdekaan itu tidak ada artinya jika masyarakat yang merdeka itu tidak saling peduli pada sesamanya. Dalam hal ini, tokoh “Aku” merasa tersindir oleh temannya itu. Sudah lama mereka berteman tapi ia tidak memahami kehidupan temannya itu.
Bahkan ketika temannya itu mulai membandingkan bahwa tokoh “Aku” yang sering makan minum di restoran sementara dia sendiri tidak pernah dan tidak akan mungkin makan di restoran karena sehari-hari untuk makan dan kebutuhan pokok saja dia masih berjuang memperolehnya.
Cerita itu berlanjut dengan cerita dua sahabat tersebut yang dimanfaatkan oleh penulisnya untuk menyampaikan kritik atas kehidupan sosial yang terjadi di Indonesia dan hubungannya dengan kemerdekaan yang sesungguhnya.
Kritik sosial itu menjelma dalam dialog-dialog kedua tokoh yang sedang bercerita itu.
“Aku dan orang-orang kelas menengah atas sepertiku mana paham soal itu. Motor dan uang pertamakku tersedia selalu. Aku sangat jarang naik angkot sendiri memang. Kalaupun ada dengan ibuku, tentu beliau yang bayar ongkos atau ramai-ramai dengan teman sekolah.” (Otriramayani, 2023)
Potongan kalimat di atas menunjukkan bagaimana pernbedaan kedudukan sosial mereka membuat kedua sahabat itu jauh berbeda. Tokoh “Aku” hampir tidak mempermasalahkan kenaikan harga BBM, sementara itu bagi temannya kenaikan harga BBM tersebut akan memaksa kenaikan biaya hidup sementara harga produk yang dia hasilkan tetap dihargai dengan murah.
Begitulah cerita dalam cerpen berjudul “Telur Kemerdekaan” ini, dari sisi cerita sudah disampaikan bahwa cerpen ini mengisahkan tentang cerita dua sahabat tentang makna kemerdekaan sesungguhnya.
Selain itu dari sisi pesan yang disampaikan cerita ini dapat dilihat bahwa penulis terlalu membebani cerita dengan pesan-pesan yang berat. Sehingga percakapan tentang dua sahabat tentang kemerdekaan ini membuat cerita menjadi berat.
Bagi orang-orang yang berharap membaca cerita pendek sebagai hiburan tentu tidak akan ditemukan dalam cerpen ini. Cerpen “Telur Kemerdekaan” ini mengajak orang berpikir keras tentang kemerdekaan sesungguhnya.
Cerita ini menyuguhkan perenungan-perenungan yang mendalam tentang kehidupan. Bagi Sebagian orang soal kehilangan tiga ekor ayam mungkin merupakan sesuatu yang sangat biasa, namun bagi Sebagian orang dan mungkin bagi banyak masyarakat Indonesia merupakan suatu yang sangat berat. Contohnya bagi tokoh dalam cerita ini kehilangan tiga induk ayam merupakan kehilangan banyak hal baginya.
Kehilangan tiga induk ayam artinya dia akan kehilangan sumber penghasilan keluarganya. Dari tiga induk ayam tersebut si tokoh setiap hari memanen telur ayam untuk dijual. Hasil penjualan telur ayam itu dia gunakan untuk membeli makanan untuk bekalnya berangkat sekolah. Hasil penjualan telur ayam itu dia gunakan untuk ongkos naik angkot untuk berangkat sekolah.
Telur ayam itu juga yang dia panen setiap pagi menjadi lauk untuk sarapannya, sebagai bekal berangkat sekolah. Hal yang biasa bagi banyak anak-anak sekarang, karena mereka tidak mengalami hal yang berat seperti tokoh dalam cerita tersebut.
Begitulah hidup, tidak jauh berbeda dari apa yang diceritakan penulis dalam cerpen tersebut. Bagi sebagian orang pekerjaan yang seberapapun rendahnya tapi hal itu merupkan sumber kehidupan bagi keluarganya. Namun bagi sebagian orang pekerjaan kecil yang sering dipandang sebelah mata atau bahkan direndahkan begitu saja.
Inilah sudut pandang yang berbeda yang disuguhkan cerita pendek “Telur Kemerdekaan” ini. Cerita satire tentang kehidupan yang menurut kita biasa-biasa saja, namun bagi orang lain mungkin sangat berarti.
Cerita ini terkesan berat karena menyampaikan pesan-pesan sosial yang membebani cerita. Walaupun diceritakan dengan gaya yang sederhana, namun tetap saja kesan sebagai cerita yang kritis itu tetap ada.
Begitulah cerita pendek, sebagai media untuk menceritakan tema apa saja dalam kehidupan, cerita pendek sudah menjalankan fungsinya. Tidak hanya memenuhi fungsi menghibur (dulce) tetapi dia juga sudah memerankan peran sebagai media untuk mendidik (utile) pembacanya. Begitulah cerita pendek yang memiliki fungsi dulce et utile tersebut.
Manakah yang lebih penting dari kedua itu? Memberi hiburan atau mendidik masyarakat atau pembacanya? Tidak ada jawaban yang pasti di antara kedua hal itu, namun kedua itu tentu memiliki porsi yang berbeda masing-masingnya.
Cerita “Telur Kemerdekaan” ini mencoba memadukan dua hal itu bahwa cerita berfungsi untuk menghibur pembaca dan juga memiliki peran penyadaran (mendidik) kepada pembacanya. (*)
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post