Senin, 25/8/25 | 02:52 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI RENYAH

Yang Terbatas Bukan Fiksinya, Tetapi Cara Pandang Kita

Minggu, 20/3/22 | 07:05 WIB

Lastry Monika
Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id

 

Antara pembaca karya fiksi dan non fiksi tidak selalu berjalan bergandengan. Sering pula di antara keduanya terjadi selisih paham dan mengkultuskan bacaan masing-masing sebagai yang paling penting dan berguna. Beberapa kali, saya menemukan perdebatan perihal ini di kolom komentar sebuah utas Twitter.

Sebuah cuitan pernah membagikan daftar bacaan Jisoo, seorang idol Korea yang terkenal dengan grup Blackpink. Ada puluhan buku di daftar tersebut. Lalu ada pengguna Twitter lain yang mengomentari cuitan itu dengan menyayangkan bahwa bacaan Jisoo didominasi oleh novel, buku-buku fiksi saja. Ada anggapan dari pengguna itu bahwa buku fiksi seperti novel bukanlah bacaan yang penting. Fiksi baginya tergolong bacaan yang kurang bermutu, bukan prioritas, dan tidak memberi manfaat.

Kesenggangan antara pembaca karya fiksi dan nonfiksi ini tidak hanya sekali itu terjadi di jagat per-twitter-an. Pernah pula, di awal tahun lalu seorang yang mungkin pembaca nonfiksi mengatakan fiksi memiliki keterbatasan sebagai genre. Keterbatasan yang ia maksud ialah karena karya fiksi bergantung pada ambuguitas yang tidak menyajikan kejelasan tentang fenomena, proses, dan sebab-akibat. Selain itu, fiksi juga ia anggap bersifat personal, tidak menyentuh masalah sosial yang cenderung bersifat impersonal. Kedua hal itu disebutnya “mengaburkan pemahaman struktural atas suatu persoalan”. Kolom komentar pun ramai oleh perdebatan.

BACAJUGA

Sebagian Tidak Suka Orang yang Banyak Cerita

Rumah dan Kenangan yang Abadi

Minggu, 24/8/25 | 21:15 WIB
Sebagian Tidak Suka Orang yang Banyak Cerita

Tuah Rumah

Minggu, 17/8/25 | 19:03 WIB

Sebagai seorang yang bersinggungan dengan bacaan karya fiksi sekaligus nonfiksi, saya berada di pihak yang tidak setuju dengan pendapat tersebut. Agak disayangkan sebetulnya, ketika orang yang mengaku sejak SMA telah membaca karya fiksi sekaligus belajar menganalisis sastra berpendapat seperti demikian. Terlebih bacaan yang ia maksud meliputi 1984, Animal Farm, Gadis Pantai, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, dan banyak karya lainnya. Saya rasa, tidak tepat bila karya-karya besar tersebut digolongkan tidak menyajikan fenomena yang jelas, proses, dan sebab-akibat. Apalagi jika menempatkan karya-karya itu bersifat personal semata.

Ambiguitas dalam karya fiksi menurut saya bukan berarti “tidak menyajikan kejelasan”, namun justru menghadirkan kemungkinan-kemungkinan yang luas. Dari sanalah beragam fenomena realitas sosial dengan beragam sebab-akibatnya dapat dipahami setelah membacanya. Karya-karya di atas saja misalnya, masih dikaji lagi dan lagi dengan berbagai perspektif. Kajian dapat pula menguak realitas sosial yang sebelumnya tidak terbaca. Oleh sebab itu, menurut saya membaca karya fiksi tidak selesai dengan sekadar “membaca”. Setidaknya kita memiliki cara pandang yang terbuka. Sebab, sebuah karya fiksi berpotensi memberi pengaruh dengan cara berbeda dari yang dilakukan penulisnya. Terlebih lagi, yang perlu dipahami pula ialah karya fiksi selalu berpeluang menghadirkan seperangkat nilai yang bahkan tidak disengaja hadir di dalamnya. Inilah yang dapat ditemukan oleh pembaca dan dapat berbeda dari satu pembaca dengan pembaca lainnya.

