Sebuah Keputusan
Cerpen: Dara Layl
Aku tau kamu lahir dari
Cantik utuh cahaya rembulan
Sedang aku dari badai
Marah riuh yang berisik
Juga banyak hal-hal yang sedih
Setelah melaksanakan salat dzuhur di sebuah masjid yang begitu cantik di dekat danau, gadis itu memutuskan untuk duduk di sebuah cafe mini yang diberi nama Cafe Abah, cafe yang bersebrangan dengan masjid. Masjid itu diberi nama Masjid Ummi, masjid yang dijadikan hadiah oleh seorang Menteri Dalam Negeri kepada ibunya. Masjid yang dibangun ini bukan hanya sebagai hadiah, tapi menurut masyarakat setempat, juga sebagai penolak bala. Masjid ini sengaja dibuat di dekat danau yang dijadikan sebagai obyek wisata agar orang-orang yang ingin melakukan hal-hal yang merugikan bisa berpikir ulang saat mendengar lantunan adzan atau murottal Al-qur`an.
Suatu kenikmatan yang tiada terkira bagi gadis itu saat bisa kembali salat di masjid yang menyimpan banyak rahasia terutama bagi dirinya dan seseorang yang ingin ditemuinya, mengingat masjid ini salah-satu saksi bagaimana ia menghabiskan masa-masa di Sekolah Menegah Atas karena masjid ini berada tepat di seberang gedung sekolahnya.
Angin danau yang masuk melalui celah-celah cafe, terasa lembut menyapu permukaan kulit, untung gadis itu mengenakan sweater sehingga dingin tidak terlalu terasa menggigit. Tidak heran daerah ini dinamakan Kutub Tak Bersalju, melihat dari deretan bukit, danau, banyak pepohonan hujau, ditambah berada di daerah dataran tinggi, sudah cukup menghadirkan dingin tanpa harus mendatangkan salju.
Lagu yang berjudul “Amin Paling Serius” milik Nadin Hamizah dan Sal Priadi yang dicover oleh Febby Putri NC bersama Rey Mbyang yang diputar pemilik cafe, mengalun dengan indah menemani gadis itu menikmati secangkir Kopi Aceh di sudut cafe. Sesekali bibirnya mengkuti lirik lagu sambil memperhatikan orang-orang dari balik kaca. Sesekali ekor matanya melirik jam tangan yang melingkar manis di tanganya.
Tapi menurut aku, kamu cemerlang
Mampu melahirkan bintang-bintang
Menurutku ini juga karena hebatnya badaimu
Juga karena lembutnya tuturmu
Tuk petualangan ini
Mari kita ketuk pintu yang sama
Membawa amin paling serius seluruh dunia
Bayangkan betapa cantik dan lucunya
Gemuruh petir ini
Disanding rintik-rintik yang gemas
Dan merayakan amin paling serius
Seluruh dunia
“Masih suka, Kopi Aceh?” Seorang pria duduk di depan gadis itu sambil tersenyum hangat.
“Kenapa telat? Kan janjinya jam setengah dua. Kamu itu udah korupsi tiga puluh menit, tauk.” Gadis itu terlihat sangat sebal.
Pria di depanya ini hanya tersenyum sambil menyesap Kopi Tubruk yang telah sampai di mejanya.
“Kamu boleh marah, tapi nanti. Aku udah lama nggak ke sini, biarin aku nikmatin kopinya, setidaknya sampai lagu ini selesai.”
Keduanya kembali hening sambil meneguk kopi masing-masing, sambil menyelami lirik lagu yang terdengar begitu puitis.
Aku tau kamu tumbuh dari
Keras kasar sebuah kerutan
Sedang aku dari pilu
Aman yang ternyata palsu
Juga semua yang terlalu baik
Tapi menurut aku kamu cemerlang
Mampu melahirkan bintang-bintang
Menurutku ini juga karena lembutnya sikapmu
Juga sabarmu yang nomor satu
Tuk petualangan ini
Mari kita ketuk pintu yang sama
Membawa amin paling serius seluruh dunia
Bayangkan betapa cantik dan lucunya
Gemuruh petir ini
Disanding rintik-rintik yang gemas
Dan merayakan
Amin paling serius
Seluruh dunia
“Masih mau marah?” Pria itu bertanya dengan lembut.
