
Oleh: Sabina Yonandar
(Mahasiswi Sastra Indonesia. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
“Hantu Padang” adalah salah satu buku antalogi puisi yang ditulis oleh Esha Tegar. Ada sesuatu yang menarik ketika membaca buku kumpulan puisi itu. Judul yang terpampang bagaikan isyarat sebuah kehadiran dari makhluk halus, bayangan yang menghantui, seakan ingin membangkitkan memori yang tersembunyi dari kota Padang yang dikenal dengan segala keunikan budaya dan sejarahnya. Namun, apakah benar kota ini dipenuhi dengan hantu yang bergentayangan secara harfiah? Atau justru Esha sebagai penyair muda, menggunakan kata “hantu” sebagai bentuk metafora dalam perjalanan batinnya untuk mengenali dan memahami makna kehidupan serta kota yang menjadi latar dari puisinya?
Membaca puisi-puisi dalam “Hantu Padang” bukanlah perjalan yang instan. Membutuhkan kesabaran dan pengulangan, bukan karena sajak-sajak yang ditulisnya susah untuk dipahami. Namun, gaya bahasa metafora yang Esha Tegar gunakan serta perbedaan kondisi lingkungan saat itu saat Esha Tegar memulai perjalanannya dengan kondisi lingkungan saat ini. Esha hadir dengan sudut pandang yang berbeda, yang tercermin dari pemilihan kata, nama-nama tempat hingga suasana yang ingin ia bawa ke permukaan. Oleh karena itu, perlu kiranya membaca puisi Esha dengan membuka ruang interpretasi sekaligus menelusuri jejak-jejak sejarah dan budaya Kota Padang yang menjadi tema utama pada buku antalogi puisinya.
Esha dalam mampu memberikan gambaran yang cukup detail akan sebuah ruang dan waktu yang khas, misalnya pada puisi pertama, bait puisi “1”
Aku kembali, Tiar. Aku kembali pada kota dimana bau hangus
Tempurung lutut kuda masih mengembang begitu
Di udara
Bait tersebut seperti undangan untuk mengikuti langkah kembali penyair ke masa lalu yang kental dengan kenangan. Tidak hanya kenangan personal, namun juga kenangan budaya dan sejarah yang melekat pada tempat tersebut. “Bau hangus tempurung lutut kuda” bukan hanya perumpaan tanpa makna melainkan penggambaran aktivitas pacuan kuda yang erat dengan kehidupan masyarakat tradisional di sana. Dengan kata lain, Esha mampu menyusun bait sederhana yang memuat kedalaman waktu dan tempat.
Tidak seperti puisi-puisi yang sarat dengan metafora rumit dan istilah yang berat, puisi-puisi dalam “Hantu Padang” ditulis dalam kesederhanaan bahasa yang justru membuat perasaan dan pengalaman penyair terasa lebih pekat. Simbol-simbol yang dipilih juga sangat konkret dengan nama tempat, keadaan lingkungan, aroma makanan daerah seperti bawang goreng atau sate danguang-danguang, semua hadir sebagai penanda waktu dan suasana autentik. Contohnya pada bait,
hantu-hantu
bersarang
dalam lambung
di pangkal muara – 1, Hantu Padang.
Atau pada bait,
Dua tikungan
Dari Pemancungan
Ke Pasagadang -3, Hantu Padang.
Pembaca diajak untuk menyelami bukan hanya puisi, tetapi juga geografis dan budaya yang melekat pada kota Padang. Esha, dalam puisinya juga menonjolkan keterbukaan terhadap sejarah dan budaya kota, dengan memasukan unsur-unsur lokal yang melekat kuat dari pengamatan dan ketertarikannya terhadap hal-hal di sekitar. Ia bukan sekedar menulis puisi sebagai bentuk ekspresi artistik, melainkan juga sebagai bentuk upaya untuk mendokumentasikan pengalaman dan interaksi budaya dari sebuah wilayah. Hal ini memperlihatkan bagaimana sastra bisa menjadi media yang efektif untuk melacak dan menghadirkan identitas kolektif dan pengalaman personal sekaligus.
