Lastry Monika
(Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand)
Minggu lalu, tepat pada 17 Agustus 2025, saya menulis sebuah catatan berjudul “Tuah Rumah” tentang kenangan akan rumah di kampung halaman di kolom “Renyah” ini. Namun setelah tulisan itu rampung, saya merasa masih ada yang tertinggal, seperti suara yang belum selesai bercerita. Rupanya, kenangan tentang rumah tidak pernah tuntas dalam sekali gores. Ia selalu memanggil untuk dituliskan lagi, karena di balik setiap sudut rumah ada jejak masa lalu yang tak kalah penting untuk dikenang.
Sering kali kenangan itu datang begitu saja, seperti pintu yang tiba-tiba terbuka di benak. Saya masih bisa merasakan bagaimana suasana rumah di kampung kala pagi hari. Ibu selalu menjadi yang paling dulu terjaga, bahkan sejak subuh ia sudah sibuk di dapur atau menyiapkan sarapan.
Suaranya yang lembut, kadang bercampur nada tegas, membangunkan kami agar segera bersiap ke sekolah. Namun, kami sering pura-pura masih terlelap, enggan beranjak dari hangatnya selimut. Hingga akhirnya, langkah ibu yang mondar-mandir dan ketegasan ucapannya membuat kami tak punya alasan lagi untuk bermalas-malasan.
Setiap sore, halaman rumah menjadi saksi riuh kami bermain. Ada yang main kelereng, ada pula yang berkejaran sampai debu beterbangan. Kadang, suara ibu memanggil dari dapur memotong kegembiraan kami, menyuruh masuk.
Malam hari, rumah semakin syahdu. Di musim penghujan, suara hujan yang menimpa atap seng menghasilkan irama khas yang sampai kini masih saya rindukan. Di ruang tengah, ibu kerap duduk menemani kami belajar. Beliau jarang beranjak, seakan menjadi penjaga yang memastikan setiap pekerjaan rumah benar-benar selesai.
Kadang mata kami sudah mulai mengantuk, pensil terlepas dari tangan, tapi ibu tetap sabar membangunkan, memberi semangat, bahkan sesekali membantu mengoreksi hitungan yang salah. Kehadirannya membuat suasana belajar terasa hangat, seolah dinding rumah ikut menyerap kesabaran dan kasih sayangnya, menambah “tuah” yang membuat rumah itu kokoh hingga kini.
Kini, ketika rumah lebih sering sepi, kenangan itu hadir seperti cahaya yang menghangatkan kembali ruang-ruang kosongnya. Saya percaya, meski rumah lapuk dimakan waktu, selama kenangan masih hidup di hati, rumah itu tidak pernah benar-benar mati. Ia tetap berdiri sebagai penanda, tempat di mana kasih sayang pernah tumbuh.