Cerpen: Sakura Alvino
Fira memasuki gerbang sekolah. Setelah menguasai diri berkali-kali, mengemasi hati yang remuk minggu lalu. Fira menguatkan tekad hari ini untuk ke sekolah. Di sana ada Pak Rudi, satpam sekolah yang sangat ramah dan baik menyapanya dengan nada yang tidak biasa. Fira membalasnya seraya menepis kesedihan yang memancar dari wajah satpam baik itu.
Banyak lalu lalang adik kelas yang menatapnya perihatin. Seolah-olah ia menyaksikan jutaan rasa iba mengambang di langit sekolah. Ia yakin beberapa jam setelah pengumuman kelulusan Ujian Nasional minggu lalu, berita ketidak lulusan seorang perangkat OSIS dan seorang juara kelas serta siswa yang terkenal dengan hijab panjangnya terpaksa menerima kenyataan bahwa ia termasuk siswa yang tidak lulus Ujian Nasional. Meski tidak sendiri, tapi kenyataan itu menampar hancur hatinya saat itu.
24 April 2010
Siswa sudah berkumpul di tengah terik matahari pukul dua siang. Setelah pengarahan dan nasihat singkat dari kepala sekolah, papan pengumuman kelulusan Ujian Nasional dikeluarkan dari ruang kepala sekolah. Siswa tingkat akhir menyerbu papan itu. Mereka menelusuri nomor ujian mereka yang muncul di papan pengumuman sebagai tanda lulus, sedangkan bagi yang tidak lulus, nomor ujian siswa tersebut tidak dicantumkan.
Fira mendekatkan diri di ruang yang kosong. Telunjukkan menyusuri nomor demi nomor di papan tulis. Deguban jantungnya ramai di dalam sana seramai sorakan teman-temannya yang riang gembira dengan berita kelulusan mereka, sedangkan badan Fira semakin dingin setelah telunjuknya berada di nomor terakhir namun nomor ujiannya tak kunjung ia temukan.
“Apakah aku tidak lulus ujian?” perasaannya gelisah tidak karuan.
Tapi ia tidak menyerah. Ia mencoba menelusuri sekali lagi untuk memastikan bahwa nomor ujiannya tertera.
“Aku sudah berusaha maksimal. Semua ujian bisa kukerjakan. Aku yakin lulus ujian.” Ungkap Fira dalam hati. Namun pil pahit harus ia tenggak saat itu juga. Sudah tiga kali jari telunjukkan menyisir nomor satu demi satu tapi nomor ujianya tak kunjung ada.
Bukan butiran bening yang keluar saat itu, tapi seyum sumbang di bibirnya. Pasalnya ia tak percaya dengan kenyataan ini. Meski akhirnya tangis tumpah dalam pelukan seorang guru yang sudah dianggapnya ibu sendiri.
25 April 2010
Bunyi suara jangkrik bersahutan. Di sepertiga malam terakhir, Fira mengadukan kegelisahan hatinya.
“Duhai Allah. Jikalah benar semua ini bukanlah mimpi buruk. Maka kuatkan hati untuk menerima dan menjalani kenyataan ini. Jadikan aku semakin dekat denganMu, Rabb. Aku sungguh tidak kuat.”
26 April 2010
Fira memasuki gerbang sekolah. Setelah menguasai diri berkali-kali, mengemasi hati yang remuk minggu lalu, Fira menguatkan tekad hari ini untuk ke sekolah. Di sana ada Pak Rudi, satpam sekolah yang sangat ramah dan baik menyapanya dengan nada yang tidak biasa, Fira membalasnya seraya menepis kesedihan yang memancar dari wajah satpam baik itu.
Banyak lalu lalang adik kelas yang menatapnya prihatin. Seolah-olah ia menyaksikan jutaan rasa iba mengambang di langit sekolah. Ia yakin beberapa jam setelah pengumuman kelulusan Ujian Nasional minggu lalu, berita ketidak lulusan seorang perangkat OSIS dan seorang juara kelas serta siswa yang terkenal sangat kuat ideolodinya terpaksa menerima kenyataan bahwa ia termasuk siswa yang tidak lulus Ujian Nasional.
