Ria Febrina, S.S., M.Hum.
(Dosen Sastra Indonesia Universitas Andalas
dan Mahasiswa Program Doktoral Ilmu-ilmu Humaniora UGM)
Apa itu paradigma? Mengapa perlu disuguhkan sebuah tulisan tentang paradigma? Bukankah definisi paradigma sudah jelas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia? Pertanyaan tersebut muncul ketika saya akan memulai membaca artikel yang berjudul “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan” yang ditulis oleh Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra (2009).
Istilah paradigma memang bukan pertama kali saya dengar, bahkan juga bukan pertama kali saya pakai. Dalam sejumlah tulisan ilmiah yang pernah saya tulis, saya pernah menggunakan istilah paradigma, tetapi hanya sekadar sinonim untuk frasa kerangka berpikir. Ada kalanya saya menggunakan kerangka berpikir, ada kalanya saya menggunakan paradigma. Namun, setelah membaca artikel ini, saya akhirnya menyadari bahwa saya sudah keliru dalam memahami paradigma.
Ketika saya membaca artikel Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra (2009) tentang “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan”, sejumlah pandangan yang selama ini saya pahami pun gugur. Bahkan, ada pertanyaan yang dulu pernah muncul saat saya masih strata 1, kini terjawab melalui pemaparan Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra. Pertanyaan saya kala itu ialah (1) siapa yang berhak dikatakan menemukan teori? dan (2) apa status seorang sarjana, magister, dan doktor kelak dalam keilmuan? Melalui tulisan Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, saya menyadari bahwa (1) teori merupakan salah satu perangkat paradigma; (2) hasil analisis yang selama ini dilakukan oleh seorang sarjana, magister, ataupun doktor merupakan sebuah teori—yang memperkuat teori yang ada; dan (3) teori tersebut dibedakan atas grand theory, middle-range theory, dan small theory. Ternyata dari penelitian yang saya lakukan, saya sudah menemukan sebuah teori meskipun dalam lingkup small theory.
Melalui tulisan ini pula, saya juga menyadari bahwa apa yang saya pahami selama ini ternyata benar mengenai data kuantitatif dan data kualitatif, bukan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Namun, karena saya tidak memiliki pengetahuan yang komprehensif, saya tidak bisa menjelaskan bahwa pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif itu merupakan istilah yang keliru. Istilah untuk kuantitatif dan kualitatif lebih tepat disandingkan dengan metode penelitian atau metode pengumpulan data sehingga terbentuk (1) metode pengumpulan data kuantitatif dan (2) metode pengumpulan data kualitatif.
Beranjak dari pertanyaan tersebut, saya pun mendapat pengetahuan dan pemahaman (cakrawala baru) mengenai paradigma yang disampaikan Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra (2009) melalui “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan”. Pemahaman tersebut saya rangkum dalam review mengenai paradigma dan hubungannya dengan salah satu kajian bahasa.
Review Pandangan
Putra (2009) menjelaskan bahwa paradigma merupakan konsep penting dalam sebuah penelitian. Dalam penelitian ilmu sosial-budaya, paradigma diperlukan dalam memandang, mempelajari, dan menjelaskan gejala-gejala empiris. Putra (2009: 1—2) menyatakan bahwa konsep paradigma dikemukakan awalnya oleh Kuhn (1970) serta Cuff dan Payne (1979). Namun, Putra (2009) menyayangkan bahwa istilah paradigma yang dikemukakan Kuhn serta Cuff dan Payne belum jelas dan juga belum digunakan secara konsisten. Oleh karena itu, ia menguraikan definisi paradigma secara khusus.
Putra (2009: 2) menyatakan bahwa paradigma merupakan “Seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan, dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi”. Seperangkat konsep yang dimaksudkan ialah (1) asumsi-asumsi dasar, (2) nilai-nilai, (3) masalah-masalah yang diteliti, (4) model, (5) konsep-konsep, (6) metode penelitian, (7) metode analisis, (8) hasil analisis atau teori, dan (9) etnografi atau representasi (2009: 4).
