Oleh: Rizki Junando Sandi
(Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Merefleksikan peribahasa yang berbunyi “dialas bagai memengat” ke dalam kehidupan sehari-hari tampaknya masih menjadi problematika yang rumit. Peribahasa tersebut memberikan pesan bijak, yaitu kalau berkata pikirlah dahulu baik buruknya agar tidak dicela oleh orang lain. Kepekaan rasa dan cara berpikir untuk menyampaikan sebuah pesan melalui bahasa sering terjadi gagal pemahaman yang berujung pada tersinggungnya lawan bicara. Hal ini disebabkan karena perbedaan pandangan dan perilaku individu, khususnya di era Generasi Z. Menurut Bencisk, Csikos, dan Juhaz (2016) sekelompok orang yang lahir pada tahun 1995 hingga 2010 merupakan Generasi Z atau biasa disebut Gen Z. Kehadiran Gen Z membuktikan bahwa transformasi era industri membawa dampak signifikan terhadap manusia. Salah satunya adalah fenomena berbahasa di kalangan Gen Z.
Menurut hasil riset yang dilakukan oleh McKinsey (2018), Gen Z merupakan “the dialoguer” yang berarti generasi dengan kecakapan berkomunikasi dan mementingkan penyelesaian konflik melalui adanya dialog. Selain itu, generasi ini memiliki jiwa kreatif dan inovatif. Tak heran jika muncul beragam perubahan tradisi berbahasa, di antaranya campur kode, poliglot, hingga tuturan lainnya. Namun, suatu fenomena yang sering terjadi di Generasi Z, tetapi membawa dampak negatif dalam berbahasa, yaitu toxic positivity. Apa itu toxic positivity? Gen Z sebagai generasi dialog sangat acuh terhadap pemaknaan kalimat tutur yang berujung pada toxic positivity. Menurut Howard (2019) dalam laman Roomper, toxic positivity adalah perintah untuk selalu berpandangan positif dan memotivasi diri agar berorientasi kepada pemikiran positif meskipun dalam keadaan sedih, sakit, takut, dan kecewa. Namun, mencoba untuk bertahan pada orientasi tersebut justru memicu ketidaksadaran kolektif yang menghasilkan perilaku racun dan kepalsuan. Hal ini akan berdampak besar pada kegagalan interaksi dan gejala sosial berbahasa.
Sebenarnya, perlakuan toxic positivity tidak dapat disadari secara langsung, apalagi jika pelaku yang awalnya memiliki empati dan niat untuk memotivasi lawan tutur, justru berlawanan arah pemaknaannya. Fenomena ini sering muncul melalui hasil aktivitas berbahasa, yaitu ucapan. Selain itu, toxic positivity sering ditemukan di media sosial sebagai wujud dari komunikasi sekunder. Kepekaan rasa Generasi Z terhadap fenonema tersebut dapat ditemui pada kalimat-kalimat berikut.
(1) Sudahlah, masalah gitu doang, lebay banget!
(2) Kamu terlalu overthinking, masalahmu enggak seberapa dengan masalahku.
(3) Sok sibuk banget, padahal kerjaanmu enggak terlalu banyak, deh.
Kalimat-kalimat tersebut pada awalnya berimplikasi pada rasa memotivasi lawan tutur atau diri sendiri agar selalu berpikir positif. Namun, tidak selamanya keadaan positif dapat berpengaruh baik terhadap perkembangan psikis dan mental. Biasanya, ketiga kalimat di atas terucap ketika kondisi sedih seseorang terhadap pekerjaan atau dirundung problematika. Dapat dibayangkan jika kondisi sedih dipaksakan untuk terlibat pada keadaan positivistik. Justru fenomena tersebut menimbulkan gejala sosial dalam masyarakat. Menurut Soekanto (1999), gejala sosial menyebabkan terjadinya masalah dalam lingkungan masyarakat seiring dengan bahasa sebagai alat komunikasi dan identitas sosial. Oleh sebab itu, toxic positivity dalam fenomena berbahasa Gen Z menjadi pemicu awal terjadinya gejala sosial di masyarakat. Lalu, bagaimana fenomena ini dalam pandangan Sosiolinguistik?
Pertama, hadirnya fenomena ini mengingatkan pada relativitas masyarakat dan bahasa. Sebagai lambang bunyi yang arbiter, bahasa berperan penting dalam interaksi dan identifikasi diri. Bahasa juga berperan dalam pembentukan, yakni ragam bahasa. Kalimat-kalimat toxic positivity ditemukan pada aktivitas berbahasa dengan ragam tidak baku. Hal ini dapat terjadi dalam komunikasi ringan, baik antara teman sebaya maupun masyarakat biasa. Namun, tidak menutup kemungkinan, fenomena tersebut ditemukan pada tingkatan yang lebih tinggi lagi, seperti komunikasi antara pimpinan dengan karyawan. Hal tersebut disebabkan adanya stratifikasi sosial yang menyebabkan rasa tidak menghargai orang yang lebih rendah tingkatan sosialnya. Padahal, jika ini dilakukan secara terus-menerus, terjadi gagal perfomansi berbahasa. Sebagai alat terpenting dalam interaksi masyarakat, bahasa sudah seharusnya digunakan dengan baik. Dalam artian, ketika ingin menyampaikan sebuah pesan melalui bahasa, seseorang mampu berpikir sebelum berkata sehingga perkataan tersebut tidak menjadi racun dan pemicu hadirnya masalah.