Fira menuggu salah seorang wakil kepala sekolah untuk meminjam soal ujian ulangan. Aturan ujian Nasional saat itu memang sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu ada ujian ulang dua minggu setelah pengumuman Ujian Nasional. Ujian ini berlaku untuk siswa yang tidak lulus ujian agar mengikuti ujian ulangan untuk kesempatan kelulusan sehingga tidak perlu menunggu satu tahun untuk ujian nasional kembali. Di sinilah Fira, duduk di kursi tamu di ruang tunggu wakil kepala sekolah. Ia hanya menyimak obrolan guru tanpa ikut bergabung. Namun tak disangka seorang wakil kepala sekolah melemparkan pil pahit berikutnya
“Kamu adik Rifal ya?” Tanya lelaki paruh baya itu dengan nada mencemooh. Fira tahu betul siapa lelaki yang direndahkan oleh wakil kepala ini. Seorang anak rohis, kakak tingkat Fira yang sudah dua kali tidak lulus ujian karena ideologinya itu. Mencontek adalah haram. Apalagi menyalin kunci jawaban ujian, jauh dari prinsipnya. Meskipun Fira sejujurnya meniru langkah seniornya ini, tapi ia tidak pernah menyesal.
Fira yang tersenyum gelisah menanggapi cemoohan gurunya ini. Tidak begitu ia pikirkan. Sebab ideologi hanya sebuah kambing hitam bagi beliau karena tentu beliau kecewa bahwa peserta didik sudah mencoreng nama sekolah. Di minggu-minggu yang semakin dekat ini, Fira hanya fokus untuk belajar. Segala cemoohan, segala ungkapan prihatin dan rasa iba ia tepis dengan senyuman. Tekadnya ia harus lulus ujian terkahir ini.
***
Fira lelah. Ia beranjak pulang ke rumah. Di rumah ia dapati ibu angkatnya sedang bebersih rumah.
“Assalamualaikum, Bu”
“Walaikumussalam.” Ibu angkat Fira menyahut tanpa memperdulikan Fira sedikit pun. Tidak ada sambutan hangat seperti biasanya. Tidak ada ajakan makan siang bersama. Bahkan sejak pengumuman kelulusan, ibu angkatnya lebih sering di kamarnya dibandingkan dengan ikut bercanda di ruang keluarga. Fira bergeming. Hatinya semakin tersayat sembilu. Ia yakin, berita buruk itu sudah mampir ke telinga ibu.
“Ya Allah. Kenapa engkau uji aku dengan ujian ini? Aku tidak kuat menjalaninya. Melihat ibu yang sudah membesarkanku bahkan sampai sekarang tidak merihoi keberadaanku di rumah ini” deras air mata Fira membasahi mukenanya. Hatinya yang rapuh ingin menyerah. Ditambah lagi teman-temannya sudah mengikuti bimble intensif untuk seleksi perguruan tinggi.
“Apa kabar aku? Rasanya ingin menyerah saja. Sepertinya tidak ada kesempatan lagi untuk kuliah” desah hati Fira. Pikirannya sudah menyusun strategi untuk mencari pekerjaan setelah Ujian Ulangan ia laksanakan.
10 Mei 2010
Di sinilah Fira, di sebuah sekolah tempat berkumpul seluruh siswa se-Kota Pariaman mengikuti ujian. Soal ujian sudah di hadapannya namun mendadak pikirannya kosong. Satu demi satu soal dibacanya. Entah kenapa lupa dengan penyelesaian. Semua pembahasan soal yang telah tuntas di selesaikan seakan menguap ke udara. Fira tidak mengingat sedikit pun rumus dan materi yang ia pelajari selama beberapa hari ini. Fira hampir menangis.
Waktu yang tersisa tinggal empat puluh lima menit lagi, Fira baru berhasil mengumpulkan kempali puing ingatannya. Menyelesaikan soal demi soal dengan tenang.
31 Mei 2010
Cring
Sebuah pesan masuk. Fira mengambil ponsel di atas mejanya.
(Assalamu’alaykum. Fir, datang ke sekolah sekarang. Ada surat panggilan dari universitas)
Universitas? Universitas Negeri Padang? Fira membatin. Sebab ia hanya melayangkan formulir PMDK pada satu universitas. Ia bergegas meraih seragam dan segera berangkat ke sekolah.
“Kemarin ada surat panggilan dari universitas. Alhamdulillah ada beberapa siswa kita yang lulus PMDK di UNP.”
Lulus PMDK? Bukannya aku tidak lulus PMDK? Bantin Fira. Sebab beberapa hari yang lalu, senior yang berkuliah di UNP mengabarkan hal tersebut.
