Mengenang Maret
Cerpen: Nur Azizah
Hembusan angin pantai terasa sejuk, menembus sampai ke pori-pori kulitku. Riuh suara deburan ombak mengingatkan seakan-akan dirimu masih ada di sini. Ketika aku harus berkonsentrasi penuh mendengarkan suaramu di antara deburan ombak dan lalu lalang orang di trotoar di tepi pantai ini. Aku juga berusaha mengerti maksud dan inti ceritamu. Ternyata aku tidak terlalu cerdas untuk memahami semuanya.
Masjid putih yang berdiri megah di tepian pantai Padang ini juga turut menjadi kenangan bersamamu. Mesjid Al Hakim, masjid yang kabarnya dididirikan oleh seorang donator untuk almarhumah ibunya. Masjid yang kabarnya replika dari Masjid Taj Mahal di India. Aku belum pernah mengunjungi masjid ini sebelumnya, masjid ini memang baru di resmikan sekitar bulan September tahun lalu dan tetap dibuka untuk umum dengan mengikuti standar protokol kesehatan. Rasanya itu baru kali pertama mengunjungi masjid ini secara langsung, Maret tahun lalu, rasa penasarannmu menulari rasaku, iya, masjid ini bagus sekali ternyata. Angin laut yang berhembus menerbangkan jilbab yang aku kenakan sehingga aku harus memegang ujung bagian depan supaya tidak nampak bagian tubuh yang aku sembunyikan.
Sore ini, aku duduk di atas bebatuan besar di pinggiran pantai. Bebatuan yang disusun sedemikian sehingga dapat memecah ombak besar katanya, tapi entahlah. Aku tidak menahu ilmu itu. Belum ada mempelajari ilmu susunan batu seperti ini. Jadi hanya diam saja ketika dirimu menjelaskan tentang batu-batu ini tahun lalu, sedikit anggukan tanda menyimak.
“Sudah shalat di sana, Ran?” Tanyamu mengejutkanku.
“Aku sudah jamak tadi, Uda. Jadi cuma lihat-lihat saja dan berdoa di dalam masjid itu, harum sekali ruangannya, dingin dan tenang berada di sana.” Jawabku menjelaskan.
“Shalat sunahlah dua rakaat ya. Kita belum tentu ke sini lagi besok.”
“Oh, baik, Uda”. Aku bergegas masuk kembali ke masjid dan berdoa semoga aku ditakdirkan kembali sholat di masjid yang harum ini suatu waktu nanti. Aaroma harumnya seperti aroma kiswah di Mekkah.
Ketika hendak menuruni anak tangga, angin terasa semakin kencang menerpa. Aku membaca beberapa hadist tentang keutamaan berinfak yang tertulis di kotak infak besar di dekat tangga. Sungguh bahagia rasanya bisa berinfak dan menyenangkan. “Ya Allah, murahkan rezeki agar aku dapat berinfak sebanyak-banyakya,” doaku dalam hati.
Menelusuri jalan sepanjang Kota Padang, menjelang sore lampu-lampu jalan sudah mulai menyala terang dan terasa suasana berada di kota besar, teringat kota kecil di kampung yang relatif lebih gelap, hanya bercahayakan bintang-bintang di langit, deru laju mobilmu membuat aku harus berkonsentrasi mendengarkan suaramu, cerita-ceritamu tentang banyak hal, aku tidak dapat mengingat semuanya, yang teringat adalah bagaimana aku tetap berusaha untuk tenang walaupun jantungku serasa mau lepas karena degupnya yang bergerak kacau, sampai akhirnya aku pamit pulang, dan tertidur kelelahan.
Menjelang pagi aku terbangun, duduk di tepi kasur dengan pikiran yang aneh, mengapa jadi teringat dirimu. Padahal, itu adalah kali pertama kita bertemu langsung. Aku tidak pernah menduga akan melihatmu secara langsung. Biasanya, kita hanya diskusi melalui virtual room bersama beberapa sukarelawan yang lain, membahas banyak hal, tentang pendidikan, membantu anak-anak daerah perbatasan Indonesia, membantu mereka untuk gigih menguasai ilmu, memotivasi anak-anak daerah perbatasan agar mau melanjutkan kuliah ke kota yang lebih besar dengan harapan nanti mereka mengerti pentingnya membangun daerah dan membantu generasi muda berikutnya.