“Nggak jadi.” Cemberut di wajah gadis itu telah luntur.
“Jadi, hal penting apa yang mau kamu sampaikan, sampai harus kencan di tempat penuh memori ini?” Mendengar pertanyaan pria di depannya ini, gadis itu mendadak gugup. Udara yang dihirupnya terasa berat dan sesak.
“Aku mau kita udahan.” Ucapnya sambil menatap pria di depannya dengan mata yang berembun.
“Alasanya?” Pria itu masih terlihat tenang, walau mata yang terbungkus kacamata itu menatap dengan tajam.
“Aku udah nggak mau pacaran lagi”
“Terus kamu maunya kita langsung nikah, gitu?”
“Bukan seperti itu.” Gadis itu terdengar frustasi.
“Terus? Rasa-rasanya aku nggak ada kesalahan dan kita nggak punya masalah, lalu kenapa kamu minta putus?”
“Aku cuma nggak nyaman dengan hubungan ini, aku tertekan.”
“Iya, kenapa? Alasanya?!”
“Karena agamaku melarangnya. Itu saja.” Gadis itu akhirnya berterus terang.
“Ha..Ha..Ha…. Kenapa kamu mendadak relegius? Bukankah dari dulu kamu tau itu, tapi buktinya kamu tetap terima aku?” Pria itu tertawa sumbang, sambil menahan rasa kecewa yang tidak lagi bisa disembunyikan.
Gadis itu menunduk, sudah dia perkirakan akan menjadi seperti ini. Alasan dia ingin putus itu akan menjadi boomerang baginya dan seseorang di seberangnya, melihat dirinya bukan orang yang taat dalam beragama, diapun memakai hijab juga baru setelah selesai diwisuda. Untuk masalah ini dia perlu mempesiapkan hati, raga, dan mental. Terlebih dia juga harus memutar otak dengan cerdas, sebab yang dia putuskan bukan orang sembarangan, ia heran kenapa bisa jatuh cinta pada laki-laki sederhana ini. Pertemuan di kelas Dasar-Dasar Filsafat mengantarkan mereka pada sebuah kisah.
Sulit baginya menjelaskan kepada seseorang yang sebenarnya sangat disayangi ini. Yang jelas hubungan ini membuatnya merasa sangat bersalah dan terus merasa bersalah. Dia senang bisa dekat dengan pria ini, tapi ketika sendiri perasaan bersalah menyusup diam-diam datang tanpa bisa dicegah. Dia tidak ingin hidup dalam rasa bersalah selamanya, tapi dia juga takut menyakiti seseorang yang diyakini tulus mencintainya dan sekarang dia melakukannya.
“Ini salah. Kamu tidak akan paham, karena…” Gadis itu menggantung ucapannya. Dia ragu mengatakan.
“Karena aku tidak memiliki kepercayaan?”
Gadis itu hanya diam.
“Kamu tau Raina, aku hanya tidak memiliki kepercayaan, tapi bukan berarti aku tidak mempercayai Tuhan. Dan kamu tau sendiri, kan? Jika saat ini aku sedang berusaha menemukan jawaban atas keragu-raguanku akan sebuah agama,”
“Aku tidak mau hanya ikut-ikutan menganut agama, tapi tidak sepenuh hati dalam menjalankan. Malah terkesan meremehkan agama yang kuanut sendiri. Aku tidak mau seperti itu.” Laki-laki itu berusaha berusaha memberi pengertian.
“Itu hanya pembenaran atas pemikiran yang kamu ciptakan sendiri, bisa jadi hanya karena kamu malas menjalankan kewajiban agama, bukan?”
“Kenapa setelah berhijab kamu jadi mudah menilai orang seperti ini, merasa bahwa kamu paling benar. Tidak semua yang terlihat dan terdengar itu sama dengan yang kamu pikirkan, jangan terlalu cepat menyimpulkan.” Pria itu berkata frustasi.
