Lastry Monika
(Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand)
Menjadi peserta Masterclass Naskah Sumatera yang diadakan oleh SOAS University of London di Padang adalah pengalaman baru bagi saya terkait dunia pernaskahan. Tak pernah saya bayangkan bahwa pertemuan ini akan membuka jendela baru tentang khazanah intelektual Nusantara, khususnya Sumatera, dengan mendalam.
Hari pertama, Rabu 23 Juli, kami berkumpul di Tyche Meeting Room, Hotel Mercure Padang. Sebelum sesi dimulai, kami diminta untuk menuliskan nama masing-masing dalam aksara Arab-Melayu—hal yang tampak sederhana, tetapi rupanya tak semudah itu bagi saya. Saya sempat ragu dan kebingungan, untung saja seorang panitia dengan sigap membantu saya menuliskannya.
Momen ini menjadi pembuka yang menarik, semacam pengantar bahwa peserta benar-benar disambut dalam kelas yang bakal lekas dimulai. Setelah registrasi dan sambutan, peserta diarahkan untuk berkenalan dengan cara yang unik. Siapapun yang ditunjuk harus memperkenalkan peserta lain yang ia kenal, lalu menyebutkan setidaknya tiga hal terkait dirinya. Selepas itu, kegiatan masuk ke sesi lingkar baca, sebuah pendekatan membaca naskah secara berkelompok yang membuat saya merasa menjadi bagian dari komunitas pembaca, bukan sekadar peserta pasif.
Membaca dengan pelan, membaca dengan lambat, kira-kira itulah pesan Mulaika Hijjas saat memulai sesinya. Kata-kata ini membawa angin segar dan menenangkan hati saya yang sudah lama tidak membaca Arab Melayu ini.
Hal menarik lainnya, suasana masterclass ternyata tidak seformal yang saya bayangkan sebelumnya. Saya sempat membayangkan pertemuan ini akan berlangsung dengan khidmat dan penuh kesunyian akademik. Tapi ternyata, atmosfernya jauh lebih santai. Seorang teman saya bahkan sempat berbisik sambil tersenyum, “Mereka kok lucu sekali,” merujuk pada para pemateri yang ekspresif dan menghindari kesan formal yang dingin.
Kesan santai ini sangat membantu mencairkan suasana dan mempererat interaksi antar peserta, apalagi peserta berasal dari latar belakang yang sangat beragam—ada yang telah bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia naskah, ada pula pemula seperti saya yang baru pertama kali menyentuh naskah secara langsung.
Dalam sesi lingkar baca, kami membaca naskah Arab-Melayu secara berkelompok. Naskah-naskah tersebut ditransliterasikan ke dalam huruf Latin, lalu didiskusikan maksud dan maknanya secara bersama. Sebagai pemula, saya mengalami tantangan dalam membaca naskah tersebut.Ketika teman-teman dalam kelompok saya sudah menyelesaikan dua kalimat, saya masih berkutat menerka-nerka kata ketiga. “Kenapa mereka tidak menerapkan kata Mulaika tadi?” begitulah ucap saya dalam hati. Entahlah, mungkin saja membaca secepat itulah yang dimaksud membaca pelan dan lambat. Membaca aksara Arab-Melayu ternyata bukan perkara mudah—ia butuh ketekunan, kejelian, dan keberanian untuk terus mencoba.
Namun di tengah rasa tertinggal itu, ada juga momen lucu dan membesarkan hati. Pernah beberapa kali saya berhasil membaca satu atau dua kata terlebih dahulu sebelum yang lain. Rasanya seperti menang undian kecil—ada kegembiraan yang menggelitik dan rasa percaya diri yang tiba-tiba tumbuh. Meskipun hanya satu atau dua kata, pencapaian kecil itu menjadi penyemangat tersendiri.
Saya belajar bahwa dalam dunia pernaskahan, setiap langkah, sekecil apa pun, adalah bagian penting dari proses yang lebih besar. Setiap kesulitan justru membawa rasa ingin tahu baru, dan setiap keberhasilan kecil memberi alasan untuk terus belajar. Sesi berikutnya tak kalah menarik. Bacaan hikayat bersama Alan Darmawan menghidupkan kisah-kisah lama yang ternyata masih memiliki gema hingga hari ini.
Kami membaca Hikayat Pelanduk Jenaka, sebuah hikayat yang mengandung cerita lucu dan penuh kelicikan cerdik. Namun, membaca bagian awal hingga pertengahan naskah ini cukup menantang—baik karena kompleksitas bahasanya maupun struktur naratifnya yang belum langsung tampak jenaka. Justru di bagian akhir-lah cerita menjadi terang dan jenakanya benar-benar terasa. Di sanalah klimaks kisah terbangun dan tawa muncul secara alami dari pembaca.
Keesokan harinya, Kamis 24 Juli, kami mengunjungi Museum Adityawarman untuk melihat langsung koleksi naskah yang disimpan di sana. Ini menjadi pengalaman yang sangat nyata: menyaksikan naskah sebagai artefak, bukan sekadar teks. Sesi praktik membaca naskah di museum semakin memperdalam pengalaman saya dalam memahami bentuk fisik dan kondisi naskah asli. Di penghujung acara, sesi pertanyaan penelitian yang dipandu oleh Mulaika Hijjas mendorong kami untuk mulai memikirkan kemungkinan arah studi lebih lanjut di bidang ini.
Masterclass ini bukan hanya memberi saya pengetahuan baru, tetapi juga semangat dan kepercayaan diri. Bahwa meskipun saya melangkah lebih lambat dari yang lain, saya tetap melangkah. Dunia pernaskahan adalah dunia yang sabar—ia memberi ruang bagi siapa saja yang mau belajar dan mencintai teks. Dan bagi saya, inilah awal perjalanan yang tak akan pernah saya lupakan.