Menurut Putra (2009: 13), asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, dan model merupakan konsep yang selalu ada dalam penelitian, tetapi cenderung bersifat implisit. Sementara itu, masalah penelitian, konsep/istilah, metode penelitian, metode analisis, hasil analisis, dan representasi merupakan konsep yang bersifat eksplisit dan dapat dilihat dalam laporan penelitian. Hal ini yang menyebabkan banyak peneliti tidak mampu menjawab asumsi dasar, nilai-nilai, dan model yang ada dalam penelitiannya. Padahal, asumsi dasar, nilai-nilai, dan model ini merupakan fondasi sebuah penelitian yang sesungguhnya ada dan seharusnya juga bisa bersifat eksplisit. Ketika asumsi dasar, nilai-nilai, dan model bersifat eksplisit, penelitian pun menjadi penelitian yang baik dan benar karena dapat menunjukkan relasi atau kesatuan karena kesembilan konsep tersebut berhubungan secara logis (Putra, 2009: 25).
Bagaimana seperangkat konsep tersebut dapat membentuk kesatuan? Saya mencoba memahami satu-persatu sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra (2009) secara berurutan dalam “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan”. Pertama, asumsi-asumsi dasar. Putra (2009: 5) menjelaskan bahwa asumsi-asumsi dasar merupakan sebuah kerangka pemikiran dalam memandang dan memahami gejala sosial-budaya. Dalam memahami gejala sosial-budaya, seorang ilmuan dapat menelaah sebuah teori dengan memperhatikan asumsi-asumsi dasar di balik teori yang dikemukakan. Salah satu cara dengan mencari kelemahan-kelemahan teori tersebut dengan memeriksa model, konsep, dan komponen lain dari teori tersebut.
Berdasarkan pernyataan Putra (2009) tersebut, saya pun mencoba menemukan asumsi dasar dalam kajian bahasa, yakni mengenai “Pembakuan Bahasa Indonesia”. Asumsi ini saya peroleh dengan cara melihat kelemahan dalam proses pembakuan bahasa Indonesia yang terjadi saat ini yang terwujud dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V yang tidak lagi memperhatikan fonem bahasa Indonesia sebagai standar pembakuan. Hasil pembakuan menunjukkan bahwa adanya ketidakkonsistenan, seperti bentuk autobiografi yang diserap dari kata autobiography dengan cara menyerap diftong [au] ke dalam bahasa Indonesia, tetapi penyerapan berbeda pada kasus otomatis yang diserap dari kata automatic dengan cara mengubah diftong [au] menjadi bunyi [o]. Ketidakkonsistenan ini menyebabkan penggunaan kata oleh pengguna bahasa Indonesia bervariasi, seperti ada autobiografi dan ada juga otobiografi, serta ada automatis dan ada juga otomatis. Asumsi dasar ini dapat menjadi tonggak penelitian ilmu sosial-budaya.
Kedua, model. Putra (2009: 24) menyatakan bahwa model merupakan implikasi lebih lanjut dari asumsi-asumsi dasar. Putra (2009: 8—9) mengemukakan bahwa dalam proses teorisasi, model sangat dibutuhkan. Model dikemukakan dalam bentuk perumpamaan, analogi, atau kiasan tentang gejala yang dipelajari. Oleh karena itu, model dapat dikemukakan dengan menguraikan persamaan-persamaan tertentu antara fenomena yang satu dengan fenomena yang lain.
Beranjak dari definisi Putra (2009) mengenai model, saya pun mencoba menemukan model dalam pembakuan bahasa Indonesia bahwa bahasa itu punya struktur atau kerangka sebagaimana bangunan juga punya struktur atau kerangka. Dengan struktur atau kerangka tersebut, sebuah bahasa memiliki kaidah berdasarkan konsep-konsep yang jelas dan terukur. Dengan demikian, pembakuan bahasa Indonesia pada KBBI V seharusnya punya struktur (kaidah) yang jelas, baik dalam membakukan fonem atau morfem.
Ketiga, nilai-nilai. Putra (2009: 6) menyatakan bahwa setiap penelitian selalu memiliki nilai-nilai karena berkaitan mengenai benar atau tidak, serta bermanfaat atau tidak. Namun, untuk menunjukkan sebuah penelitian merupakan penelitian yang baik dan benar, perlu mengkonkretisasi nilai tersebut. Misalnya, dengan melihat asumsi dan model yang dikemukakan dalam pembakuan bahasa Indonesia, tampak bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam penelitian ini berkaitan dengan manfaat yang akan diperoleh oleh pengguna bahasa Indonesia. Dengan mempertimbangkan keteraturan (struktur) dalam pembakuan, pengguna bahasa Indonesia—yang berasal dari beragam bahasa daerah—memiliki konsep yang sama dalam menentukan sebuah kata baku dalam bahasa Indonesia.