“Ini surat panggilan untuk Fira” guru BK yang sudah berkepala empat menyerahkan sebuah amplop berlogo universitas di ibu kota provinsi.
Fira membaca perlahan.
“Alhamdulillah…ya Allah…” Fira tersungkur sujud syukur. Ia lulus di UNP dengan status mahasiswa Bidikmisi.
Duhai Rabb, ampuni aku yang tidak bersyukur. Kali ini Kau berikan aku kejutan sehebat ini.
“Selamat ya, Nak.”
Aura kebahagiaan memancar di ruangan ini, tapi tiba-tiba muka Fira keruh. Ia gelisah sebab masih berstatus tidak lulus UN.
“Tapi Fira belum lulus UN Bu,” Fira tertunduk
“Pengumuman kelulusan tanggal 7, Fir. Daftar ulang terakhir juga tanggal 7. Jika kamu lulus, kamu masih punya waktu untuk daftar ulang, kan?” Bu Hanum menyemangati.
Fira tersenyum. Ia berharap lulus ujian kedua ini dan segera daftar ulang.
“Sementara ini, kamu lengkapi beberapa berkas di surat itu. Sisanya biar sekolah yang bantu” Bu Hanum menepuk pundak Fira. Fira tidak kuat, ia memeluk guru yang sangat perhatian terhadap murid itu.
Ya Allah, aku tidak tahu apakah ini hadiah atau musibah. Aku hanya berprasangka baik padaMu.
7 Juni 2010
Fira sudah sedari tadi menunggu di ruang tunggu kepala sekolah. Pasalnya usai menerima surat panggilan minggu lalu, Fira diminta menghadap kepala sekolah. Dan di sinilah ia. Menunggu dengan jantung yang bergemuruh. Hati yang juga berisik di dalam sana. Sebab ini tentang masa depan. Tentang impian. Tentang seorang kakak yang tidak boleh gagal demi adik-adik tercinta. Demi harapan ibunda di kampung halaman. Ia tidak ingin mengecewakan banyak pihak yang begitu banyak menopang hidupnya.
Izinkan aku berbakti, ya Allah. Izinkan hari ini jadi hari bahagia aku dan keluargaku.
Kepala sekolah sudah berdiri di hadapan Fira. Bu Ningsih yang menjabat baru beberapa bulan di sekolahnya memeluk erat Fira sambil berbisik.
”Alhamdulillah Nak. Kamu Lulus.”
Fira mengucap syukur berkali-kali. Matanya yang berembun, sekarang sudah tumpah oleh air mata. Tembok yang dirasa tebal dan kokoh, sekarang hancur berkeping-keping menampakkan cahaya yang benderang.
“Karena sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya setelah kesulitan ada kemudahan” (QS Al Insyirah : 5-6)
Saat itu, juga Fira bergegas ke ruang tata usaha untuk pengurusan surat keterangan lulus dan berangkat ke Universitas Negeri Padang untuk melakukan daftar ulang. Syukur yang tiada sirna dari hati Fira. Setelah beban terberat ia emban, kini Allah kirim berita bahagia untuk orang yang sabar.
***
Bebeberapa bulan kemudian. Saat acara perpisahan dan temu alumni sekolah.
“Fir, masih ingat nggak dengan Bapak Cipto?”
Seketika Fira langsung mengingat potongan puzzle yang dulu pernah merenggut keteguhannya. Di ruang wakil kepala sekolah. Di ruang yang sedang riuh obrolan para wakil kepala sekolah. Tiba-tiba suara itu menelusup menyambar keteguhan Fira yang dengan sekuat tenaga ia kumpulkan pagi itu.
“Kamu adik Rifal, ya?” nada cemoohan lelaki separu baya. Masih teringat jelas oleh Fira.
“Iya, masih ingat. Ada apa dengan bapak itu?” Fira menjawab setelah ia berdamai dengan masa lalu.
“Bapak itu anaknya yang SMP tidak lulus UN juga rupanya dan anaknya yang SMA kemarin ini kecelakaan dan meninggal di tempat” Lola berkata sedikit hati-hati sambil melirik kanan kiri agar tidak di dengar orang lain.
“Innalillahi wainnailaihi roji’un” Fira mendekap mulutnya. Ia tak percaya. Meskipun saat itu Fira tidak berdoa apa-apa, nyatanya Allah seolah langsung membalas dengan kenyataan yang lebih pahit lagi.
