Cerpen: Muhamad Irfan
Persiapkanlah imajinasi Anda sebelum libur sekolahku datang. Saat libur sekolah, ibu mengajakku ke rumah nenek. Rumah nenek yang sangat besar dan mewah seperti gedung. Baru kali ini, aku diajak ibu ke rumah nenek. Setibanya di rumah nenek, air mata ibu mengalir deras di pipinya. Dari balik pintu, keluar seorang ibu-ibu. Ia memeluk ibu dan juga ikut menangis. Kemudian, ibu-ibu itu memanggil-manggil nenek dan kakek dengan berteriak-teriak. Nenek dan kakek bergegas keluar dari kamarnya. Mereka saling terpelongo bertatapan. Tiba-tiba, ibu berlari dan bersujud di kaki mereka. Tangis mereka tak terelakkan. Nenek memeluk erat tubuh ibu, sedangkan kakek mengusap-ngusap kepala ibu. Dan aku tak mengerti akan hal ini. Aku hanyalah anak kemarin sore yang memiliki banyak impian.
Aku hanya terheran-heran. Seperti ada cerita yang tak pernah diceritakan ibu. Ibu sengaja menyimpan cerita itu dariku. Mungkin karena aku masih kecil atau mungkin aku tak boleh ikut campur dengan cerita orang tua. Ibu menceritakan tentang ayah yang sudah tiada dan juga aku yang selalu mendapat juara di sekolah kepada nenek, kakek, dan bibi (panggilan ibu-ibu yang membukakan pintu rumah).
Aku merasa canggung berada di rumah sebesar ini. Kenapa ibu tidak pernah menceritakan tentang kakek dan nenek yang memiliki rumah seperti istana ini. Rumah yang begitu luas dan bersih dilengkapi dengan pernak-pernik hiasan rumah. Mataku tertuju kepada sebuah foto terpampang besar. Aku melihat seorang lelaki, seorang perempuan, dan anak kecil di tengahnya. Kualihkan pandangan ke ibu, kemudian kualihkan kembali ke foto yang terpampang besar itu. Aku membandingkan raut anak kecil dalam foto itu dengan raut ibu yang masih mengalirkan air mata di pipinya. Aku tak mengerti. Paras anak kecil yang di foto itu sangat mirip dengan paras ibu. Jangan-jangan anak kecil yang ada di foto itu ialah ibu. Kemudian, kakek dan nenek, tapi kenapa foto itu yang dipajang? Kenapa tak foto ibu semasa gadisnya. Kemudian, ada kakek dan nenek sebelum ibu menikahi almahum ayah.
Tiba-tiba, kakek mengajakku ke sebuah ruangan. Ruangan seperti perpustakaan sekolahku, namun juga tak seperti di sekolahku. Ruangan yang lebih besar dari itu. Banyak buku-buku pelajaran di sana, tetapi aku takut menyentuh buku itu, lalu kakek mempersilahkanku memilih dan membaca buku apa saja yang ingin kubaca sepuasnya. Dengan senang hati, aku menjawab, aku ingin membaca semua buku yang ada di sini dan menghabiskan masa liburku dengan membaca. Aku ingin menjadi seorang profesor dan mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-anak yang tak tersentuh pendidikan dan juga anak-anak yang terlantar di jalanan. Mendengar hal itu, kakek tertawa terbahak-bahak. Aku langsung menjangkau buku tentang hukum alam semesta. Aku hanya fokus membaca dan tidak tahu apa yang terjadi di sekitar.
Tiba-tiba, aku sudah berada di sebuah tempat, di mana partikel-partikel langit tampak begitu jelas. Aku memegangnya dan juga galaksi bintang yang mengelilingiku. Aku mendarat di planet bercincin. Di sana, banyak hewan-hewan aneh yang tak pernah kulihat sebagai penghuninya. Ada naga berkepala singa, gajah berbulu domba, singa bertanduk kerbau, dan kuda berleher jerapah. Aku mendengar percakapan mereka. Mereka seolah berbicara dengan bahasa yang sama denganku. Entah aku yang dapat memahaminya. Selain aku, tak ada lagi manusia yang kutemui sejauh mata memandang. Aku heran, kemana ibu? Kakek? Nenek? Bibi? Aku meneriaki ibu, nenek, kakek, dan juga bibi, namun semua mata hewan itu tertuju kepadaku. Mata yang bukan mata pemangsa, namun mata kebingungan.
“Apa kau seorang Hawa yang dilempar dari surga?” Tanya salah seekor dari mereka.
Belum sempat aku menjawab, kuda berleher jerapah mengangkatku dengan kepalanya dan menyuruhku berpegangan. Semua mereka mengikuti arah lari kuda berleher jerapah itu. Tiba-tiba, aku tak bisa bicara. Mulutku terasa berat dan tak bisa dibuka. Aku hanya bisa diam sambil memegang erat pundak kuda berleher jerapah itu. Ia mengelilingi hutan belantara, menyeberangi sungai, dan berhenti di puncak sebuah bukit.