Diskusi virtual yang seru, apalagi jika berbarengan dengan beberapa ahli di bidangnya. Motivator milenial, beberapa kali hingga dini hari, membahas program-program pencerdasan siswa dan guru. Pelatihan-pelatihan virtual selama pandemi. Penelitian di era pandemi dan beberapa hal penting yang dibahas berkenaan dengan efek pandemi, dan tingginya tingkat learning loss di daerah-daerah perbatasan Sumatera Barat. Harus ada tindakan khusus untuk membantu siswa tetap belajar. Layanan khusus dan menyelesaikan masalah-masalah yang cukup serius dihadapi siswa-siswa dan guru-guru, termasuk ketiadaan gaji guru guru honorer karena semakin sulitnya perekonomian orang tua siswa.
“Pagi ini kita ke Mandeh ya Ran,” Ungkapmu dengan santai.
“Kamu belum pernah ke Mandeh kan? Tanyamu yakin.
“Belum, dulu pernah ada rencana ke sana, tapi baru rencana saja,” jawabku tersenyum malu
“Uda ajak lihat-lihat daerah ini ya. Di sini jalannya bagus karena memang pemerintah daerah sangat fokus membangun destinasi wisata daerah Pesisir Selatan ini.”
“Ooo”, jawabku sekenanya karena aku lebih fokus pada indahnya daerah pantai selatan Sumatera Barat ini. Jalannya cukup ekstrim untuk ukuranku. Mungkin jika aku yang menyetir mobil aku tidak sempat bicara karena harus fokus mengendalikan mobil mengikuti jalan yang terus menanjak dan berliku.
Sesekali, klason dibunyikan untuk memberi sinyal pada mobil yang ada di depan jika ada karena jalan cukup curam dan belokan-belokan patah serta mendaki. Aku beberapa kali berpegangan erat dan agak merasa takut melewati jalan itu. Aku tidak lagi fokus dengan apa yang dirimu ucapkan. Skill yang sangat bagus. Masih bisa bercerita dalam keadaan jalan ekstrim begini.
“Takut Ran?” Tanya Uda yang tampak mulai khawatir.
“Iya.” Jawabku spontan
Harus aku akui, aku tidak akan berani melewati jalan securam ini jika sendiri. Walaupun jalannya bagus dan pemandangan yang indah di sebelah kanan jalan, aku merasa skill yang aku punya jauh dibawah kemampuan Uda. Mobil terus melaju hingga jalan yang beraspal mentok di ujung jalan. Masih ada jalan tanah beberapa kilometer lagi menuju daerah berikutnya, tapi dirimu memutuskan untuk balik arah karena tidak tampak lagi ada tanda-tanda orang bermukim di sana.
Beberapa meter menuruni jalan tadi. Mobilmu berhenti di parkiran warung kecil. Aku mencari pemilik warung dan memesan dua cangkir kopi. Sepertinya tempat ini sering dikunjungi pengunjung di masa-masa sebelum pandemi. Tampak beberapa tempat duduk yang menghadap pantai dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Pemandangan yang sangat indah untuk menikmati segelas kopi panas di atas perbukitan gunung Padang. Beberapa roti gandum yang dibawa sejak pagi.
Meja kayu di depan kami tampak sudah mulai mengalami pelapukan secara alami. Beberapa lembar kertas dikeluarkan dari mobil dan pena. Aku menikmati kopi hitamku sambil menyimak pelajaran darimu. Tentang proses terjadinya patahan bumi yang membuat adanya pegunungan barisan yang membelah Pulau Sumatera. Tentang susunan bebatuan dan lapisan bumi, tangan kirimu sangat lincah menggambarkan pulau Sumatera dan susunan lapisan bumi yang terjadi.