Gadis itu tertegun dengan kalimat pertama yang diucapkan laki-laki di depannya. Gadis itu menunduk dalam.
“Salahkan aku saja. Jangan hijabku.” Gadis itu berkata lemah.
Sesaat mata mereka bersitatap dengan sorot terluka. Gadis itu menghirup napas dalam-dalam.
“Ini bukan perkara kamu memiliki kepercayaan atau tidak, tapi ini tentang diriku sendiri, Juni. Mungkin ini akan terdengar munafik di telingamu, tapi jujur aku selalu didatangi rasa bersalah.”
Gadis itu menghirup napas susah-payah.
“Kenapa baru sekarang?” Juni berkata dengan nada suara yang lebih pelan.
Raina hanya diam dan Juni tau diamnya Raina adalah sebuah jawaban.
“Apakah kamu benar-benar yakin Raina?” Juni bertanya dengan nada ragu berharap Raina berubah pikiran.
“Iya, aku yakin.” Raina menjawab dengan mantap sambil menatap Juni dengan lekat.
“Jika itu keputusanmu, aku akan menghargainya.” Juni mengatakan itu dengan setengah hati, tapi dia juga harus menghargai keputusan Raina.
Juni harap Raina bisa berpikir lebih lama lagi, tapi rasanya percuma, sebab alasannya jatuh cinta pada gadis itu memang karena keteguhannya dalam memegang kata-katanya.
“Raina, kamu tau tidak? Kita itu seperti lirik lagu Amin Paling Serius. Akankah jeda memberi kita ruang untuk merayakan perpisahan, agar dapat bertemu kembali?” Juni bertanya dengan sungguh-sungguh. Kini Raina hanya tersenyum, sambil meneguk kopi yang terasa mulai dingin.
“Raina, apakah kamu masih mencintaiku?” Juni kembali bertanya.
“Jangan menanyakan sesuatu yang sudah kamu tau jawabanya, itu menandakan kamu meragukan apa yang kamu yakini.” Raina menjawab dengan tenang. Kali ini Juni yang terdiam.
“Oh, iya. Aku mengajak kamu kesini juga ingin mengucapkan perpisahan,” Raina kembali menunduk. Juni menatap Raina dengan dalam, perpisahan apa lagi yang akan dihadiahi oleh gadis yang berhasil mengambil hatinya ini.
“Aku melanjutkan S2 di Jogya, Alhamdulillah aku keterima beasiswa itu, akhirnya aku bisa melanjutkan kuliah di kampus impianku, di Universitas Gajah Mada.” Raina mengucapkan itu dengan mata bercahaya dan nada haru.
“Tidak perlu mengucapkan perpisahan seperti itu.” Walaupun agak kaget, Juni menjawab dengan datar.
“Kenapa?” Raina heran.
“Aku juga melanjutkan S2 di sana.”
“Hah! Apa?”
Tentang Penulis:
Dara Layl adalah seorang penulis Sumatera Barat. Sekarang ia aktif di komunitas penulis Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sumatera Barat. Beberapa cerpennya pernah dibukukan dan diterbitkan di media-media di Sumatera Barat.
Resepsi dan Lahirnya Sebuah Karya Sastra
Oleh:
Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran Jakarta dan
Dewan Penasihat Pengurus (DPP) FLP Wilayah Sumatera Barat)
Kreatika edisi Minggu ini menayangkan sebuah cerpen berjudul “Sebuah Keputusan” karya Dara Layl seorang penulis muda yang saat ini menjadi pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Sumatera Barat. Cerpen ini bercerita tentang Raina dan Juni, sepasang anak muda yang baru lulus sarjana, yang terjerat dalam cinta beda keyakinan. Cerita ini berkisah tentang hal sebagaimana makna cerpen itu sendiri yang bisa disebut sebagai kisah sekali duduk. Cerpen ini hanya mengambil latar waktu beanr-benar sekali duduk dua tokoh ini sambil ngopi di sebuah tempat yang menurut penulisnya sangat romantis.
