Oleh: Alex Darmawan
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Istilah mudik dan pulang kampung sekarang ini telah menjadi trending topic di Indonesia, mulai dari masyarakat kecil sampai pada warganet apalagi kalau sudah masuk bulan puasa. Bahkan, menjadi meme di berbagai media sosial yang ada. Istilah ini dipopulerkan dulunya oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo ketika diwawancari secara eksklusif di mata Najwa yang disiarkan trans7pada Rabu 22 April 2020. Kala itu Najwa Shihab bertanya kepada Pak Jokowi, “Apakah mudik itu dilarang atau tidak karena sudah banyak orang yang mudik sampai saat ini?”. Lalu dijawab oleh Pak Jokowi, “ Kalau itu bukan mudik, itu namanya pulang kampung. Memang bekerja di Jabotabek, di sini sudah tidak ada pekerjaan, ya mereka pulang, karena anak istrinya ada di kampung.”
Menurut sudut pandang Pak Jokowi pulang kampung berbeda dengan mudik. Pak Jokowi mengatakan ‘mudik’ dilakukan saat menjelang Hari Raya Idul Fitri. Namun, ‘pulang kampung’ tidak terbatas pada saat lebaran saja. Dari sinilah, muncul polemik di mata orang banyak yang mengatakan ‘pulang kampung’ dan ‘mudik itu sama tidak ada bedanya. Istilah ini muncul dan diperbincangkan karena terkait larangan mudik guna menekan angka yang akan terpapar oleh COVID -19 pada saat itu.
Ada baiknya istilah ‘mudik’ dan ‘pulang kampung’ kita bedah dalam perspektif bahasa dan sosial guna mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kedua istilah tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah ‘mudik’ memiliki dua arti. Pertama, artinya berlayar, pergi ke udik (hulu sungai, pedalaman). Kedua, artinya pulang ke kampung halaman (KBBI daring). Pada pengertian kedua tertulis keterangan v cak. V cak itu artinya kata ini berkelas kata kerja yang digunakan dalam bahasa percakapan. Lebih lanjut, pemakaian kedua istilah ini tidak bisa dipertukaran karena ada perbedaan konteks dalam pemakaiannya. Prof. Dr. Rahayu Surtiati Hidayat, ahli bahasa dari Universitas Indonesia ternyata berpendapat sama dengan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Guru besar di bidang linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia ini berpendapat memang berbeda istilah ‘pulang kampung’ dengan ‘mudik. Pandangan ini beliau berikan berdasarkan pengertian dalam KBBI yang ada data terakhir dimuktahirkan pada bulan Oktober 2019 (baca: detik.com).
Secara etimologi kata ‘mudik’ berasal dari kata ‘udik yang artinya selatan atau hulu. Dahulunya, sebelum di Jakarta terjadi urbanisasi besar-besar, banyak wilayah bernama akhir udik atau hilir, seperti Meruya Udik, Meruya Ilir, Sukabumi Udik, Sukabumi Ilir dan sebagainya (lihat Wikipedia.org).
Mudik ternyata sudah dilakukan sejak zaman kerajaan dahulu. Mudik di masa dahulu juga melakukan bepergian dari tempat perantau ke kampung halaman. Meskipun mudik selalu berkaitan dengan lebaran, ternyata tidak ada hubungan dengan lebaran. Ada pendapat mengatakan, kata mudik ini berasal dari bahasa Jawa Ngoko, akronim dari ‘mulih dilik’ atau bila diterjemahkan berarti pulang sebentar. Namun, lambat laun kata mudik disamaartikan dengan udik yang berarti pulang kampung. Akhirnya kata mudik ini menjadi seperti sekarang ini identik dengan kegiatan kembali ke kampung halaman saat lebaran tiba. Istilah mudik baru berkembang di ibu kota pada tahun 70-an kala pertumbuhan pembangunan yang begitu pesat di era Orde Baru yang bersifat sentralistik sehingga banyak orang yang datang ke Jakarta dari berbagai wilayah yang ada di Indonesia guna mencari pekerjaan dan mengadu nasib. Nyatanya, tradisi mudik tidak hanya ada di Indonesia saja. Beberapa negara yang mayoritas muslim lainnya juga memiliki tradisi yang serupa dengan istilah yang berbeda, seperti Bangladesh. Orang-orang Bangladesh yang berada di perantauan akan berbondong-bondong pulang ke kampung halamannya saat lebaran tiba.
Dalam perspektif sosial, mudik merupakan fenomena sosial yang rutin terjadi setiap tahunnya. Mudik dipahami sebagai liburan massal warga kota-kota besar ke daerah asal mereka (desa atau kota-kota yang lebih kecil). Biasanya, kegiatan ini dilakukan menjelang hari raya Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru. Apabila musim mudik tiba, kota-kota besar menjadi relatif sepi karena kota-kota besar yang ada di Indonesia dibangun oleh keberadaan para ‘pendatang’ (Abeyasekere,1989; Jelinek, 1991; Evers dan Korff, 2000; Somantri 2001). Walaupun di tengah kemajuan teknologi yang begitu pesat di Indonesia yang memungkin para perantau untuk berkomunikasi secara langsung kepada keluarga, kerabat dan sanak saudaranya melalui berbagai apblikasi yang tersedia, namun tidak menyurutkan niat mereka untuk mudik. Menurut Arie Sudjito (Sosiolog UGM, 2003), setidaknya ada empat hal tujuan orang melakukan mudik dan sulit digantikan oleh teknologi, yaitu: pertama mencari berkah dengan bersilaturahmi kepada orang tua, kerabat dan tetangga. Kedua, terapi psikologis, yaitu liburan lebaran untuk refreshing dari rutinitas pekerjaan sehari-hari. Ketiga, mengingat asal-usul sebagai bentuk identitas yang tidak akan pernah hilang dan luntur. Keempat, untuk diri atau eksistensi bahwa mereka telah berhasil mengadu nasib di kota besar.
Dari penjelasan di atas, tampak benang merah yang bisa ditarik untuk melihat perbedaan istilah ‘mudik’ dan ‘pulang kampung’. Mudik dilakukan secara massal pada saat tertentu saja, seperti libur panjang hari raya Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru. Setelah selesai mereka akan kembali lagi ke perantauan, sedangkan pulang kampung tidak terikat dengan masalah waktu, dapat dilakukan kapanpun dengan alasan tertentu, contohnya tidak adanya pekerjaan lagi di perantaun seperti yang dikatakan Presiden Joko Widodo dalam wawancara eksklusifnya bersama Najwa Shihab di trans7. Dari perspektif ilmu bahasa perbedaan istilah ‘mudik’ dan ‘pulang kampung’ memang terdapat perbedaan, terutama pada ranah konteks pemakaiannya. Hal ini dapat dirujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan terbaru, baik daring maupun luring. Wallahu a’alam bish Shawabi
Discussion about this post