Keempat, berkenaan dengan masalah yang ingin dijawab. Putra (2009: 10) menjelaskan bahwa “suatu penelitian berawal dari suatu kebutuhan, keperluan untuk (1) memperoleh jawaban atas pertanyaan tertentu atau keinginan (2) membuktikan kebenaran dugaan secara empiris. Masalah ini selalu bersifat konkret dalam penelitian berupa kalimat tanya yang akan ditelusuri jawabannya melalui penelitian tersebut.
Ketika penelitian mengenai pembakuan bahasa Indonesia dilakukan, pertanyaan penelitian dapat dirumuskan untuk menjawab pertanyaan berupa (1) Bagaimana pembakuan bahasa Indonesia dari satu periode ke periode lain?; (2) Apa saja kelemahan pembakuan bahasa Indonesia yang terjadi saat ini?; dan (3) Bagaimana pembakuan bahasa Indonesia yang representatif? Dengan menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut, asumsi dasar tadi benar-benar menjadi menjadi fondasi penelitian ini.
Kelima, berkenaan dengan konsep-konsep pokok. Putra (2009: 11—12) menyatakan bahwa konsep merupakan istilah-istilah atau kata-kata yang diberi makna tertentu sehingga membuatnya dapat digunakan untuk menganalisis, memahami, menafsirkan, dan menjelaskan peristiwa atau gejala sosial-budaya yang dipelajari. Hal yang menarik dari definisi konsep ini, Putra (2009: 13—14) menyatakan bahwa sebuah konsep dalam ilmu sosial-budaya bisa diberi definisi atau batasan berdasarkan kajian pustaka yang komprehensif. Jika definisi konsep yang dikemukakan tidak ada yang dipandang cocok, peneliti dapat membuat definisi yang lebih sesuai. Artinya, tidak ada definisi yang paling benar karena setiap konsep dapat diberi definisi dari sudut pandang tertentu.
Dengan kajian pustaka yang komprehensif, penelitian mengenai pembakuan bahasa Indonesia misalnya, dapat dijawab dengan menggunakan konsep-konsep tertentu untuk memahami dan menjelaskan ketidakkonsistenan dalam pembakuan bahasa Indonesia. Di antara konsep tersebut ialah kata baku, kata tidak baku, dan standar pembakuan.
Keenam, berkenaan dengan metode penelitian. Putra (2009: 14—15) menyatakan bahwa metode penelitian berkenaan dengan cara memperoleh data yang dibedakan atas data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif berupa kumpulan simbol, huruf, atau angka yang menunjukkan jumlah, sedangkan data kualitatif berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan dari suatu gejala.
Putra (2009: 19) menyatakan bahwa dalam penelitian ilmu sosial-budaya, metode pengumpulan data kuantitatif terdapat pada (1) metode kajian pustaka, (2) metode survei, dan (3) metode angket, sedangkan metode pengumpulan data kualitatif terdapat pada (1) metode kajian pustaka, (2) metode pengamatan, (3) metode pengamatan berpartisipasi, (4) metode wawancara sambil lalu, (5) metode wawancara mendalam, dan (6) metode mendengarkan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan metode penelitian berkenaan dengan cara yang dilakukan dalam mengumpulkan data penelitian.
Dalam penelitian pembakuan bahasa Indonesia misalnya, data akan dikumpulkan dengan cara metode kajian pustaka, yakni dengan menyimak kosakata yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi I s.d. Edisi V untuk melihat keteraturan atau ketidakteraturan (struktur) pembakuan bahasa Indonesia dari satu periode ke periode lain.
Ketujuh, berkenaan dengan metode analisis. Putra (2009: 19) menjelaskan bahwa metode analisis merupakan cara untuk memilah dan mengelompokkan data agar dapat ditetapkan relasi-relasi tertentu antara kategori data yang satu dengan kategori data yang lain. Dengan melihat masalah penelitian dan metode pengumpulan data yang dilakukan, dapat dipilah dan dikelompokkan data bahasa Indonesia ke dalam dua kategori, yaitu kata baku dan kata tidak baku. Dari pengelompokkan tersebut, juga akan dikategorikan lagi ke dalam pembakuan yang sesuai dengan fonem bahasa Indonesia dan pembakuan yang tidak sesuai dengan fonem bahasa Indonesia. Dengan analisis tersebut, akan terjawab masalah penelitian yang berkenaan dengan keteraturan dan ketidakteraturan dalam pembakuan bahasa Indonesia.