“Tunggulah di sini, maka kau akan menemukan jalan pulang hatimu wahai Hawa!” Kata naga berkepala singa.
Lagi-lagi belum sempat terjawab olehku, mereka telah dulu pergi meninggalkanku. Aku mulai heran dan tak bisa berbuat apa-apa. Aku disuruh menunggu, siapa yang aku tunggu? Dan lantas siapa yang akan datang? Oh tidak jika yang datang itu orang jahat atau makhluk buas bagaimana denganku? Apa aku akan dibunuh. Jika aku dibunuh, aku tidak bisa kembali lagi. Aku baru saja bertemu dengan nenek dan kakek. Tolong aku, apa ada yang bisa mendengarku di sana? Kali saja yang datang adalah ibu, atau nenek, atau kakek, atau bibi? Kali saja iya. Jika tidak, mampuslah aku. Jika yang datang itu orang baik, aku akan langsung tanyakan tentang ini semua. Aku tidak tahu namanya. Entah ini dunia, alam, entah angkasa, entah apa, yang jelas apa yang akan aku katakan anggap saja itu dulu. Aku harus menunggu. Aku menunggu sembari memandangi sekelilingku. Tampak langit begitu indah oleh hiasan kelap-kelip bintang-bintang yang sangat dekat terasa.
Tak ada siapa pun yang datang. Aku merasa kesepian. Apa aku sedang bermimpi? Jika ini mimpi bagaimana aku bisa keluar dari mimpi ini? Dan bagaimana cara bangun dari tidur ini? Ibu, nenek, kakek, bibi tolong aku! Bangunkan aku jika aku sedang bermimpi! Aku terjebak. Kemudian, aku berdiri memandangi sekelilingku. Tampak dari puncak bukit ini, tanah yang subur. Banyak pepohonan yang lebat. Tak ada rumah, tak ada gedung-gedung, tak ada pabrik, tak juga ada sekolah, dan tak ada sampah botol-botol plastik. Siapa yang akan menolongku? Aku ingin menjadi seorang profesor dan ingin mendirikan sekolah bagi anak-anak yang tak tersentuh pendidikan.
Apa puncak bukit ini bisa menjadi guruku? Apa aku akan berguru kepada yang kulihat ini lewat pikiran jernih dan logika semesta seorang manusia perempuan. Belum mungkin. Aku harus menggali pikiranku lebih dalam dengan semua buku-buku yang ada di ruangan kakek, tapi aku masih terjebak dalam mimpi. Tolong aku Bu! Tolong aku, Nek! Tolong aku, Kek! Tolong aku, Bi!
Langit semakin gelap. Aku masih terperangkap di sini. Bagaimana caranya aku kembali? Apa ini yang dinamakan proses berpikir itu? Apa aku terlalu dini untuk memikirkan hal-hal yang dipikirkan orang-orang dewasa? Apa aku akan bermalam di sini? Aku takut. Sepertinya, inilah kesempatanku untuk belajar dengan alam. Iya alam, katakanlah ini alam. Aku harus menghargai waktu. Oh, tidak! Apakah hukum waktu juga berlaku di sini? Setidaknya nanti jika aku kembali, aku kembali dengan hal baru yang kutemui.
Langit malam pun datang dengan iringan burung-burung raksasa yang terbang mengarah ke perbukitan. Aku ingin berjalan-jalan, tapi aku tak tahu jalan. Aku ingin melihat apa saja yang ada di sini, dan apa nama tempat ini. Aku menatap ke langit. Banyak bintang yang terlihat besar dan begitu dekat dan juga ada dua bulan yang menerangi tempat ini. Seperti malam yang bukan malam di bumi. Keinginan hatiku semakin kuat untuk berjalan-jalan. Kulangkahkan juga kaki ini melihat ke sekitar. Meraba daun-daun yang kulewati. Dari kejauhan, tampak cahaya-cahaya berpantulan di pohon-pohon.
Aku penasaran. Aku mendekati pohon itu tanpa ragu. Kini, aku sedang berada di bawahnya. Ternyata, buah-buahan yang dihasilkan pohon-pohon itu yang memantulkan cahaya dua bulan seperti berkilau-kilau. Melihat buah itu, cacing dalam perutku berdemo meminta makan. Aku petik buah itu yang kebetulan terjangkau oleh tanganku. Kemudian, aku menggigit buah itu dan memakannya, tapi rasanya sangat aneh. Buahnya seperti buah apel, tetapi rasanya seperti buah pisang. Ah, aku sangat malas memikirkan hal ini karena laparku belumlah menemukan kenyang dan yang penting aku makan saja.