Beberapa menit berlalu. Sambil menikmati beberapa keping roti, aku berusaha mendengarkan ceritamu yang lain tentang ijazah yang tidak pernah digunakan untuk melamar pekerjaan seperti teman-temanmu lainnya. Sampai sekarang masih utuh seperti apa ketika wisuda beberapa tahun lalu. Cerita berlanjut lagi dengan sejarah mendirikan usaha bersama teman-teman dekatmu. Di masa-masa sulit, teman-teman memutuskan untuk meninggakan perusahaan tersebut dan hanya tertinggal dirimu yang melanjutkannya hingga saat ini.
Aku tidak tahu perusahaan apa yang didirikan. Hanya ikut mendengar ceritamu saja. Sedikit pertanyaan kecil sebagai pertanda menyimak dan mengerti, pendengar aktif supaya ceritamu terasa semakin menarik walaupun aku tidak banyak mengerti cara mendirikan perusahaan, apalagi menjalankannya hingga berkembang dan besar.
“Kita balik lagi ya, Ran. Kita lanjutkan ke Pantai Air Manis, ya?” Ajak Uda tanpa menunggu persetujanku.
“Yups, dengan senang hati,” jawabku.
“Aku memang belum pernah ke Pantai Air Manis walaupun sudah bertahun-tahun bolak-balik Padang. Hanya belum sempat mengunjungi pantai yang agak jauh dari Kota Padang tersebut.” Senyumku.
Uda ikut tersenyum mendengarkan keterangan tersebut agak aneh memang. Sudah bertahun-tahun berkunjung ke Kota Padang, baik untuk kuliah ataupun acara-acara penting lainnya, atau sekadar weekend ke Padang, tapi belum ada menyempatkan untuk melihat bukti adanya cerita Malin Kundang yang sangat legenda itu.
“Nah, kita sudah sampai. Ayo kita lihat Si Malin.” Ajak Uda.
Aku hanya mengikuti langkah-langkahmu yang terasa lebih cepat. Jadi, aku harus mengimbanginya dengan juga berjalan lebih cepat. Napasku agak terengah-engah dan tampak Uda melambatkan jalannya. Aku tersenyum melihat Uda menunggu di pagar masuk. Aku lambat ternyata.
Mengamati bagaimana susunan miniatur kapal Malin Kundang yang terbelah.
Sebuah patung parempuan yang mungkin menggambarkan ibunya Si Malin dan Malin yang bersujud menjadi batu, “Hati-hati kalau marah ya Ran,“ ungkap Uda.
“Kalau ibunya Malin ketika sedang marah dulu itu menyumpahi Malin menjadi Imam Masjidil Haram. Mungkin Malin tidak jadi batu seperti sumpah marah ibunya Imam Sudais di Makkah ketika Sudais kecil menyerakkan pasir di rumah setelah ibunya lelah membersihkan lantai. Sumpah ibunya benar-benar terkabul. Sudais benar-benar menjadi Imam besar di Masjidil Haram.”
Alhamdulillah, begitu banyak pelajaran yang dapat diambil selama beberapa jam bersama Uda. Nasihat-nasihat dan kisah tentang kehidupan, bagaimana menjalani hidup dengan bersyukur dan banyak berdoa untuk akhir hidup yang baik. Pembicaraan berlanjut hingga makan siang bersama di restoran yang menghidangkan Kapalo Lauk di sekitar Pantai Bunguih, tempat Uda biasanya singgah jika mengunjungi saudara yang tinggal di Bunguih dan sekitarnya. Banyak hal yang aku tidak aku tahu tentangmu kecuali apa yang sudah diceritakan dan memang tidak akan tahu banyak karena tidak mungkin aku menanyakan banyak hal. Walau beribu pertanyaan hadir di kepalaku, aku hanya menyimpannya saja. Tidak seperti biasanya, memuaskan semua rasa ingin tahuku akan sesuatu dengan berbagai langkah, termasuk browsing, diskusi, dan hal lain hingga aku mendapatkan kesimpulan akan data yang dikumpulkan dengan valid.