Kedelapan, berkenaan dengan hasil analisis atau teori. Putra (2009: 21) menyatakan bahwa hasil analisis akan menunjukkan relasi-relasi antarvariabel, antar-unsur, atau antargejala yang diteliti. Hasil analisis ini biasa disebut dengan teori, yaitu pernyataan mengenai gejala yang diteliti atau mengenai hubungan antargejala yang diteliti—yang sudah terbukti kebenarannya. Putra (2009: 21) membagi hasil analisis atau teori tersebut ke dalam tiga cakupan, yaitu teori besar (grand theory), teori menengah (middle-range theory), dan teori kecil (small theory). Dengan demikian, sebuah penelitian yang baik akan menghasilkan teori baru atau memperkuat teori yang ada.
Berdasarkan penjelasan tersebut, sebuah penelitian (baik skripsi, tesis, maupun disertasi) dapat menjadi teori besar, teori menengah, atau teori besar. Jika pembakuan bahasa yang terjadi memiliki kelemahan, hasil analisis ini akan menghasilkan teori baru yang dapat dipakai dalam pembakuan bahasa selanjutnya. Namun, jika pembakuan bahasa Indonesia yang dilakukan sudah benar adanya, hasil analisis ini akan memperkuat pembakuan bahasa Indonesia yang sudah terjadi.
Kesembilan, berkenaan dengan representasi. Putra (2009: 22) menyatakan bahwa representasi berkenaan dengan penyajian dalam bentuk karya ilmiah. Representasi penelitian dapat berupa skripsi (S-1), tesis (S-2), disertasi (S-3), laporan penelitian, makalah, artikel ilmiah (dalam jurnal ilmiah), atau sebuah buku. Representasi ini merupakan wujud konkret sebuah paradigma. Tanpa representasi, tidak ada paradigma.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kesembilan perangkat konsep, mulai dari asumsi dasar, model, nilai, konsep, masalah yang diteliti, metode penelitian, metode analisis, hasil analisis, dan representasi merupakan sebuah paradigma yang digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala empiris dalam kajian ilmu sosial-budaya. Dengan paradigma tersebut, akan diperoleh penelitian yang baik dan benar.
Dengan mengkonkretkan kesembilan perangkat paradigma tersebut ke dalam salah satu contoh penelitian tadi, kita dapat memahami bahwa melalui sebuah paradigma, seseorang dapat menjelaskan masalah yang dihadapi. Dengan demikian, sangat tepat jika Putra (2009: 26—27) menyatakan bahwa paradigma berbeda dengan prosedur penelitian dan format proposal.
Prosedur penelitian dijelaskan Putra (2009: 25) sebagai tahapan-tahap yang dilakukan oleh seorang peneliti, mulai dari (1) tahap penelitian pustaka, (2) tahap perumusan masalah, (3) tahap penulisan proposal, (4) tahap pengumpulan data, (5) tahap penelitian, (6) tahap analisis data, dan (7) tahap perumusan hasil. Sementara itu, format proposal merupakan bab-bab yang ada dalam sebuah karya ilmiah yang ditulis secara berurutan, mulai dari (1) latar belakang, (2) perumusan masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat penelitian, (5) tinjauan pustaka, (6) kerangka teori, (7) metode penelitian, dan (8) metode analisis. Format proposal ini biasanya berbeda antara disiplin ilmu alam dan disiplin ilmu sosial.
Dengan kriteria pembeda yang sangat jelas tersebut, dapat disimpulkan bahwa kita tidak akan pernah memegang sebuah proposal penelitian atau tidak akan pernah melakukan serangkaian tahapan dalam penelitian jika tidak ada paradigma yang dikemukakan terlebih dahulu. Oleh karena itu, sangat penting bagi sebuah disiplin ilmu, khususnya ilmu sosial-budaya untuk menciptakan sebuah paradigma agar dapat menjelaskan kenyataan atau masalah yang dihadapi secara empiris.