Penulis menceritakan latar cerita ini dekat sebuah masjid yang fenomenal di sebuah daerah yang dijuluki “Kutup Tidak Bersalju”. Ada beberapa catatan saya terhadap cerpen yang romantis ini. Pertama,membaca cerpen Dara memaksa saya untuk mencari referensi tentang beberapa hal (terkait keterbatasan informasi yang saya terima).
Kedua, cerpen ini menunjukkan kepada saya betapa karya besar bisa memengaruhi pembaca/pendengar/orang yang melihatnya untuk menghasilkan karya lainnya. Banyak orang menyebutnya bahwa karya besar itu bisa menginspirasi orang lain. Walaupun banyak hal yang patut dibicarakan dari cerpen “Sebuah Keputusan” karya Dara Layl ini, tapi pada kesempatan kali ini saya akan fokuskan pada bagaimana seseorang menerima sebuah karya dan kemudian mendorongnya untuk menghasilkan karya yang baru.
Dalam teori sastra dikenal sebuah teori bernama Teori Resepsi. Wolfgang Iser (1979) dalam bukunya The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response yang diterbitkan Baltimore: John Hopkins University Press menyebutkan bahwa awal mula kemunculan teori resepsi adalah tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Maksudnya ialah untuk mendapat penilaian dari para penikmat dan konsumen karya sastra, dalam praktiknya pembaca memilih makna dan nilai sehingga karya tersebut benar-benar mempunyai arti dari tanggapan pembaca atau penikmat karya sastra. Dengan demikian, teori resepsi ini merupakan teori yang membahas mengenai kontribusi atau feedback pembaca dalam menerima suatu karya sastra.
Dalam realitas masyarakat praktik mengenai bagaimana kontribusi pembaca atau feedback pembaca setelah menikmati karya orang lain. Banyak hal yang bisa dirasakan oleh pembaca karya sastra setelah membaca karya tersebut. Ada yang berdecak kagum, ada yang sedih, ada bahagia, marah dan berbagai emosi lainnya. Dalam tingkatan lanjut, ada tahap penikmat karya sastra juga bisa menghasilkan karya baru.
- Nur Kholis Setiawan(2008), dalam bukunya Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesaryang diterbitkan Penerbit Elsaq, Yogyakarta menuliskan bahwa teori resepsi telah ada sejak tahun 1960, namun konsep-konsep yang sesuai baru dijumpai pada tahun 1970-an. Adapun tokoh yang terkenal sebagai pelopor teori resepsi ialah Mukarovsky, akan tetapi yang mengutarakan teori-teori resepsi ialah Wolfgang Iser dan Hans Robert Jauss.
- Teeuw (1988) dalam buku, Sastra Dan Ilmu Sastra yang diterbitkan Penerbit Dunia Pustaka Jaya menceritakan bahwa Hans Robert Jauss (1921-1997) sebagai salah satu pemikir yang mempunyai andil besar terhadap munculnya teori resepsi sastra. Pada saat itu, pemikirannya dianggap sebagai pemikiran yang menggemparkan ilmu sastra tradisional di Jerman Barat.
- Robert Holub (1984) dalam essainya yang berjudul “The Change in the Paradigm of Literary Scholarship atau “Perubahan Paradigma dalam Ilmu Sastra” mengisyaratkan adanya kehadiran perspektif baru dalam kajian ilmu sastra yang menekankan krusialnya kedudukan pemahaman dari pembaca. Teori yang dilahirkan oleh Jaussmenitikberatkan pengamatannya pada pembaca sebagai konsumen dan memandang bahwa karya sastra merupakan suatu proses dialektika yang terlahir dari produksi dan resepsi.