Setelah memakan beberapa buah yang aku tak tahu namanya itu, aku kembali berjalan yang juga tak tahu tujuannya ke mana. Dari kejauhan aku melihat seseorang, ya seseorang tampaknya. Aku bergegas ke sana sembari berteriak-teriak. Hai, permisi! Ternyata benar seseorang, tapi orang itu sangat aneh. Pakaiannya berkilauan seperti emas. Ia memngenakan penutup kepala dan penutup wajah. Bibirku terasa bergetar. Tak bisa kutahan, aku langsung bertanya kepadanya. Ini tempat apa tuan? Seketika ia menoleh kepadaku, dan menatapku dengan sangat lama. Seperti raut wajah yang bingung. Kemudian ia balik bertanya kepadaku sebelum pertanyaanku tadi dijawab olehnya.
Pikiranku mulai was-was dan waspada. Ketakutan mulai bersuara di kepalaku. Apa engkau manusia? Kelihatan engkau bukan dari bangsa kami. Aku terpelongo mendengar pertanyaannya dan mulai pusing memikirkan yang tidak kuat kupikirkan juga tak sampai pada pikiranku. Iya, aku manusia. Lantas tuan apa dan tinggal di mana? Aku bangsa sebelum manusia. Aku tinggal di sana sembari ia menunjuk. Aku mengira sebentar lagi aku akan gila. Kalau tidak salah, engkaukah yang disebut Hawa? Apa engkau sudah bertemu dengan Adam? Aku tidak tahu tuan. Sampai detik ini, aku tidak tahu siapa itu Hawa di sini dan siapa itu Adam di sini. Lantas, aku sekarang adalah Hawa yang menunggu Adam di sini.
Tampaknya, engkau perlu aku tunjukkan sesuatu. Sekarang, mari ke rumahku. Aku akan menunjukkan sesuatu kepadamu. Aku mengikuti katakanlah seseorang itu dari belakang. Ia berhenti tepat seperti di pemakaman umum. Ini di mana? Apa ini di pemakaman, Tuan? Inilah tempat tinggalku, silahkan masuk. Apa ia benar-benar hidup atau sudah mati, atau aku yang sudah mati. Kenapa pemakaman ini disebutnya sebagai tempat tinggalnya? Pikiranku semakin kalut. Tanpa pikir panjang, aku langsung masuk ke dalam makam itu. Entah aku ikut terkubur, entah, dan entahlah.
Aku tak tahu di sini. Satu-satunya yang dapat menjawab pertanyaanku hanyalah ia. Aku berharap padanya, meskipun aku tak tahu dibawa ke mana. Aku memasuki tanah yang seperti kuburan. Silahkan pejamkan matamu. Bukalah kembali. Aku telah berada entah di mana ini namanya, seperti semuanya putih benderang di sekitarku. Perhatikan di sekitarmu. Tiba-tiba, semua bergerak cepat, waktu bergerak cepat, sekitarku bergerak cepat, seperti sebuah film yang dipercepat. Lihatlah itu adalah dirimu dulu. Kau dimatikan karena kutukan cinta dengan Adam dan engkau dilahirkan kembali, tetapi dengan segalanya yang berbeda. Engkau harus menjemput kembali ingatan itu di sini agar engkau paham dengan penantian dan kemurnian dari sebuah kasih sayang.
Kamu siapa Tuan? Kenapa kamu mengenakan penutup kepala dan penutup muka? Apa sebaiknya dilepas saja tuan agar aku yakin bahwa kamu bisa dipercaya. Aku adalah sebelum manusia. Apa engkau sanggup melihatku? Aku sanggup. Ia membuka penutup kepalanya. Aku terdiam hebat dan membatu. Mataku membesar melihat ia bertanduk. Ia membuka penutup wajahnya. Tubuhku bergetar hebat melihat wajah dan kepalanya serupa seekor kambing hutan. Tubuhku semakin bergetar. Terus bergetar, lalu aku jatuh yang tak pernah sampai pada dataran.
Apa aku sedang bermimpi? Jika ini mimpi bagaimana aku bisa keluar dari mimpi ini? Dan bagaimana cara bangun dari tidur ini? Ibu, nenek, kakek, bibi tolong aku! Bangunkan aku jika aku sedang bermimpi! Aku terjebak dalam ketakutan. Siapa yang akan menolongku, aku ingin menjadi seorang profesor dan ingin mendirikan sekolah bagi anak-anak yang tak tersentuh pendidikan. Aku harus menggali pikiranku lebih dalam dengan semua buku-buku yang ada di ruangan kakek, tapi aku masih terjebak di sini. Tolong aku, Bu! Tolong aku, Nek! Tolong aku, Kek! Tolong aku Bi! Toloooooong! Apa aku mati atau, atau, atau tolong!
Apa kakek selalu terjebak di mana-mana dengan perpustakaan miliknya ini?
Padang, 2020-2021
Biodata Penulis:
Muhamad Irfan lahir di Pariaman, 26 September dan sedang menyelesaikan studi di Jurusan Sastra Indonesia Unand. Ia juga menulis cerpen, puisi, dan esai. Tulisannya tersebar di berbagai media cetak dan daring. Bergiat di Bengkel Seni Tradisional Minangkabau (BSTM), Labor Penulisan Kreatif (LPK), dan Lab. Pauh9.
Discussion about this post