Kedua, fenomena ini menyinggung pula hubungan bahasa dan verbal repertoire. Menurut Chaer dan Agustina (2010), verbal repertoire dimiliki oleh setiap individu dan ditentukan oleh masyarakat bahasanya. Jika dianalisis, pelaku yang sering melakukan toxic positivity dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan lingkungannya. Verbal repertoire dalam kasus ini biasa mencakup masyarakat monolingual, yakni masyarakat yang memiliki kemampuan berkomunikasi hanya dengan menggunakan satu bahasa. Perbedaan latar pendidikan sangat mempengaruhi cara berpikir dan berbahasa yang dimiliki meskipun dalam lingkungan yang sama. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin bijak pula bahasa yang ia gunakan. Dalam artian lain, kompetensinya dalam menuturkan bahasa sudah dikatakan baik. Orang-orang tersebut akan berhati-hati dalam mengucapkan sesuatu, apalagi jika menyinggung perasaan orang lain. Setidaknya, kecil kemungkinan terjadi toxic positivity yang berasal dari kriteria tersebut. Namun, hal itu tidak menutup kemungkinan terjadinya toxic positivity sebab fenomena ini tidak memandang latar belakang apa pun.
Ketiga, meminimalisasi fenomena ini dibutuhkan kesadaran akan pentingnya berbahasa sesuai dengan situasi dan kondisi sebab toxic positivity yang berawal dari empati ketika melihat lawan tutur merasa sedih atau kecewa. Ketika manusia dalam kondisi demikian, akan terjadi beberapa perubahan, di antaranya raut wajah sedih, tidak bertenaga, dan keinginan untuk berdialog dan menyampaikan isi hati kepada orang lain atau biasanya disebut curhat. Jika terdapat kondisi demikian, yang seharusnya dilakukan adalah menempatkan posisi terbaik agar tidak terjadi perbenturan makna.
Jadilah pendengar yang baik agar curahan hati yang disampaikan orang lain dapat dipahami dengan baik pula. Jika diperlukan interaksi berupa nasihat, perlu diperhatikan kalimat yang diucapkan tidak menambah beban pikiran dan menyerang psikis orang yang curhat. Adapun kalimat yang dapat diucapkan dapat berupa motivasi. Berbahasa yang sesuai dengan kondisi akan membuat keadaan lebih baik dan meminimalisasi toxic positivity.
Setelah mengetahui fenomena toxic positivity dalam bingkai Sosiolinguistik, ada baiknya mengetahui pula tanda-tanda jika mengalami hal demikian. Sebagai manusia yang memiliki rasa, hadirnya lingkaran toxic positivity dapat dideteksi. Adapun tanda-tandanya, seperti menyembunyikan perasaan, merasa bersalah, membandingkan diri dengan orang lain, dan bertambahnya beban pikiran. Jika Anda mengalami hal tersebut, segeralah melakukan refleksi diri agar tidak berlarut dalam kesedihan dan kekecewaan. Lalu, Anda dapat menghindari fenomena tersebut dengan cara mengelola rasa dan emosi negatif, berusaha memahami, menghindari perbandingan masalah, mengurangi penggunaan media sosial (social media), dan segeralah melakukan hal-hal yang membuat Anda terhibur. Perasaan bahagia dan rileks akan dirasakan jika solusi dilakukan dengan maksimal. Selain itu, dengan adanya kesadaran terhadap toxic positivity juga menghadirkan kewaspadaan terhadap serangan mental lainnya.
Meminimalisasi toxic positivity sedari awal bukan berarti menyebarluaskan emosi negatif di dalam diri. Justru, melakukan justifikasi dan validasi terhadap munculnya suasana negatif yang berperan dalam pembentukan karakter dan mental seseorang. Perlu disadari, kehidupan memerlukan keseimbangan di dalamnya. Keseimbangan akan menjaga kesucian diri manusia, begitu pula dengan suasana positif dan negatif. Anda bisa merasakan kesedihan dan kekecewaan sehingga unsur jiwa yang terkandung di dalamnya dapat dirasakan. Selain itu, segeralah mencari lawan tutur atau orang yang dipercaya untuk mencurahkan isi hati agar dapat dikomunikasikan dengan baik. Jika Anda ingin didengar, jadilah pendengar yang baik bagi orang lain!
Discussion about this post