Seberapa penting penggunaan tanda koma dalam sebuah tulisan? Sangat penting. Tanda koma dapat mempengaruhi makna sekumpulan kata, baik dalam bentuk frasa maupun dalam bentuk kalimat. Setidaknya pada judul salah satu karya Yusrizal KW, sastrawan asal Sumatera Barat, yaitu Ayah, Anjing.
Penggunaan tanda koma (,) pada judul buku Ayah, Anjing menjadi perdebatan, bahkan kritikan bahwa judul tersebut memuat konten negatif. Padahal, ada tanda koma antara kata ayah dan kata anjing yang menjelaskan bahwa kedua kata tersebut dipisahkan sebagai dua unsur yang berbeda.
Dalam kaidah bahasa Indonesia, tanda koma merupakan bagian dari tanda baca. Chaer (2006) menjelaskan bahwa tanda baca merupakan tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa tulis agar kalimat yang ditulis dapat dipahami orang lain. Wijayanti (2015) menjelaskan bahwa tanda baca sebagai sistem ejaan digunakan untuk membantu pembaca memahami tulisan dengan tepat. Dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), terdapat 15 tanda baca yang dapat digunakan dalam bahasa tulis, seperti tanda titik (.), tanda koma (,), tanda seru (!), dan tanda tanya (?). Tanda koma pada judul buku Ayah, Anjing merupakan tanda baca yang digunakan oleh penulis untuk membantu pembaca dalam memahami isi tulisan.
Berdasarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), fungsi tanda koma pada judul Ayah, Anjing tersebut dapat dianalisis sebagai (1) tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu pemerincian atau pembilangan dan (2) tanda koma dapat dipakai di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat untuk menghindari salah baca/salah pengertian.
Pertama, tanda koma pada judul Ayah, Anjing menyiratkan bahwa tanda koma digunakan untuk membedakan dua hal, yakni ayah dan anjing. Hal ini sesuai dengan kaidah bahwa tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu pemerincian. Dalam hal ini, Yusrizal KW sebagai penulis ingin menyampaikan bahwa dalam salah satu cerita pendek pada buku tersebut dibahas ayah dan anjing secara intensif (sungguh-sungguh dan terus-menerus). Pembahasan ini merupakan bagian penting karena kemudian menjadi judul buku dari sejumlah judul cerita pendek lain dalam buku tersebut. Apalagi, sampul buku juga dibubuhkan dengan gambar yang memuat kepala anjing dan badan manusia.
Apakah gambar ini sebuah realitas? Tentu tidak karena tidak ada manusia dengan kepala binatang dan badan manusia. Namun, gambar ini menunjukkan realitas sosial bahwa ada manusia yang rela diikat pemikirannya seperti seekor anjing karena hal-hal tertentu. Dalam dunia sastra, ini dinamakan dengan satir, yaitu bentuk komedi kebijaksanaan dan kebodohan yang ditampilkan sebagai kelucuan. Terkait apakah itu? Tentu pembaca harus membaca dulu cerita pendek yang berjudul “Ayah, Anjing” yang dimuat pada halaman 29 buku tersebut.
Kedua, tanda koma sengaja digunakan oleh penulis untuk menghindari kesalahpahaman dalam membaca. Bentuk (i) Ayah Anjing berbeda dengan bentuk (ii) Ayah, Anjing; berbeda juga dengan bentuk (iii) Ayah, anjing!; berbeda juga dengan bentuk (iv) Ayah, anjing?.
Bentuk (i) berupa Ayah Anjing merupakan frasa endosentrik, yaitu frasa yang terdiri atas inti dan atribut. Kata ayah merupakan bentuk inti dan kata anjing merupakan bentuk atribut. Sebagaimana konsep atribut, bentuk ini merupakan bentuk pendukung dan dapat digantikan dengan bentuk lain. Dengan konsep tersebut, dapat dibentuk ayah kandung, ayah saya, ayah angkat (diambil dari bentuk inti yang sama) atau sepeda motor, sepeda rusak, sepeda kami (diambil dari bentuk inti yang berbeda). Bentuk tersebut termasuk frasa nomina karena dibentuk dari gabungan kata benda (nomina).
Dari sekian bentuk tersebut, frasa ayah anjing tidak lazim karena tidak akan pernah digunakan dalam komunikasi sehari-hari, kecuali dalam konteks makian. Dalam konteks makian pun, bentuk tersebut tidak terdiri atas frasa itu saja, tetapi diikuti oleh kata atau frasa lain untuk membentuk sebuah kalimat makian, seperti “Dia ayah anjing. Tega menghamili anak sendiri!” Sementara itu, untuk menunjukkan bentuk keturunan hewan, biasanya digunakan bentuk induk ayam—anak ayam, induk anjing—anak anjing. Dengan demikian, makna ayah anjing tidak menjadi maksud dari judul buku ini.