Hari menjelang sore, saatnya Uda harus istirahat dan bersiap kembali ke Bukit Tinggi. Ia berkumpul kembali bersama beberapa teman dalam suatu kegiatan. Aku tidak bertanya tentang kegiatan itu. Aku hanya mendengarkan penjelasan singkat saja. Walaupun masih ada beberapa pertanyaan mengapa Uda tiba-tiba bisa ada di Padang? Padahal, beberapa hari sebelumnya Uda masih di Serpong, ajaib.
Maret akhir tahun lalu. Gerimis pagi menemanimu jogging pagi di lapangan Kantin Bukittinggi. 10.000 langkah yang keren untuk memperingati hari lahirmu seorang diri di kota itu dan hiruk-pikuk orang yang lalu lalang. Mungkin beberapa ucapan dan doa-doa dari keluarga, sahabat, dan teman-teman dekat. Aku tidak mengingat persis tanggal pastinya. Hanya ingat ketika itu sekitar minggu terakhir bulan Maret.
Maret tahun ini, ada beberapa ceritamu masih dapat kuingat dengan baik. Aku memandang birunya langit. Aku melihat awan-awan yang bergerak aktif bersama angin walaupun entah kapan lagi berdiskusi tentang pendidikan dan pandemi, apalagi bertemu denganmu seperti tahun lalu. Ternyata banyak hikmah di balik pandemi, termasuk bertemu dan berdikusi denganmu.
Aku tidak pernah menyangka akan melihatmu secara langsung. Kita hanya teman virtual yang ditakdirkan bergabung dalam beberapa kegiatan sosial dan menjadi teman akrab dalam satu tim Sumatera Barat. Biasanya, aku sangat bebas berbicara lepas dan tertawa tanpa ada rasa sungkan dan sebagainya, tapi ketika bertemu langsung, aku menjadi kaku dan lucu. Dirimu seperti orang asing walaupun aku berusaha biasa-biasa saja. Maret ini, aku berdoa semoga dirimu sehat dan masih terus bergerak untuk membantu anak-anak Indonesia di manaupun dirimu berada, dan aku pun juga begitu. (Pantai Padang, Maret 2022).
Biodata Penulis:
Nur Azizah dilahirkan di Curup-Bengkulu taun 1974 dari Ayah yang bernama Abdul Karim dan Ibu Rosmanely. Ia merupakan seorang Sarjana Pendidikan dan M.Si. di Padang, Sumatera Barat. Sejak tahun 1999, penulis menjalani tugas sebagai Guru matematika di tingkat SMA dan menjadi Kepala Sekolah sejak 2013 di daerah perbatasan Sumatera Barat hingga Juni 2022. Ibu dari 5 anak ini menyukai dunia kepenulisan. Berapa artikelnya sudah terbit di surat kabar lokal dan Jurnal ber-ISSN. Selain itu, ia juga menekuni bidang penelitian pendidikan, belajar menulis puisi, dan menulis beberapa buku tipis, di antaranya: 1) SIM, Cara mudah menulis artikel, 2) Praktis menulis PTK bagi Guru Pemula, 3) Praktis Menulis PTS, Menulis riset serasa Menulis Prosa, 5) Mengabek Padi Jo Daun, sebuah filosofi Minang dalam meningkatkan PKB khusus Guru daerah Perbatasan, 6) Dimensi Ruang R3, dan berbagai buku antologi Pendidikan dan motivasi.
Cerpen “Mengenang Maret”: Tumbuhnya Pariwisata Sastra di Indonesia
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dewan Penasihat Pengurus FLP Wilayah Sumbar dan
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran Jakarta)
Pembaca barangkali sudah mengetahui bagaimana novel Siti Nurbaya: Kasih Tak Sampai karya Marah Rusli menjadi titik awal berkembangnya pariwisata di Gunung Padang yang menjadi lokasi makam Siti Nurbaya. Pemerintah setempat menjadikan daerah setempat sebagai salah satu destinasi wisata di Kota Padang. Selain makam Siti Nurbaya, ada Taman Siti Nurbaya. Sementara itu, jembatan yang dibangun untuk menghubungkan Gunung Padang dan pusat Kota Padang diberi nama Jembatan Siti Nurbaya, bahkan beberapa tahun belakangan ini pemerintah setempat mengadakan Festival Siti Nurbaya. Begitulah dunia fiksi hasil karangan Marah Rusli itu seolah-olah menjadi realita dalam dunia pariwisata.