Bukittinggi, 3 November 2019
Biodata Penulis:
Sakura Alvino. Sakura Alvino adalah nama pena dari Fitri Afriani. Ia lahir di Bengkulu, 27 tahun silam. Saat ini menetap di kota Bukittinggi bersama keluarga kecilnya. Ia dapat dihubungi lewat nomor handphone 082388518514 atau berbagi pesan di email sakuraalvino@gmail.com atau di akun facebook Fitri Afriani.
Cerita yang Tak Menyentuh Tema Besar
Oleh : Azwar Sutan Malaka, M.Si.
(Dewan Penasihat Pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat
dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN Veteran Jakarta)
Eny Tarsinih (2018) dalam tulisannya berjudul “Kajian Terhadap Nilai-Nilai Sosial dalam Kumpulan Cerpen “Rumah Malam di Mata Ibu” karya Alex R. Nainggolan Sebagai Alternatif Bahan Ajar”, yang dimuat dalam Jurnal Bahtera Indonesia, Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 3, No.2, September 2018, menyatakan bahwa cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Cerpen merupakan salah satu jenis karya sastra yang memaparkan kisah atau cerita mengenai manusia beserta seluk-beluknya lewat tulisan pendek dan singkat. Atau pengertian cerpen yang lainnya, yaitu sebuah karangan fiktif yang berisi mengenai kehidupan seseorang ataupun kehidupan yang diceritakan secara ringkas dan singkat yang berfokus pada suatu tokoh saja.
Hal ini senada yang disampaikan Kosasih dkk (2004) yang menyampaikan bahwa cerpen atau cerita pendek adalah prosa dimana di dalam cerpen dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan. Cerpen atau dapat disebut juga dengan cerita pendek merupakan suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerpen cenderung singkat, padat, dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi lain yang lebih panjang, seperti novelet dan novel.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerpen berasal dari dua kata yaitu cerita yang mengandung arti tuturan mengenai bagaimana sesuatu hal terjadi dan relatif pendek berarti kisah yang diceritakan pendek atau tidak lebih dari 10.000 kata yang memberikan sebuah kesan dominan serta memusatkan hanya pada satu tokoh saja dalam cerita pendek tersebut. Sedangkan menurut Nugroho Notosusanto, cerpen atau cerita pendek yaitu sebuah cerita yang panjang ceritanya berkisar 5000 kata atau perkiraan hanya 17 halaman kuarto spasi rangkap serta terpusat pada dirinya sendiri.
Sementara itu, H.B. Jassin (2003) menyampaikan cerpen ialah sebuah cerita yang singkat yang harus memiliki bagian terpenting yakni perkenalan, pertikaian, serta penyelesaian. Pendapat orang tentang cerpen sangat berbeda, masing-masing pendapatnya sangat baik dan memiliki perbedaanuntuk itu saya berpendapat cerpen ialah suatu karangan yang berkisah pendek yang mengandung kisahan tungal.
Dari kutipan-kutipan ahli tentang cerita pendek di atas, beberapa kata kunci penting yang dapat digaris bawahi adalah cerita pendek merupakan prosa naratif fiktif, singkat dan padat, mengisahkan kehidupan seorang tokoh, ia memiliki tersusun dari bagian perkenalan, pertikaian, serta penyelesaian. Berdasarkan kata-kata kunci tentang cerpen ini, pada Kreatika edisi minggu ini kita akan membahas sebuah cerpen karya Sakura Alvino yang berjudul “Kesempatan Kedua”.
Cerpen “Kesempatan Kedua” ditulis oleh Sakura Alvino atau Fitri Afriani. Ia seorang aktivis literasi yang aktif di Forum Lingkar Pena (FLP) Sumatera Barat. Fitri merupakan alumni Universitas Negeri Padang (UNP) dan menempuh pendidikan SMA di Pariaman. Secara kebetulan atau memang karena kisah ini terinspirasi dari kisah nyata penulisnya, cerpen “Kesempatan Kedua” juga memiliki latar belakang geografis di sebuah SMA di Pariaman.
Dalam cerpen ini dikisahkan seorang tokoh bernama Fira, seorang siswa kelas 3 di sebuah SMA di Pariaman, yang tidak lulus Ujian Nasional pada tahun 2010. Di awal cerita, penulis memberi semacam pancingan tentang seorang siswi aktivis Rohis yang berjilbab panjang tidak lulus Ujian Nasional. Saya sebagai pembaca menduga cerpen ini akan berkisah tentang idealisme seorang aktivis Rohis, apalagi di beberapa paragraf selanjutnya juga disampaikan tentang cemoohan seorang guru yang selalu memandang rendah pada Rohis. Dugaan ini semakin kuat karena cerita selanjutnya juga menyinggung tentang kakak Fira yang dua kali tidak lulus Ujian Nasional karena tidak mau ikut nyotek berjamaah.
