Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
Bagi saya berlari merupakan aktivitas yang mudah untuk dilakukan dan banyak memberikan manfaat bagi kesehatan. Terkadang, saya meluangkan waktu untuk lari pagi pada libur akhir pekan tentu di saat rasa malas benar-benar dapat dikendalikan. Biasanya, dalam berlari saya sangat selektif dalam memilih jalan yang dilalui agar sepatu olahraga yang digunakan tidak kumuh dan cepat lusuh. Dua puluh langkah berlari, langkah berikutnya berjalan dengan napas ngos-ngosan. Berlari kurang dari satu putaran gelanggang olahraga, letihnya pun tak tanggung-tanggung, hampir sebotol air mineral kemasan habis diminum.
Ada hal menarik yang dapat kita ulas dari kata “lari” dalam runtinitas harian. Tanpa disadari, berlari rupanya sering dilakukan dalam berbagai aktivitas, baik itu disadari maupun tidak. Bagi yang bekerja wajib mengisi daftar hadir, mungkin akan berlari menuju mesin finger print bila mendekati batas waktu. Mungkin juga saat pimpinan memanggil, tentu kita sesegera mungkin menuju ruangannya dengan mempercepat langkah kaki. Yang tak kalah hebatnya lagi saat bagian keuangan memanggi untuk menandatangani honorarium, bisa jadi akan berlari lima kali lebih cepat dari biasanya. Kira-kira begitu.
Perilaku yang menyebalkan dari aktivitas lari adalah lari dari tanggung jawab. Tentu saja banyak contoh untuk itu, misalnya kebiasaan memulai rehat lebih cepat lima puluh menit dari waktu yang telah ditetapkan alias meninggalkan kantor di jam kerja sebelum waktu rehat. Sesekali saya atau pembaca mungkin pernah melakukan hal itu, tentu dengan berbagai alasan pula. Barangkali, kita punya keperluan mendesak atau jangan-jangan memang sengaja lari dari beban kerja?
Dalam konteks dunia hukum aktivitas berlari juga dilakukan, misalnya tersangka kasus korupsi yang melarikan diri ke luar negeri. Saya kira sudah bosan pula telinga kita mendengarnya. Itu ke itu saja yang disiarkan televisi saban hari. Pencuri bila ketahuan aksinya tentu akan lari dari kejaran polisi dan amukan massa. Sebab itulah ada yang namanya buronan.
Begitupun dalam urusan hati yang sensitif ini. Tidak jarang pula bermacam persoalan yang dapat menggores luka dan membekas lama tentu butuh diobati. Bisa saja kita lari atau menghindar sejenak hal yang menyebabkannya. Terkadang, saya akan menghindar atau, bahkan lari dari suatu hal yang membuat hati tidak nyaman. Alasannya berbagai macam pula. Yang jelas ini bagian dari persoalan hati. Bila tetap bertahan, kemungkinan dapat berakibat fatal.
Saya kira pembaca tentu pernah membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka atau mungkin menonton filmnya. Dalam ceritanya ternyata ada hal yang dapat membuat saya dan mungkin juga sebagian pembaca bergidik dengan perilaku lari yang satu ini. Tidak jarang pula kita mendengar ujungnya berakibat kejadian memilukan serupa depresi atau ganguan jiwa. Bila seorang terkasih lari ke lain hati. Hal ini serupa pilunya dengan hati Zainuddin ketika ditinggal pergi Hayati.
Discussion about this post