Di Palung Malam
Di lengkung malam
Semburat senja mengelam
Mengantar maghrib yang singkat
Menuju rakaat demi rakaat
Di awal malam
Di palung malam
hatiku gerimis
Meski hujan sepertinya
Tak berkenan datang
Hatiku basah sudah
Air mata jiwa
Tangis kepedihan
Jika Dia berkehendak
Maka aku tak hendak membentak
Mencoba tak berteriak
hanya terkadang
palung hatiku sering beriak
bergelombang pasang
berdebur debur
di pantai tempat ku
berjanji
menjemput…
Biru yang Usai
Biru
Telah lama usai
Tinggal dalam kenangan usang
Pekat
Telah lama hilang
Larut dalam cerita
Hitam
Telah enyah
Pergi lalu
Terserah hendak ke mana
Luluh lantak
Segala gelap
Selaksa penat
Rindu telah berlabuh
Berpelangi setelah hujan usai
Mendekap
Mendekat
Melukis Cinta
Biar kulabuhkan rindu
Pada dermaga tak bernama
Biar kularung sepi
Pada samudera tak berpenghuni
Biar kularutkan rasa
Pada semesta
Biar kusematkan semua
Pada Sang Maha
Ketika ‘ku sampai
di ujung cerita
Mungkin tak ada
daya
‘tuk sekedar menggores
titik di akhir kata
Telah habis tinta.
Meski masih ada kanvas,
‘tuk sekedar digambari
Masih ada jiwa
yang lebih dari pena
sanggup menggambar hatimu
di seluas semesta
Tak lagi abstrak
wujud itu untuk kulukis
7 September 2014
Mawar Nan Paling Puisi
Ceritakanlah
Kesahmu yang pilu
Tentang riak di hatimu
yang kau tak bisa menamakannya itu
Sampaikanlah
Kelumu yang bisu
Tentang gejolak yang lara
yang tak tahu kau bagi
pada siapa
Sampaikanlah dengan seikat mawar merah muda
Jika lidahmu kelu
Namun jiwamu memburu
Ceritakanlah dengan warna dan aromanya
Moga hatimu tersampaikan
Tentang
pilumu
kesahmu
laramu
Pada jiwa yang paling puisi
Yang terpahat di bait-bait hati
Yang mengalir di larik kata-kata
Padang, 061020
Biodata Penulis:
Ronaldi Noor, M. Biomed, Sp.A. adalahPegawai Negeri Sipil yang bertugas di RSUD Solok Selatan. Sosok yang sangat menyukai hujan ini lahir di Sungai Sarik, 22 Desember 1983. Ronald adalah anak ke-9 dari 10 bersaudara. Dokter satu anak ini menyelesaikan gelar dokter pada tahun 2008 dan dokter spesialis anak pada tahun 2015 di FK Unand. Ia aktif menulis ketika menjadi pemimpin redaksi majalah sekolah di SMA 1 Pariaman dan berlanjut sampai kuliah. Tulisannya kerap menghiasi majalah kampus di FK Unand dan juga pernah diterbitkan di Harian Padang Ekspress, majalah Tarbawi serta majalah Annida. Beberapa karyanya juga sudah dibukukan dalam Kumpulan Cerita Lucu Penyejuk Hati yang diprakasai Asma Nadia terbitan Republika dan Kumpulan Cerpen Islami Indahnya Hidayah–Mu diterbitkan oleh Pena Indhis.
Ruang Jeda Puisi
Oleh: Ragdi F. Daye
(Penulis buku kumpulan puisi Esok yang Selalu Kemarin)
Pada jiwa yang paling puisi
Yang terpahat di bait-bait hati
Yang mengalir di larik kata-kata
Pada edisi kali ini Kreatika memuat puisi-puisi dari Ronaldi Noor. Keempat puisi tersebut berjudul “Di Palung Malam”, “Biru yang Usai”, “Melukis Cinta”, dan “Mawar Nan Paling Puisi”. Puisi-puisinya begitu penuh perasaan. Cukup mengejutkan ketika mengetahui bahwa penyair ini adalah seorang dokter.
Setiap orang di dunia memiliki keinginan untuk berbagi pengalaman, ide, dan perasaan kepada orang lain. Proses berbagi tersebut dapat dilakukan secara langsung menggunakan lisan dan dapat juga secara tidak langsung melalui tulisan-tulisan. Beberapa bentuk dari tulisan-tulisan itu berupa puisi, prosa atau drama yang lebih kita kenal sebagai suatu bentuk karya sastra. Menurut Aristoteles, kesusastraan adalah imitasi dari kehidupan (Abrams, 1971:11). Kesusastraan adalah sebuah bentuk ekspresi manusia yang mencerminkan pengalaman, ide-ide, dan perasaanya. Bentuk ekspresi tersebut dapat berjarak dari kehidupan sang penulis dan bisa pula refleksi kehidupan personalnya sebagai sosok inividu yang memiliki emosi, pikiran, dan alat indra yang berfungsi untuk merespons lingkungan.
Puisi pertama Ronaldi “Di Palung Malam” sangat kuat dengan atmosfer kontemplatif. Suasana malam yang gulita dan hening sunyi memberi ruang yang tepat untuk melakukan perenungan atas detail kronologi kehidupan. Mengingat-ingat segala khilaf yang telah diperbuat, janji yang dimungkiri, atau pengulangan-pengulangan kesalahan. Malam memberi ruang yang sempurna untuk menyesali diri. Bermuhasabah. Begini tulis Ronaldi: ‘Air mata jiwa/ Tangis kepedihan/ Jika Dia berkehendak/ Maka aku tak hendak membentak/ Mencoba tak berteriak/ hanya terkadang/ palung hatiku sering beriak/ bergelombang pasang/ berdebur debur/ di pantai tempat ku/ berjanji/ menjemput…’ Metafora ‘palung hati’ lazim digunakan untuk mengungkapkan dari hati yang paling dalam.