Namun sayangnya cerpen “Kesempatan Kedua” ini tidak sampai pada dugaan saya tersebut. Entah karena penulis tidak berani menyentuh tema yang sensitif itu, di mana bukan rahasia lagi jika ada beberapa oknum sekolah yang sengaja membeli soal Ujian Nasional melalui “orang dalam” penyelanggara di tingkat provinsi dan lain-lain. Ujian Nasional yang tidak hanya menjadi beban bagi siswa, tetapi juga menjadi beban bagi guru, kepala sekolah, dan bahkan Kepala Dinas Pendidikan membuat beberapa oknum mengambil jalan pintas dengan mencari soal Ujian Nasional secara ilegal dan membagikan jawaban ujian pada saat ujian.
Berbagai bentuk kecurangan saat Ujian Nasional berdasarkan berita di media dan juga berita yang beredar dari mulut ke mulut masyarakat merupakan sebuah realitas. Namun, realitas kelam pendidikan ini menarik jika diangkat menjadi fiksi di mana bisa ditambahkan di dalamnya ada orang-orang (siswa) yang masih berpegang pada nilai-nilai kejujuran sehingga berani mengambil resiko tidak lulus Ujian Nasional dari pada berlaku curang.
Kembali pada cerpen “Kesempatan Kedua” ini, sekali lagi cerpen ini belum menyentuh tema sensitif itu. Cerpen ini hanya mengangkat kesabaran seorang tokoh Fira yang tidak lulus Ujian Nasional, kemudian bagaimana ia menghadapi cemoohan orang padanya setelah itu bagaimana dia mempersiapkan Ujian Nasional Susulan dengan berdoa dan usaha.
Di sela-sela kisah itu, penulis melalui tokoh Fira menyelipkan motivasi berjuang dalam kebenaran dan kesungguhan untuk lulus Ujian Nasional, beberapa petuah dalam menghadapi kegagalan, dan bahkan kutipan ayat Alquran. Buah dari kesabaran Fira itu adalah sebelum pengumuman lulus ujian susulan, Fira sudah mendapat kabar baik dia lulus sebagai mahasiswa undangan melalui jalur Bidik Misi di Universitas Negeri Padang (UNP). Berita baik itu dilengkapi dengan berita baik selanjutnya ketika Fira akhirnya lulus ujian susulan.
Sebagai sebuah cerita pendek, kisah “Kesempatan Kedua” ini sudah selesai. Cerita memenuhi sarat sebagai sebuah cerpen jika kita lihat pengertian cerpen dan sarat-sarat sebuah cerpen seperti yang disampaikan oleh beberapa ahli. Namun untuk menghasilkan cerita yang menarik, cerita “Kesempatan Kedua” ini belum memenuhi kriteria itu. Kelemahan cerpen ini adalah penulis tidak berani mengangkat tema yang “berat”. Penulis hanya berani menulis cerita pada wilayah yang aman saja.
Untuk membuat sebuah cerita mendapat perhatian masyarakat luas, selain keterampilan menulis cerita fiksi, juga dibutuhkan keberanian untuk menuliskan hal-hal besar yang terjadi di republik ini. Penulis seharusnya berani mengangkat tema-tema sensitif yang universal. Artinya penulis harus berani mengangkat tema tentang “penyakit” masyarakat sekalipun, jika hal tersebut memang menjadi persoalan besar dalam masyarakat.
Kecurangan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia, korupsi yang meraja lela dari tingkat terkecil hingga ke tingkat pemerintahan pusat merupakan masalah besar bangsa. Sejatinya harus ada orang-orang yang menentang hal ini. Seniman, sastrawan, dan penulis diharapkan menjadi orang-orang terdepan yang menentang prilaku menyimpang ini. Harapannya tentu saja penyakit masyarakat berupa kecurangan di berbagai bidang ini bisa diobati. Sekali lagi sebagai sebuah cerita pendek, cerpen “Kesempatan Kedua” ini sudah selesai, tapi untuk menjadi cerita pendek yang menarik, untuk menjadi cerita pendek yang berdampak besar bagi kehidupan, penulis harus berani mengangkat tema-tema besar. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.
Discussion about this post