Rizky Amelya Furqan, S.S., M.A.
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Perempuan pada awalnya dianggap sebagai kaum marginal yang tidak bisa bergerak di ruang publik, bahkan seorang perempuan tidak memiliki suara atau hak pilih dalam pelaksanaan pemilihan umum. Namun, muncullah gerakan feminis yang mulai berkembang di Amerika dan Eropa pada abad ke-19. Gerakan ini bertujuan untuk memberikan ruang gerak yang bebas kepada perempuan sama halnya seperti laki-laki. Gerakan feminis gelombang pertama, kedua, dan ketiga memang sudah memunculkan banyak perubahan terhadap kebebasan kaum perempuan, di antaranya, perempuan bisa menyuarakan pendapat di depan umum dan perempuan dapat menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum.
Namun, kehadiran pergerakan perempuan tersebut bukan berarti seorang perempuan benar-benar memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri. Perempuan masih dikekang oleh wacana-wacana yang dibentuk oleh masyarakat, misalnya ada wacana yang berkembang ketika seorang perempuan pada usia 25 tahun belum menikah maka akan muncul berbagai pertanyaan terkait pernikahan. Namun, ketika laki-laki yang akan menikah pada usia ini akan dikatakan agar tidak terlalu cepat dan harus membahagiakan keluarga atau diri sendiri terlebih dahulu. Dengan demikian, terjadi opresi (tindakan pemaksaan) terhadap perempuan secara tersirat.
Kehidupan perempuan yang memiliki batas untuk bergerak dan mengalami penyiksaan yang dialami secara fisik dan mental juga terlihat dalam kehidupan pasca-Kemerdekaan pada masyarakat Indonesia. Pasca-Kemerdekaan, masyarakat Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan internal yang bertolak dari kekecawaan terhadap pemerintahan pusat ataupun pengaruh pihak oposisi yang tidak menyukai pemerintah atau pemimpin saat itu.
Beberapa pergolakan yang terjadi adalah Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang dideklarasikan oleh pasukan militer Negara Indonesia Timur yang dibentuk pada tanggal 2 Maret 1957. Kemudian, pada tanggal 15 Februari 1958, Ahmad Husein memproklamirkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tidak hanya Permesta dan PRRI, tetapi juga muncul Gerakan 30 September 1965 yang diduga diprakarsai oleh Letkol Untung. Kemudian, terjadi peristiwa 1998 yang merupakan kejengahan masyarakat terhadap berbagai keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto. Berbagai peristiwa ini di dalam karya sastra digambarkan bahwa perempuan selalu mendapatkan kekerasan, baik secara fisik ataupun mental, bahkan ketika perempuan yang memiliki suami yang bergerak pada kelompok tertentu. Perempuan itu juga harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan suaminya.
Penggambaran perempuan yang tidak tahu terkait komunitas yang diikuti suaminya, tetapi terkena dampak oleh pemberontakan pasca-Kemerdekaan digambarkan dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Pada novel ini, digambarkan seorang tokoh Surti yang merupakan istri dari Hananto, seorang wartawan yang giat dalam berbagai acara diskusi, di antaranya Lekra. Pada saat itu, pemerintah sensitif dengan berbagai organisasi atau komunitas yang dianggap menganut ideologi komunis dan berbgai aksi yang dianggap melawan pemerintah. Hingga pada akhirnya Hananto hilang sehingga yang ditawan dan diinterogasi adalah Surti. Padahal, Surti tidak mengetahui apa-apa.