Selain novel Siti Nurbaya yang menggambarkan betapa eratnya hubungan sastra dan pariwisata, fenomena baru dalam karya sastra Indonesia yang mencerminkan hubungan sastra dan pariwisata adalah Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Novel yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing itu mampu menjadi duta yang berperan besar bagi peningkatan pariwisata Bangka Belitung. Sejak mendunianya Novel Laskar Pelangi, Belitung sebagai latar cerita dalam novel itu turut mendunia.
Selain dua novel di atas, tentu banyak karya sastra yang berhubungan erat dengan pariwisata. Akhir-akhir ini, dengan semakin populernya kajian lintas ilmu (multidisipliner) pembicaraan tentang sastra dan pariwisata semakin terbuka. Membicarakan tentang sastra dan pariwisata dalam ranah kajian sastra Indonesia pada dasarnya akan merujuk pada dua hal yang berkembang akhir-akhir ini. Pertama Pariwisata Sastra (literary tourism), kedua adalah sastra perjalanan (travel literature). Sastra perjalanan adalah genre sastra yang termasuk di antaranya adalah sastra luar ruangan, buku panduan perjalanan, penulisan alam, dan memoar perjalanan.
Salah satu tulisan I Nyoman Darma Putra yang berjudul “Literary Tourism: Kajian Sastra dengan Pendekatan Pariwisata” yang dimuat dalam buku Nuansa Bahasa Citra Sastra Pendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra yang dieditori oleh I Wayan Pastika, dkk. terbitan Pustaka Larasan bekerja sama dengan Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana yang diterbitkan pada 2019, memuat tentang hubungan erat antara sastra dan pariwisata.
Dalam tulisan itu disampaikan bahwa karya sastra memiliki kontribusi dalam memajukan pariwisata Indonesia, langsung maupun tidak langsung, hal itu sudah terjadi sejak lama dan terus semakin nyata dalam satu setengah dekade terakhir ini. Lebih jauh disampaikan bahwa sumbangan sastra dalam pengembangan kepariwisataan Indonesia, misalnya, tampak lewat pelaksanaan festival sastra, terbitnya karya sastra yang membuat sebuah daerah menjadi terkenal sebagai destinasi wisata, filmisasi karya sastra yang secara tidak langsung mempromosikan daerah yang menjadi latar cerita, serta penggalian mitos atau cerita rakyat sebagai penciptaan branding sebuah destinasi wisata.
Putra (2019) dalam tulisannya juga membatasi bahwa sastra pariwisata adalah kajian terhadap karya sastra dengan memperhatikan aspek-aspek kepariwisataan. Batasan ini bersumber dari definisi tentang literary tourism yang diberikan oleh Busby dan Klug (2001 dalam Hoppen dkk 2014) yang menjelaskan bahwa sastra pariwisata terjadi kalau ada penulis atau karyanya menjadi terkenal dan orang-orang tertarik berkunjung ke sana, ke tempat lahirnya, ke makamnya, ke rumahnya, atau ke tempat-tempat yang dilukiskan dalam karyanya.
Berdasarkan pengertian di atas, Putra (2019) merumuskan ada empat fokus kajian sastra pariwisata. Keempat kajian itu adalah pertama tourism themes, yaitu tema-tema pariwisata dalam karya sastra, kedua literary figure, literary place yaitu kajian atas sosok sastrawan dan tempat-tempat yang berkaitan dengannya yang menjadi daya tarik wisata; ketiga literary events, activities, yaitu peristiwa sastra dan aktivitas sastra lain yang berkaitan dengan kepariwisataan; dan keempat ecranisation yaitu alih wahana sastra ke dalam film yang mengandung potensi promosi pariwisata.
