Oleh: Andina M. Hawa
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)
Beberapa minggu lalu jagat dunia maya sempat dihebohkan oleh kemunculan iklan terbaru Rabbani Kerudung. Iklan tersebut menuai kritikan karena dianggap memuat narasi pelecehan terjadi karena perempuan mengenakan pakaian minim. Ini bukan kali pertama Rabbani Kerudung menayangkan iklan yang menghebohkan masyarakat. Pada musim kurban beberapa tahun lalu, Rabbani pernah memajang iklan dengan menampilkan seekor kambing yang dipakaikan kerudung, dengan kalimat ‘KORBAN itu ga wajib, yg wajib tu BERHIJAB’. Selanjutnya, ketika istilah Anak Jaman Now sedang populer, Rabbani juga pernah memasang papan iklan bertuliskan ‘Anak Jaman Now. Rok Makin di Atas, Prestasi Makin di Bawah’.
Menurut Kosasih (2017), iklan dapat dimaknai sebagai pemberitahuan kepada khalayak mengenai suatu barang dan jasa. Iklan juga dapat diartikan sebagai teks yang mendorong dan membujuk khalayak agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan. Berdasarkan pengertian tersebut, iklan dapat dikatakan memiliki dua fungsi, yaitu membangun brand awareness sebuah produk (fungsi informasi) dan juga menarik perhatian calon konsumen untuk membeli produk (fungsi persuasi).
Dalam kajian cultural studies, iklan tidak hanya berfungsi sebagai informasi mengenai sebuah produk, tetapi juga merupakan sebuah media yang menawarkan ideologi tertentu, salah satunya konstruksi gender (Lull, 1998). Konsep gender merupakan suatu sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara historis dan kultural (Fakih, 2013). Perempuan misalnya sifat lemah lembut, penyayang, dan emosional. Karakter tersebut dilekatkan kepada perempuan, sedangkan sosok kuat, tangguh, dan kasar adalah beberapa karakter yang diidentikkan dengan laki-laki. Pembedaan sifat antara laki-laki dan perempuan ini kerap meletakkan laki-laki dan perempuan pada posisi yang tidak hanya berlawanan, tetapi juga hierarkis. Media massa memiliki kekuatan dalam menyebarluaskan pesan dan memengaruhi masyarakat. Dengan demikian, sebagai salah satu produk media massa, iklan dapat mengukuhkan konstruksi gender.
Tulisan ini bermaksud menganalisis iklan Rabbani Kerudung terbaru menggunakan pendekatan semiotika John Fiske. Fiske (2012) menolak gagasan penonton yang mengasumsikan bahwa massa tidak bersikap kritis. Ia mengungkapkan kode-kode yang terdapat iklan berupa pakaian, gestur, ekspresi, musik, dan suara, saling berhubungan dan membentuk sebuah makna. Realita tidak dimunculkan begitu saja melalui kode-kode tadi, tetapi juga diolah melalui alat indra sesuai dengan referensi dimiliki oleh penonton sehingga realitas yang ditampilkan dapat diresepsi secara berbeda oleh setiap individu. Setiap orang dapat memaknai realitas sesuai dengan latar belakang budaya, kelas sosial, geografis, usia, pendidikan, hingga jenis kelamin.
Analisis Semiotika John Fiske terhadap Iklan Rabbani Terbaru
Semiotika merupakan ilmu tentang tanda. Menurut Fiske (2012: 67), semiotika merupakan studi tentang pertanda dan makna dari sistem tanda, studi tentang bagaimana makna dibangun dalam teks media, serta studi tentang bagaimana tanda-tanda mengkomunikasikan makna. Fiske (dalam Eriyanto, 2012: 114) membagi pemaknaan realitas ke dalam tiga level, yaitu: level realitas, level representasi, dan level ideologi.
Level realitas merupakan peristiwa atau tanda yang dikodekan sebagai realitas. Dalam iklan aspek realitas meliputi pakaian, lingkungan, maupun ekspresi. Realitas terbentuk ketika sebuah apa yang ditayangkan di media dikonstruksi atau dianggap sebagai sebuah kebenaran. Level representasi mencakup tentang bagaimana realitas tersebut ditampilkan. Hal ini mencakup pada kamera, teknik pencahayaan, editing, musik, pemakaian kata-kata dan juga bagaimana kalimat-kalimat dinarasikan. Selanjutnya, level ideologi merupakan bagaimana sebuah representasi diorganisasi ke dalam konvensi yang diterima secara ideologis. Representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial tertentu ataupun kepercayaan dominan yang ada di masyarakat, seperti patriarki, materialisme, kapitalisme, dan sebagainya.