Pada novel tersebut digambarkan Surti mengalami sexual harassment dari seorang interogator tua yang bertanya terkait kehidupan ranjang Surti dengan Hananto. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut,
“Pernah ada satu interegator paruh baya yang sungguh menjijikan. Hari itu giliran dia mengulik apakah mungkin Hananto bersembunyi di rumah keluarganya. Dia bertanya sekaligus menyelipkan pertanyaan hubungan suami istri sekaligus memuaskan dirinya di balik celana” (Chudori; 244)
Tidak hanya sexual harassment, tetapi Surti juga diopresi dengan cara memunculkan pertanyaan yang berkaitan dengan sexualitas tentang anak perempuannya, Kenanga. Hal ini terlihat pada kutipan berikut,
“Begitu jijiknya, saya menolak meneruskan menjawab pertanyaanya. Namun, dengan tenang dia bertanya usia Kenanga apakah dia sudah datang bulan atau belum. Dimas itu teror mental terburuk yang pernah saya alami” (Chudori; 244)
Perempuan dianggap sebagai alat yang digunakan untuk melampiaskan hasrat yang dimiliki dan ketika hal tersebut tidak terpenuhi maka akan muncul opresi baik secara verbal ataupun fisik. Dengan demikian, perempuan pada kenyataanya tetap saja tidak memiliki kekautan untuk menyuarakan sesuatu yang seharusnya menjadi hak mereka, bahkan perempuan juga menjadi korban untuk sesuatu yang mereka sama sekali tidak ketahui.
Opresi terhadap perempuan tidak hanya dari laki-laki kepada perempuan. Namun, opresi juga dialami dari perempuan ke perempuan lainnya. Hal ini juga tergambar dalam kehidupan pasca-Kemerdekaan. Ketika seorang perempuan yang mulai mengikuti komunitas perempuan pada zaman pasca-Kemerdekaan, seperti Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pada tahun 1950-an sampai dengan 1960-an. Perempuan yang aktif dalam gerakan ini ketika sudah tidak terlibat lagi maka akan dianggap sebagai pemberontak. Hal ini digambarkan dalam Novel Trauma Usai Bergolak karya Armini Arbain dan Ronidin.
Dalam novel ini digambarkan seorang tokoh bernama Baiyar yang merupakan orang yang pernah mengikuti gerakan wanita Indonesia (Gerwani). Dia menikah dengan seorang tentara pusat, Sersan Lutfi. Ketika menjalani kehidupan pasca-PRRI terjadi opresi terhadap Baiyar oleh sesama istri tentara karena Baiyar mencuri perhatian banyak orang sehingga salah seorang istri tentara membahas perihal masa lalu Baiyar. Dengan demikian, Baiyar dianggap sebagai pemberontak dan mengalami opresi dari sesama perempuan. Hal ini dapat terlihat pada kutipan berikut.
“… Bu Kartono semakin bersemangat menjelek-jelekan nama Baiyar. Beragam pendapat muncul ada yang membela Baiyar dan mengatakan hal tersebut adalah masa lalu. Namun, lebih banyak berpandangan negatif pada Baiyar dan mengatai-ngatai Baiyar sebagai penghianat bangsa” (Arbain dan Ronidin; 64)
Dari kutipan di atas, terlihat bagaimana Baiyar juga mengalami opresi dari sesama perempuan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa opresi terhadap perempuan pada saat pasca-Kemerdekaan tidak hanya dialami oleh perempuan yang ikut serta dalam organisasi atau komunitas tertentu, tetapi juga kepada perempuan yang tidak terlibat sama sekali. Namun, ada salah satu dari anggota keluarganya atau suaminya yang mengikuti komunitas atau organisasi tertentu akan terseret ke dalam pusaran opresi tersebut. Opresi yang terjadi kepada perempuan tidak hanyak secara fisik, tetapi juga secara verbal.
Eksistensi perempuan akan selalu menarik untuk dibicarakan karena pada saat ini wacana kesetaraan hak yang semakin disuarakan pada ranah nasional ataupun internasional. Namun, benarkah seorang perempuan sudah memiliki kebebasan yang utuh atau kebebasan tersebutnya hanya berada pada ranah domestik saja? Jangan sampai hanya tercipta sebuah konstruksi imajinatif terhadap kebebasan perempuan.
Discussion about this post