Perlu disadari pula bahwa melalui karya fiksi juga dapat ditemukan refleksi ideologi dan hegemoni kekuasaan pada suatu masa yang menjadi latarnya. Kedua hal ini termuat dalam daftar karya fiksi yang pernah dibaca oleh si pembuat cuitan. Oleh sebab itu, saya kira tidak ada satu pun yang keliru dengan membaca karya fiksi, jangan-jangan yang keliru itu ialah cara pandang kita sebagai pembaca.

Apabila belum menemukan hal-hal yang dipersoalkan tadi dalam banyaknya buku fiksi yang dibaca, mungkin perlu membaca karya fiksi lebih banyak lagi. Apabila belum bertemu juga, mungkin baca karya fiksi tidak selesai dengan sekadar “membaca” lalu buku ditaruh di raknya. Sebab sebagaimana karya fiksi itu, membaca karya fiksi seharusnya menemukan cara pandang manusia dari konsekuensi realitas sosial yang seringkali timpang.

Tags: #Lastry Monica
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Cerpen “Banda Bakali” Karya Uda Agus dan Ulasannya oleh Azwar Sutan Malaka

Berita Sesudah

Generalisasi dan Pertanyaan “Orang Padang ya?”

Berita Terkait

Sebagian Tidak Suka Orang yang Banyak Cerita

Rumah dan Kenangan yang Abadi

Minggu, 24/8/25 | 21:15 WIB

Lastry Monika (Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand)   Minggu lalu, tepat pada 17 Agustus 2025, saya menulis sebuah catatan...

Sebagian Tidak Suka Orang yang Banyak Cerita

Tuah Rumah

Minggu, 17/8/25 | 19:03 WIB

Lastry Monika (Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand)   Dalam dua tahun terakhir, rumah saya di kampung lebih sering sepi....

Senyuman Kecil dan Mendengar: Hal Kecil yang Berdampak Besar

Rahasia di Balik Semangkuk Mi Rebus

Minggu, 10/8/25 | 19:24 WIB

Salman Herbowo (Kolumnis Rubrik Renyah)   Sore itu, hujan mengguyur tanpa henti sejak siang, menebar hawa dingin yang merayap masuk...

Sebagian Tidak Suka Orang yang Banyak Cerita

Melangkah Pelan dalam Dunia Pernaskahan: Catatan dari Masterclass Naskah Sumatera

Minggu, 03/8/25 | 21:28 WIB

Lastry Monika (Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand)   Menjadi peserta Masterclass Naskah Sumatera yang diadakan oleh SOAS University of...

Suatu Hari di Sekolah

Fiksi dan Fakta: Dua Sayap Literasi

Minggu, 27/7/25 | 16:28 WIB

Lastry Monika (Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand/Kolumnis Rubrik Renyah)   Perdebatan soal bacaan fiksi dan nonfiksi kerap muncul di...

Sebagian Tidak Suka Orang yang Banyak Cerita

Ruang Bernama Kita

Minggu, 20/7/25 | 21:04 WIB

Lastry Monika (Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand/Kolumnis Rubrik Renyah)   Pada 16 Februari 2025, saya pernah menulis di rubrik...

Berita Sesudah
Reno Wulan Sari

Generalisasi dan Pertanyaan "Orang Padang ya?"

Discussion about this post

POPULER

  • Aduh! Maarten Paes Cedera, Absen Bela Timnas Indonesia 6-8 Minggu

    Aduh! Maarten Paes Cedera, Absen Bela Timnas Indonesia 6-8 Minggu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sumbar Raih Penghargaan Nasional Perhutanan Sosial 2025

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • PCNU Dharmasraya Gelar Konfercab ke-V

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duka Kecelakaan Kereta di Padang: Wagub Sumbar Desak Perbaikan Sistem Keselamatan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ormas dan OKP Tak Dilibatkan dalam Kebijakan Pemkab, Sekretaris KNPI Dharmasraya: Bentuk Keangkuhan Bupati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sumbang 12 untuk Puti Bungsu Minangkabau

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pawai Budaya Sungai Duo Meriah, Panitia Tekankan Pelestarian Tradisi dan Kreativitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024