Di khazanah ilmu geografi, palung adalah cekungan di dasar laut yang ukurannya sebenarnya sempit namun sangat dalam. Bentuk dari palung menjorok ke dalam seperti jurang. Di dasar laut, ada banyak lokasi yang membentuk cekungan. Namun, masing-masing objek khusus tentu memiliki ciri-ciri tertentu. Hal ini juga berlaku untuk palung tersebut. Palung yang terdapat di dalam laut dengan kedalaman curam ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Memiliki kedalaman yang sangat curam dan berbahaya, berbentuk seperti jurang, dan menjorok ke dalam, semakin dalam, hanya akan ada kegelapan, letaknya di dalam lautan lepas, dindingnya tajam dan curam, terjal, berbentuk cekung.
Penggunaan diksi ‘palung’ dalam puisi di atas sedikit tidak utuh jika diimajinasikan dengan munculnya diksi ‘riak’, ‘gelombang pasang’ yang lebih tepat menggambarkan laut dangkal, bukan ceruk laut terdalam yang berisi kegelapan. Namun, sebab puisi ini lebih menggugah emosi, kesadaran suasana pantai yang kontradiktif dengan kesenyapan palung tentu akan diabaikan pembaca.
Puisi kedua “Biru yang Usai” bermain dengan kode warna untuk menyampaikan pesan. Ada biru, hitam, dan pelangi yang memberi asosiasi pada perubahan suasana. Bermula dari biru yang telah selesai menjadi kenangan. Disambung pekat yang larut dalam perkembangan cerita. Lalu hitam yang cenderung berhubungan dengan kesuraman pun enyah. Segalanya berganti dengan warna-warni cerah pelangi. ‘Rindu telah berlabuh/ Berpelangi setelah hujan usai/ Mendekap/ Mendekat.’ Meski struktur-strukturnya belum terlalu padu, namun akhir puisi ini menjanjikan sesuatu yang menyenangkan, seperti harapan yang terkabul. Keceriaan yang riang gembira.
Puisi ketiga bertema romantis sesuai judulnya, “Melukis Cinta”. Gaya repetisi dipakai penyair untuk membangun nuansa puitik: ‘Biar kulabuhkan rindu/ Pada dermaga tak bernama/ Biar kularung sepi/ Pada samudera tak berpenghuni/ Biar kularutkan rasa/ Pada semesta/ Biar kusematkan semua/ Pada Sang Maha. Pengulangan bentuk ‘biar ku… pada…’ yang intens berhasil mencapai puncak penyerahan ‘Pada Sang Maha’. Bait kedua dan ketiga memberi gambaran kondisi lelah yang diakibatkan perjalanan panjang. Aku lirik telah sampai pada batas cerita, tak ada lagi daya, tinta pun telah habis. Bagian ini tentu menyakitkan, ketika pencarian berujung tak sebagaimana harapan. Tapi, ternyata di bait terakhir si aku lirik telah menemukan wujud yang nyata untuk dilukis, tak lagi sekadar bayang-bayang imajinasi.
Banyak pengertian yang dikemukakan oleh para ahli sastra tentang pengertian puisi. Menurut Waluyo (2002:32), puisi ialah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata imajinatif. Altenbernd dalam Pradopo (2010:57) memberikan definisi tentang puisi, yaitu pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran dalam bahasa berirama. Menurut Mulyana (2009:27) mengutip definisi puisi dari Groot (1998:249) dalam bukunya yang berjudul Algemene Versieer yang menyatakan bahwa perbedaan pokok antara prosa dan puisi adalah kesatuan-kesatuan korespondensi prosa yang pokok ialah kesatuan sintaksis; kesatuan korespondensi puisi adalah kesatuan akustis. Di dalam puisi korespondensi dari corak tertentu, yang tediri dari kesatuan- kesatuan tertentu pula, meliputi seluruh puisi dari semula sampai akhir, kesatuan ini disebut baris sajak. Di dalam baris sajak ada periodisitas dari mula sampai akhir.
Puisi-puisi Ronaldi menunjukkan proses perjalanan yang cenderung bermasa tempuh panjang. Meskipun Ronaldi mengekspresikan tentang suatu objek, namun dia menungkapkannya secara bertahap. Selain itu, dokter spesialis anak ini juga mahir merangkai larik-larik penuh daya pukau yang membuat pembaca puisinya (terutama yang ditujukan sang penyair) akan terhanyut dalam alunan romantisme yang merasuk ke dalam kalbu. Teknik repetisi tetap menjadi jurus andalannya: ‘Ceritakanlah/ Kesahmu yang pilu/ Tentang riak di hatimu/ yang kau tak bisa menamakannya itu// Sampaikanlah/ Kelumu yang bisu/ Tentang gejolak yang lara/ yang tak tahu kau bagi/ pada siapa.’ Untaian kata-kata yang lembut akan membuai perasaan menyembunyikan maksud penyair yang bisa ditujukan kepada siapa saja, termasuk sebagai solilokui untuk diri sendiri.
Pada hari-hari yang semakin bergegas karena gaya hidup serba cepat yang dipengaruhi teknologi modern ini, kita sangat berterima kasih atas kehadiran puisi yang memicu ketertegunan, dimensi hening yang memberi ruang diri untuk mencerna jeda, dan menemukan secercah oase di tengah seliweran informasi dari media sosial di genggaman yang membuat kita kadang tidak sadar sedang berpijak di mana. Tahniah, Ronald![]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini didedikasikan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post