Penting dipahami bahwa “Hantu Padang” sebenarnya bukanlah saudara atau cerminan dari sebuah kisah mistik yang terdengar menakutkan. “Hantu” pada puisi ini merupakan simbolisasi dari bayangan perjalanan panjang dan pengalaman yang menghantui, baik secara emosional maupun spiritual. Hantu-hantu yang muncul sebagai representasi kenangan masa lalu, luka, dan juga harapan yang menyertai perjalanan hidup si penyair. Oleh karena itu, antalogi ini sebagai penuntun bagi pembaca untuk tidak sekedar mengenali masa lalu, tetapi agar juga bisa menemukan jalan hidup yang lebih baik ke depan.
Mengamati gaya penulisan Esha lebih jauh, terlihat bahwa ia tidak berusaha memaksakan imajinasi liar dalam puisinya. Justru kesederhanaan yang ia pilih untuk memberikan ruang bagi pembaca untuk dapat merasakan keaslian emosi dan situasi yang dihadirkan. Tidak ada bahasa yang dibuat-buat demi keindahan semu tanpa makna, melainkan setiap kata mempunyai beban dan arti. Cara menulis seperti ini membuka peluang yang besar bagi siapa saja yang ingin merasakan pengalaman literal sekaligus metaforis dari sebuah puisi.
Di sisi lain, kepatuhan terhadap tradisi lokal dan penokohan geografis di dalam puisi-puisi ini membuat karya Esha Tegar makin kuat dari segi autentisitas. Penempatan nama tempat bukan hanya sebagai pelengkap, melainkan sebagai tanda bahwa puisi ini memiliki akar yang sangat dalam pada budaya Minangkabau. Hal ini memperlihatkan satu dimensi lain, yaitu sebagai sastra berperan sebagai dokumen sejarah non-formal yang mengekspresikan realitas social sekaligus pergulatan personal.
Dari sisi tematik, puisi-puisi pada buku “Hantu Padang” menyuguhkan perenungan akan kenangan, asal-usul, dan perjalanan identitas yang berkelindan dengan ruang dan waktu Kota Padang. Dalam konteks ini, puisi menjadi medium penting yang memungkinkan si penyair untuk mengekspresikan kerumitannya berhadapan dengan sejarah dan kehidupan. Bentuk naratif puisi yang berkesinambungan juga merupakan kekuatan tersendiri dalam antologi ini. Setiap bait merupakan bagian penting yang merangkai kepingan demi kepingan pengalaman tersebut.
Sebagaimana sebuah karya sastra yang baik, “Hantu Padang” bukan sekedar bacaan, melainkan pengalaman yang mengajak pembaca untuk ikut mengembara melewati waktu dan ruang yang dibangun oleh penyair. Penggunaan bahasa yang lugas, simbol lokal yang kuat, dan pendekatan puisi yang sederhana memungkinkan pembaca untuk merasakan kedalaman makna tanpa terjebak dalam kerumitan bahasa yang berlebihan, Hal ini yang membuat karya Esha begitu relevan dan menyentuh pembaca.
Akhirnya, apa yang bisa dipetik dari antalogi buku puisi tersebut betapa pentingnya puisi untuk menjadi cermin sekaligus jendela. Cermin yang mampu memantulkan perjalanan personal seorang penyair yang sekaligus mewakili perjalanan kolektif komunitas dan budaya yang lebih luas. Dan jendela yang membuka pandangan pembaca dalam dinamika sejarah, budaya, dan identitas lokal yang terkadang terlupakan. “Hantu Padang” menawarkan sebuah ruang refleksi di mana masa lalu dan masa kini bisa berdialog, dan di situ pula pembaca diajak untuk bertemu dengan dirinya sendiri untuk perjalanan hantu-hantu yang hadir dalam puisi.








