
Oleh: Muhammad Zakwan Rizaldi
(Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas dan Anggota UKMF Labor Penulisan Kreatif)
Keluarga merupakan tempat pertama anak-anak belajar mengenai nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat. Keluarga juga merupakan tempat bagi anak-anak untuk mendapatkan kasih sayang dan dukungan sehingga anak-anak menjadi individu yang harmonis dan berguna dalam lingkungan masyarakat (Hutabalian, E. I. H., Ndraha, A., Sukatman, K., Sanosa, K., & Damanik, P. I., 2024). Dalam membentuk keluarga yang bahagia dan penuh kasih sayang, orangtua memainkan peran yang besar dalam mengembangkan kepribadian anak (Jaja, S., 2019). Namun, tidak semua orang tua berperilaku baik kepada anak-anaknya. Ada juga orang tua yang kasar kepada anak-anaknya. Akibatnya, anak tumbuh menjadi pribadi yang benci terhadap orang tuanya. Hal ini digambarkan oleh Sapardi Djoko Damono dalam puisinya yaitu puisi ”Sajak Tafsir.”
Sapardi Djoko Damono adalah penyair Indonesia yang telah menghasilkan banyak puisi dan puisi-puisinya digemari oleh banyak orang (Kurniawan, D., 2025). Salah satu keunikan dari puisi-puisi ciptaan Sapardi Djoko Damono adalah puisinya memiliki makna yang luas, salah satunya puisi “Sajak Tafsir.” Puisi ini memiliki nilai imaji yang luas dan memiliki pemaknaan yang unik sehingga sangat cocok untuk dianalisis menggunakan teori semiotika (Pirmansyah, P., Anjani, C., & Firmansyah, D, 2018).
Semiotika dalam sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari tanda-tanda atau lambang-lambang (Nasution, 2014). Semiotika membahas lambang-lambang yang terdapat dalam suatu objek yang dalam hal ini sastra dengan tujuan untuk mendapatkan makna-makna yang berbeda dengan makna aslinya sehingga “Puisi “Sajak Tafsir” karya Sapardi yang memiliki makna yang luas sangat cocok untuk dianalisis menggunakan teori ini.
Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-sekali berkhianat
Kepada sungai, ladang, dan batu
Bait pertama menggambarkan karakter aku tidak ingin disebut burung karena dapat menimbulkan pengkhianatan kepada sungai, ladang, dan batu. Karakter aku menggambarkan seorang anak yang dibenci oleh kedua orang tuanya. Oleh karena itu, ia tidak mau disebut burung karena menggambarkan sifat seseorang yang suka menyakiti orang lain seperti orang tua aku.
Aku selembar daun terakhir
Yang mencoba bertahan di ranting
Yang membenci angin,
Bait kedua menggambarkan karakter aku digambarkan sebagai daun. Pada bait sebelumnya, karakter aku tidak mau disebut sebagai burung karena menggambarkan orang tuanya yang merusak. Hal ini disebabkan ada beberapa jenis burung yang memakan daun, seperti burung Hoatzin. Kata “memakan” bisa diartikan sebagai sifat yang merusak, seperti sifat orang tua aku yang merusak atau menyakiti aku.
Karakter aku digambarkan sebagai selembar daun terakhir di pohonnya yang mencoba bertahan di rantingnya yang terus bergoyang karena hembusan angin yang kuat sehingga membuatnya membenci angin itu. Hal ini menggambarkan aku yang mencoba bertahan dari hembusan angin yang kuat yang menggambarkan amarah dari orang tua aku. Amarah orang tua aku sangat kuat sehingga aku bertahan, baik secara fisik maupun mental. Namun, perilaku orang tuanya membuat aku membenci orang tuanya.
Aku tidak suka membayangkan
Keindahan kelebat diriku
Yang memimpikan tanah,
Tidak mempercayai janji api yang akan
Menerjemahkanku
Ke dalam bahasa abu
Pada bait ketiga, aku tidak suka membayangkan keindahan kelebat diriku.Karakter aku dulu mempunyai daun yang lebat, namun karena angin yang kuat menyebabkan daun-daun itu terbang dan menyisakan daun terakhir. Hal ini melambangkan bahwa aku adalah tokoh yang ceria dan bahagia, namun suatu insiden yang tidak diketahui menyebabkan sifat orang tuanya berubah dan mulai membuat orang tua aku menjadi pribadi yang agresif. Amarah itu terus menerus membuat karakter aku tersakiti secara fisik dan mental yang dilambangkan dengan daun-daun yang berhamburan dan menyisakan satu daun terakhir, yaitu aku yang rapuh secara fisik dan mental. Tanah melambangkan kondisi aku yang pada satu titik ingin terbebas dari orang tuanya, seperti daun yang terbang bebas dan akhirnya jatuh ke tanah. Namun, Janji api itu hanya akan membuatnya menjadi abu. Janji api melambangkan sebuah harapan untuk bebas, namun memiliki resiko yang tinggi yang dapat membuat kondisi fisik dan mental aku semakin parah, seperti daun yang dibakar api menjadi abu.
Tolong tafsirkan aku
Sebagai daun terakhir
Agar suara angin yang meninabobokan
Ranting itu padam.
Bait keempat menggambarkan aku ingin pembaca menafsirkannya menjadi daun terakhir agar angin yang mengguncang ranting itu padam. Kata “menafsirkan” melambangkan permintaan “tolong” dari aku agar angin yang melambangkan amarah orang tua aku padam dan tidak mengganggu dirinya lagi. Bait ini menggambarkan karakter aku yang merasa sudah tidak bisa lagi menahan rasa sakit yang dia dapatkan dari orang tuanya itu, sehingga dia mencoba untuk berinteraksi kepada pembaca untuk meminta pertolongan.
Tolong ciptakan makna bagiku
Apa sajaaku selembar daun
Terakhir
Yang ingin menyaksikanmu bahagia
Ketika sore tiba..
Pada bait terakhir, aku ingin kita menciptakan makna apa saja untuk aku yang ingin menyaksikan kita bahagia di sore hari. Kata menciptakan makna ini melambangkan aku yang ingin kita sebagai pembaca memberikannya sebuah tujuan atau makna dalam hidupnya. Aku telah mengalami berbagai kekerasan dari orang tuanya. Sifat Aku yang awalnya ceria dan bahagia sedikit demi sedikit menghilang akibat perbuatan orang tuanya. Perilaku orang tuanya ini membuat Aku menjadi orang yang rapuh dan penuh dengan luka, sehingga dia tidak merasakan apa makna hidup itu sebenarnya. sebuah pergi ke mana saja, setelah semua ini berakhir. Aku ingin kita bahagia dengannya dalam perjalan kita bersamanya, seperti perasaan bahagia ketika melihat keindahan daun yang terbang “bebas” di sore hari.
Puisi Sajak “Tafsir” karya Sapardi Djoko Damono memiliki makna yang sangat dalam bagi anak-anak diluar sana yang diperlakukan secara buruk oleh orang tua mereka. Puisi ini menjadi secercah harapan bagi anak-anak di luar sana untuk terus bertahan dan tidak menyerah dengan keadaan yang mereka alami.