Dalam iklan Rabbani berdurasi 58 detik tersebut, aspek realitas terlihat pada gambar-gambar yang bergerak, ekspresi, teks iklan yang ditampilkan di layar, dan juga suara yang menarasikan teks iklan. Iklan dibuka dengan tampilan pemandangan kota Jakarta dengan pemandangan gedung-gedung tinggi dan jalan raya yang cukup sepi. Kemudian, muncul model perempuan yang menggunakan produk Rabbani berupa gamis berwarna merah muda, jilbab berwarna lilac, dan bros inisial Rabbani yang disematkan di dada sebelah kiri. Kemudian model sosok laki-laki dengan mata melotot dan mengenakan kaus berwarna hitam. Selanjutnya tampak model laki-laki berambut panjang klimis yang disisir ke belakang, mengenakan baju koko berwarna biru muda dan celana panjang krem.
Level representasi diperlihatkan melalui kamera, pencahayaan, editing, musik, dan suara. Pada iklan terdapat teks yang muncul di layar dan dinarasikan, dengan iringan musik instrumental untuk menciptakan kesan dramatis. Aspek kamera menjadi tanda yang mendominasi pada level representasi karena pada level ini diperlihatkan bagaimana Rabbani membangun narasi perempuan yang memakai pakaian minim itu bodoh sekaligus menunjukkan iklan sebagai alat promosi. Hal ini diperlihatkan dari tampilan gambar bergerak yang memperlihatkan model perempuan dan laki-laki. Pada awalnya, model perempuan disorot dari bagian tengah tubuhnya menuju ke arah atas yang memperlihatkan setengah wajahnya. Kemudian muncul model laki-laki yang disorot dari sisi wajahnya. Model laki-laki tersebut berpose sambil melihat ke arah kiri dan kanan. Pada level ini, Rabbani memperlihatkan perbedaan pandangan perempuan dan laki-laki ketika perempuan berpakaian minim. Hal ini merupakan bentuk penyamaan antara konsep seks dan gender, padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Konsep seks merupakan pembedaan laki-laki dan perempuan secara jenis kelamin yang bersifat biologis dan kodrati, sedangkan konsep gender merupakan konstruksi sosial dan budaya. Ia dapat berubah dan dipertukarkan. Tidak melulu muncul pikiran buruk pada laki-laki jika melihat ada perempuan yang berpakaian minim. Selanjutnya, diperlihatkan kembali model perempuan dan laki-laki yang sama. Kali ini, dengan gamis, jilbab, dan baju koko yang berbeda dari segi warna dan model. Model laki-laki dan perempuan tersebut terlihat tersenyum ke arah kamera. Hal ini dapat ditandai sebagai strategi Rabbani dalam menjual produknya. Dengan mengangkat isu pelecehan yang sedang marak terjadi, Rabbani mengajak perempuan untuk mengubah cara berpakaian agar sesuai dengan tatanan laki-laki, yaitu pakaian muslimah tertutup dengan berbagai pilihan model dan warna.
Selanjutnya, analisis terhadap teks dalam iklan. Bagian awal teks merupakan pengantar kepada narasi keterkaitan cara berpakaian perempuan dengan terjadinya pelecehan. Hal tersebut diperlihatkan pada kalimat ‘ketika perempuan berpakaian minim, jika terjadi pelecehan, siapa yang salah?’. Dari awal, teks iklan sudah menempatkan perempuan berada di posisi yang salah karena yang dipermasalahkan adalah perempuan yang berpakaian minim. Bagian tengah teks iklan memperlihatkan perbedaan pandangan laki-laki dan perempuan ketika perempuan berpakaian minim. Bagi perempuan, berpakaian minim itu tidak masalah karena perempuan memiliki otoritas atas tubuhnya. Pelecehan terjadi karena ketidakmampuan laki-laki dalam menjaga pandangan dan mengontrol pikirannya. Laki-laki memiliki pandangan yang berbeda. Bagi pikiran laki-laki, perempuan yang berpakaian minim akan membuka kesempatan bagi laki-laki untuk berpikiran jorok. Level ideologi berada pada pengukuhan konstruksi gender melalui kalimat, yaitu ‘jika terjadi pelecehan, yang salah laki-laki atau perempuannya yang bodoh?’
Dengan demikian, iklan Rabbani Kerudung mengonstruksi perempuan sebagai penentu atau pengontrol sikap dan pandangan laki-laki. Banyak media yang menarasikan perempuan sebagai pihak yang patut disalahkan jika laki-laki tidak dapat mengontrol pikirannya ketika melihat perempuan berpakaian minim di depan publik. Padahal, berdasarkan “Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik” yang diadakan tahun 2018, pakaian bukan menjadi penyebab terjadinya pelecehan. Dari hasil survei tersebut, para korban perempuan yang menjadi korban pelecehan sebagian besar mengenakan pakaian longgar, seragam sekolah, baju dan celana atau rok panjang, bahkan tidak sedikit pula yang mengenakan jilbab. Kritikan masyarakat atas iklan ini memperlihatkan sebagian besar masyarakat telah memiliki kesadaran bahwa apa yang dilakukan oleh Rabbani Kerudung merupakan bentuk ketidakadilan gender. Jika media dapat menciptakan narasi yang berpihak pada perempuan, hal itu tentu akan mengurangi angka pelecehan secara signifikan terhadap perempuan.
Discussion about this post