Begitu juga dengan bentuk (iv) yang merupakan kalimat tanya yang bersifat minor atau kalimat tanya singkat. Ada unsur yang melesap dalam kalimat tersebut. Kalimat “Ayah, anjing?” dapat dianalisis jika diikuti oleh konteks, seperti kemarahan, kekecewaan, dan kekesalan karena si pembicara (dalam hal ini pasti anak karena dia menyapa lawan bicara dengan ayah) menanyakan kodrat lawan bicara yang jelas-jelas manusia, tetapi ditanyakan apakah binatang (anjing). Pertanyaan ini tentu berkaitan dengan peristiwa yang mendahului kalimat tersebut yang ternyata dapat memicu kemarahan, seperti menghamili anak sendiri, menjual anak sendiri, atau apa pun itu yang berkonotasi negatif.
Konotasi negatif yang muncul pada kata anjing dipengaruhi oleh budaya kelompok masyarakat tertentu. Kelompok yang sangat sensitif dengan kata anjing ialah kelompok budaya yang dipengaruhi oleh agama Islam, seperti orang Minangkabau (Sumatera Barat) atau uraeung Aceh (Aceh). Anjing dalam agama Islam merupakan binatang yang haram untuk dimakan dan menjadi najis jika dipegang. Masyarakat dalam kelompok ini kadang menggunakan kata anjing untuk meluapkan kekesalan atau kemarahan terhadap suatu barang bahkan kepada orang tertentu yang dinilai tidak santun, tidak beretika, atau tidak bermoral. Lalu, bentuk Ayah, Anjing pada judul buku Yusrizal KW jelas tidak merujuk pada konteks yang dihadirkan dari kalimat tanya “Ayah, anjing?”.
Selain itu, bentuk kalimat seru “Ayah, anjing!” biasanya juga diikuti oleh peristiwa atau konteks yang mendahului kalimat tersebut, seperti ada anjing di sekitar penutur. Ketika penutur (dalam hal ini tentu anak karena memanggil lawan tutur dengan ayah) berada di sekitar lawan tutur dan melihat ada anjing di sekitar mereka berkeliaran dan dicurigai membahayakan, penutur pun berteriak (dilambangkan dengan tanda seru sebagai bentuk ekspresi) bahwa ada anjing di sekitar ayahnya. Kalimat “Ayah, anjing!” merupakan kalimat minor yang paling efektif untuk mengungkapkan kondisi bahaya. Secara psikologis, kalimat ini lebih cepat diucapkan dibandingkan “Ayah, awas ada anjing!”.
Dengan demikian, bentuk (i), bentuk (iii), dan bentuk (iv) tentu berbeda dengan bentuk (ii) berupa Ayah, Anjing yang merupakan judul dari kumpulan cerpen Yusrizal KW ini. Tanda koma antara kata ayah dan kata anjing merupakan pemisah antara dua unsur yang berbeda. Tanda koma tersebut menjadi pilihan penulis untuk menunjukkan bahwa tokoh ayah dan tokoh anjing menjadi tokoh utama dalam cerita pendek tersebut. Keberadaan tokoh tersebut tentu berperan penting untuk menjelaskan realitas sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat (dalam hal ini masyarakat Minangkabau).
Ada sekelompok masyarakat yang senang berburu babi dengan membawa anjing sebagai alat berburu. Namun, kompleksitas muncul karena anjing tidak hanya dijadikan sebagai alat berburu, tetapi kemudian mengacaukan ranah domestik atau rumah tangga. Ada sejumlah orang yang justru merawat anjing dan mengabaikan anak dan istri sendiri karena menganggap anjing lebih berguna dibandingkan anak dan istrinya. Hal ini yang kemudian menjadi konfliks pada cerita pendek Yusrizal KW sehingga kemudian—dari analisis saya—dipilih judul Ayah, Anjing menjadi bentuk paradoks dari sudut pandang anaknya. Bentuk yang lazim di tengah-tengah masyarakat dan justru diterima sebagai kondisi yang patut ialah bentuk Ayah, Anak. Namun, Yusrizal KW malah memilih bentuk Ayah, Anjing.
Judul pada karya sastra kadang memang didesain sedemikian rupa agar menimbulkan efek power words, yaitu kata-kata mampu memicu ketertarikan atau emosi seseorang. Yusrizal KW memilih bentuk Ayah, Anjing sebagai judul tentu dengan pertimbangan bahwa masyarakat Minangkabau “perlu dibangunkan”, disadarkan, dan diajak berpikir logis bahwa sikap-sikap demikian dapat membahayakan kondisi psikologis anak dan juga istri mereka.
Secara tidak langsung, Yusrizal KW sudah “membangunkan” masyarakat Minangkabau itu sendiri. Adanya kritik terhadap judul karya ini menjadi salah satu sikap masyarakat yang menunjukkan kepedulian dan ketertarikan dengan bentuk linguistik Ayah, Anjing yang dipilih Yusrizal KW sebagai judul. Hanya saja ketertarikan tersebut baru pada ranah mengkritisi judul. Seharusnya ketertarikan secara positif ditunjukkan dengan membaca karya tersebut secara utuh dan mengkritisi masalah yang diuraikan dalam cerita pendek tersebut.
Discussion about this post