Kembali ke Cerpen “Sebuah Keputusan” karya Dara Layl cerpen ini terinspirasi oleh beberapa karya besar yang dirasakan oleh penulisnya. Pertama, cerpen ini adalah resepsi dari penciptaan Allah SWT atas alam semesta yang maha indah ini. Tiupan angin yang dinikmati penulis, hijaunya alam Minangkabau yang dilihat penulis, resah rasa yang dirasakan penulis dan semua apa yang dia rasakan atas ciptaan alam semesta dan isinya ini mendorong penulis untuk menciptakan karya yang baru yang walaupun tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan ciptaan Allah SWT tersebut.
Kedua, cerpen ini adalah resepsi dari karya indah arsitektur yang dihasilkan manusia, yaitu Masjid Ummi yang membuat kagum penulis. Di awal cerita ini dapat dilihat:
Setelah melaksanakan salat dzuhur di sebuah masjid yang begitu cantik di dekat danau, gadis itu memutuskan untuk duduk di sebuah cafe mini yang diberi nama Cafe Abah, cafe yang bersebrangan dengan masjid. Masjid itu diberi nama Masjid Ummi, masjid yang dijadikan hadiah oleh seorang Menteri Dalam Negeri kepada ibunya. Masjid yang dibangun ini bukan hanya sebagai hadiah, tapi menurut masyarakat setempat, juga sebagai penolak bala. Masjid ini sengaja dibuat di dekat danau yang dijadikan sebagai obyek wisata agar orang-orang yang ingin melakukan hal-hal yang merugikan bisa berpikir ulang saat mendengar lantunan adzan atau murottal Al-qur`an. (Dara Layl, 2022)
Paragraf awal yang ditulis Dara itu merupakan gambaran kekagumannya pada sebuah masjid cantik di tepi danau yang kemudian dia menyampaikan sedikit pengetahuannya terhadap sejarah dan mitos-mitos yang dia ketahui atas masjid itu. Ini adalah bentuk resepsi atas karya monumental yang menghasilkan karya baru (dalam hal ini cerpen).
Ketiga, cerpen ini dibangun dengan kerangka sebuah karya lainnya yang diresapi oleh penulisnya. Pada awal paragraf penulis mengutip sebuah lirik lagu yang sangat menginspirasinya yaitu lirik lagu berjudul “Amin Paling Serius” yang sedang viral yang dinyanyikan oleh Sal Priadi dan Nadin Amizah.
Aku tau kamu lahir dari
Cantik utuh cahaya rembulan
Sedang aku dari badai
Marah riuh yang berisik
Juga banyak hal-hal yang sedih
(Amin Paling Serius, Sal Priadi dan Nadin Amizah)
Saya menyebut cerita ini dibangun dengan kerangka seperti dalam lirik lagu “Amin Paling Serius” ini, yaitu cerita ini berkisah tentang hubungan tidak seiman dua insan. Kisah-kisah pilu yang dinyanyikan oleh penyanyi perempuan dibalas oleh sanjungan-sanjungan pengobat hati bagi perempuan. Sementara cerpen “Sebuah Keputusan” seolah mengembangkan kisah yang ringkas dari lirik lagu itu. Dara menciptakan tokoh Raina dan Juni yang beda keyakinan kemudian mereka bertemu di tepian sebuah danau dekat semuah masjid yang indah dan ditimpali angin yang menusuk tulang. Selain itu penulis menceritakan suasana yang romantis sambil mendengar sebuah lagu yang mirip dengan kisah cinta mereka.
Begitulah sebuah karya yang baik bisa menginspirasi penikmatnya dan kemudian bisa mendorong penikmat karya tersebut untuk menghasilkan karya lainnya. Dalam teori sastra akan dikenal dengan resepsi sastra. Walaupun dari sisi kelemahan karya yang lahir dari resepsi kan terpengaruh oleh karya yang dibaca oleh penulisnya, akan tetapi hal ini dalam artian positif. Maka dengan banyak menikmati karya-karya yang inspiratif, menikmati karya-karya besar bisa mendorong lahirnya karya-karya besar selanjutnya. Tak heran jika saya sering menyampaikan kepada adik-adik yang sedang belajar menulis, untuk menghasilkan karya yang baik maka salah satu kuncinya bacalah karya-karya yang baik. (*)
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com
Discussion about this post