Komentar Kritis
Artikel Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra (2009) tentang “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan” ini membuka pandangan saya tentang paradigma, yang dibedakan dengan prosedur penelitian dan juga format proposal. Bahkan, saya menjadi tahu perbedaan konsep antara paradigma, teori, dan metode penelitian. Ketiga istilah tersebut memang selama ini masih dipahami secara abstrak sehingga ketika ditanyakan apa itu paradigma, teori, dan metode penelitian, banyak yang tidak dapat menjawab secara komprehensif dan kadangkala uraian berbeda jika ditanyakan dalam dua situasi yang berbeda.
Dulu saya berpikir bahwa teori hanya dapat dihasilkan oleh seorang pakar yang menghasilkan buku-buku ilmiah dengan indikator tertentu—yang berbeda dengan indikator yang disampaikan Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra (2009) dalam “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan”. Begitu juga dengan metode penelitian, dahulu saya berpikir bahwa metode penelitian merupakan langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan penelitian, mulai dari observasi, pengumpulan data, analisis data, hingga penyajian hasil analisis data. Sebaliknya, metode penelitian ternyata berkaitan dengan cara pengumpulan data—yang dibedakan atas data kuantitatif dan data kualitatif (Putra, 2009: 14—19).
Begitu juga dengan salah satu konsep paradigma—asumsi—yang selama ini memang tidak pernah saya ketahui dalam sebuah penelitian. Sebagaimana yang dikatakan Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra (2009) bahwa kebenaran yang relatif itu disebut sebagai asumsi. Ada yang selama ini menerima dan ada juga yang mempertanyakan. Ketika saya sebagai peneliti mempertanyakan hal tersebut, ternyata itulah yang disebut dengan asumsi. Selama ini saya hanya beranggapan bahwa pernyataan tersebut hanya alasan-alasan yang dikemukakan untuk memulai sebuah penelitian. Jika diminta menghubungkan dalam sebuah paradigma, jika tidak membaca artikel Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra (2009) tentang “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan”, saya tidak akan bisa menjelaskan sama sekali.
Artikel Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra (2009) tentang “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan” ini patut disebarluaskan dan dipelajari oleh peneliti, mulai dari tingkat sarjana. Bahasa yang dikemukakan Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra sangat ringan dan mudah dipahami. Istilah serumit paradigma, asumsi, model, dan teori, terasa sangat mudah diterima dan dicerna. Pandangan Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra (2009) tentang “Paradigma Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pandangan” ini tidak seperti sebuah makalah ilmiah bagi saya, tetapi seperti membaca sebuah kisah.
Kalimat-kalimat yang digunakan Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra (2009) mencerminkan betapa bahasa bisa menyederhanakaan pengetahuan yang selama ini dikenal sangat rumit dan kaku. Hampir semua buku ilmiah yang saya baca menggunakan kalimat eksposisi yang hanya mampu memaparkan sesuatu. Tidak banyak para ahli dan pakar yang mampu menggunakan kalimat yang bersifat narasi atau bersifat deskripsi untuk membawa ketertarikan kita terhadap sebuah ilmu. Namun, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra menunjukkan kepada saya betapa bahasa benar-benar mampu mempengaruhi alam sadar seseorang untuk memahami dan menyukai sesuatu—bahkan filsafat keilmuan sekalipun. Kata-kata yang dirangkai Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra menjadi kalimat sederhana yang mudah dipahami—yang awalnya membuat saya takut dalam mempelajari disiplin ilmu ini, tetapi sekarang membuat saya tertarik untuk memahami lebih lanjut.
Meskipun demikian, karena saya berasal dari bidang linguistik, membangun sebuah paradigma yang berkaitan dengan riset saya sebagaimana yang dilakukan di atas membutuhkan validasi dari ahli linguistik. Sementara itu, tidak mudah untuk melakukan hal tersebut. Oleh karena saya juga membaca buku Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa tentang Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra yang mengungkapkan tentang peran linguistik dalam kajian antropologi, saya pun sangat berharap jika Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa dapat mengkonkretkan sebuah paradigma dalam kajian linguistik untuk menjadi pedoman bagi calon peneliti linguistik lainnya. Pilihan kata dan gaya tulisan Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa sangat membantu dalam memahami istilah atau konsep yang sulit dalam disiplin ilmu sosial-budaya. Ulasan tersebut tentunya diharapkan dapat membantu calon peneliti dalam memahami istilah atau konsep dalam membangun sebuah paradigma kajian linguistik.
Discussion about this post