Berdasarkan empat kajian tersebut, pada dasarnya juga dapat dibedakan empat hal penting yang menghubungkan karya sastra dan pariwisata. Pertama, bagaimana karya sastra memuat persoalan-persoalan pariwisata di dalam karya sastra. Kedua, bagaimana karya sastra menjadikan tempat-tempat pariwisata sebagai latar ceritanya. Ketiga, bagaimana kegiatan-kegiatan kesastraan menjadi event dalam kegiatan pariwisata. Keempat, bagaimana karya sastra dialihwahanakan ke media lain yang mampu mempromosikan pariwisata yang menjadi tema dalam karya tersebut.
Kreatika edisi minggu ini memilih sebuah cerpen berjudul “Mengenang Maret” karya Nur Azizah anggota FLP Wilayah Sumatera Barat. Dalam cerpen yang bergaya naratif dengan tokoh dalam sudut pandang orang pertama ini, Nur Azizah menceritakan pengalaman seorang tokoh “Aku” yang sedang melakukan perjalanan ke Sumatera Barat. Tokoh “Aku” dalam cerpen ini sepertinya seorang mahasiswa yang bukan berasal dari Kota Padang, tapi menuntut ilmu di Kota Padang. Setelah lulus tokoh “Aku” dalam cerpen ini masih sering mengunjungi Kota Padang dalam rangka kunjungan kerja atau hanya sekadar untuk mengisi waktu liburnya. Hal ini seperti terungkap dalam penggalan kutipan berikut ini:
“Aku memang belum pernah ke Pantai Air Manis, walaupun sudah bertahun-tahun bolak balik Padang, hanya belum sempat mengunjungi Pantai yang agak jauh dari kota Padang tersebut”. (Azizah, 2022).
Cerpen “Mengenang Maret” ini adalah salah satu contoh pariwisata sastra di Indonesia. Melalui ceritanya, tokoh “Aku” menceritakan bagaimana kisahnya mengunjungi berbagai destinasi wisata di Kota Padang dan Pesisir Selatan. Dengan tokoh “Uda” sebagai tokoh pendukung tokoh utama, tokoh “Aku” menikmati indahnya Pantai Padang.
Embusan angin pantai terasa sejuk, menembus sampai ke pori-pori kulitku. Riuh suara deburan ombak mengingatkan seakan-akan dirimu masih ada di sini. Ketika aku harus berkonsentrasi penuh mendengarkan suaramu diantara deburan ombak dan lalu lalang orang di trotoar di tepi pantai ini, aku juga berusaha mengerti maksud dan inti ceritamu. Ternyata aku tidak terlalu cerdas untuk memahami semuanya.
Pada paragraf pembuka cerita, penulis sudah mendeskripsikan bagaimana suasana Pantai Padang yang indah itu, bahkan pada bagian selanjutnya. Penulis menceritakan bahwa pada salah satu titik di garis pantai tersebut sekarang ada sebuah masjid yang melengkapi keindagan Pantai Padang.
Masjid putih yang berdiri megah di tepian pantai Padang ini juga turut menjadi kenangan bersamamu. Mesjid Al- Hakim, masjid yang kabarnya dididirikan oleh seorang donator untuk almarhumah ibunya. Masjid yang kabarnya replika dari Masjid Taj Mahal di India.
Pada bagian selanjutnya, penulis menceritakan perjalanannya menikmati indahnya destinasi wisata Mandeh, Pesisir Selatan. Dengan gaya penceritaan yang deskriptif, penulis menggambarkan bagaimana suasana daerah-daerah yang dilewatinya; kelokan jalan, tempat istirahat minum kopi, dan lain sebagainya membuat imajinasi pembaca bisa membayangkan betapa indahnya alam Pesisir Selatan itu.
Tak hanya itu, penulis kemudian juga menceritakan bagaimana pengalamannya menelusuri Pantai Air Manis dengan cerita Malin Kundang yang melegenda itu. Penulis mendeskripsikan bagaimana monumen batu Malin Kundang yang dibuat di Pantai Air Manis itu. Begitulah, Nur Azizah sudah membuat sebuah cerpen yang memenuhi sarat sebagai sastra pariwisata. Terlepas dari berbagai kelemahan cerpen ini, yang pasti cerpen dengan tema-tema seperti ini perlu dikembangkan untuk memperkaya khasanah sastra Indonesia. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post