Oleh: Muhammad Zakwan Rizaldi
(Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia Universitas Andalas)
Kesetaraan gender merupakan sebuah isu yang banyak dibahas saat ini di media sosial. Di zaman sekarang, wanita dan pria memiliki hak yang sama dalam berbagai hal, seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk bekerja, dan lain sebagainya. Kesetaraan gender ini tidak luput dari perjuangan para pahlawan wanita pada zaman dulu yang memperjuangkan hak wanita hingga mengorbankan harta, benda hingga nyawa mereka. Meskipun begitu, kesetaraan gender ini menimbulkan sebuah masalah baru. Permasalahan ini merupakan sebuah hal yang menarik jika dibahas dalam sastra. Banyak para sastrawan yang membahas masalah kesetaraan gender, salah satunya Wisran Hadi dalam salah satu naskah dramanya yang dipentaskan oleh mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.
Pada hari Jumat, 4 Juli 2025, Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKMF) Teater Langkah mengadakan Festival Nasional Wisran Hadi (FNWH) II yang diadakan di Medan Nan Balinduang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas. Acara ini berlangsung selama 5 hari, yaitu dari tanggal 4 Juli hingga 8 Juli yang menampilkan naskah drama karys Wisran Hadi. Mayoritas pemeran adalah mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2023. Penampilan mereka sebagai bagian tugas akhir pada mata kuliah Kajian Drama. Ada pula penampil lain dari luar Padang, yaitu dari ISI Padangpanjang yang juga turut memeriahkan acara.
Dalam FNWH II ini, terdapat 10 kelompok penampilan yang masing-masing kelompok berusaha memberikan penampilan terbaik agar bisa meraih juara. Salah satu naskah drama Wisran Hadi yang ditampilkan dalam acara ini yaitu naskah drama Nurani yang ditampilkan pada penampilan kedua di hari pertama acara berlangsung. Dalam FNWH II ini, naskah drama Nurani disutradarai oleh Berlin Istiqomah yang sekaligus berperan sebagai Ibu Kepala, Rara Aulia sebagai Nurani, Johana Dira Putri sebagai Bu Haji dan Dinda Nirmala Sari sebagai bu Dosen sekaligus sebagai penanggung jawab panggung untuk penampilan drama Nurani. Semua aktor dalam naskah drama ini merupakan mahasiswa Sastra Indonesia.
Penampilan ini dibuka dengan tokoh Nurani yang berpakaian serba putih. Dia diamanahkan oleh suaminya untuk membersihkan sebuah kursi yang berada di tengah-tengah panggung. Seiring berjalannya waktu, masuklah tiga tokoh ke panggung, yaitu bu Kepala, bu Haji, dan bu Dosen. Ketiga tokoh ini memilki watak yang sombong dan selalu membangga-banggakan status sosial suami mereka dan berperilaku seolah-olah mereka yang mendapatkan status sosial tersebut, contohnya bu Dosen yang berpakaian dan berperilaku seperti dosen, padahal yang menjadi dosennya adalah suaminya. Ketiga tokoh ini mengganggap bahwa derajat mereka lebih tinggi dari tokoh Nurani yang suaminya bukan siapa-siapa dan bersikeras untuk duduk di kursi tersebut. Nurani berusaha untuk memperingati mereka bahwa kursi tersebut hanya boleh diduduki oleh laki-laki, namun Bu Kepala, Bu Dosen, dan Bu Haji tetap bersikeras dan mengusir Nurani dari kursi itu, bahkan mereka mengikat kaki, tangan dan mulutnya yang mengakibatkan Nurani tidak berdaya dan meninggal Dunia.
Hal menarik yang terdapat dari penampilan Nurani adalah emansipasi wanita yang dibangga-banggakan oleh Bu Kepala, Bu Haji, dan Bu Nurani direpresentasikan. Menurut Mustikawati (2015), emansipasi adalah pembebasan hak perempuan dari suatu kekuasaan tertentu seperti kekuasaan suatu adat, budaya, dan lain-lain yang sekiranya membatasi hak-hak perempuan. Kemunculan emansipasi wanita di Indonesia menurut Amar (2007) pada mulanya dicetuskan oleh Raden Ajeng Kartini yang sekaligus tokoh pahlawan perempuan paling terkenal di Indonesia yang memperjuangkan hak asasi wanita. R.A. Kartini berusaha membebaskan hak perempuan dari budaya Jawa yang saat itu terlalu mengekang wanita.
Hasil perjuangan R.A. Kartini untuk emansipasi wanita dapat dilihat sekarang, banyak wanita yang menempuh pendidikan yang tinggi hingga menjadi profesor. Padahal, dulu wanita bisa sekolah saja sulit. Selain itu, banyak pula wanita yang mendapatkan jabatan yang tinggi hingga menjadi presiden, contohnya presiden kelima Republik Indonesia yaitu Megawati Soekarno Putri yang merupakan wanita pertama di Indonesia yang menjadi presiden. Meskipun emansipasi wanita mencapai masa kejayaannya, banyak wanita menyalahartikan emansipasi sehingga merasa status sosialnya setara dan lebih tinggi dari seseorang dan merendahkan orang yang dianggap memiliki status sosial yang lebih rendah. Hal inilah yang berusaha ditampilkan oleh Wisran Hadi dalam drama Nurani.
Tokoh Bu Kepala menganggap status sosialnya sama dengan Pak Kepala hanya karena dia adalah istrinya. Bahkan dalam beberapa dialog, Bu Kepala menganggap dirinya memiliki status yang lebih tinggi dari suami. Hal ini bisa dilihat dari adegan menelpon suaminya. Bu Kepala berperilaku seolah-olah suaminya yang bekerja dengan dia, bahkan ketika suaminya tidak lagi bisa memberikan uang untuk arisannya, Bu Kepala malah memaki-maki suaminya. Tingkah laku Bu Kepala kepada Nurani juga menggambarkan bagaimana emansipasi wanita sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai. Bu Kepala menganggap rendah Nurani karena suaminya bukan siapa-siapa. Hal ini sangat berlawanan karena sepanjang pertunjukan drama berlangsung, Bu Kepala beserta Bu Dosen, dan Bu Haji selalu berkoar-koar untuk memperjuangkan emansipasi wanita. Namun, apa yang mereka lakukan kepada Nurani sangat bertolak belakang dengan definisi emansipasi wanita.
Distorsi emansipasi wanita juga tergambar dalam tokoh Nurani yang membersihkan dan menjaga sebuah kursi. Kursi tersebut secara simbolik dimaknai sebagai suatu batasan bagi perempuan yang tidak boleh dilanggar. Nurani yang berusaha untuk menjaga dan mempertahankan kursi dari Bu Kepala, Bu Haji, dan Bu Dosen yang dimaknai sebagai hati nurani ketiga tokoh sombong itu. Nurani berusaha untuk memperingati mereka mengenai kosekuensi dari kesombongan. Pada akhirnya, hati nurani mereka kalah terhadap ego yang tergambar dalam karakter Nurani yang mati dalam keadaan terikat akibat perbuatan Bu Kepala, Bu Haji dan Bu Dosen. Di akhir pertunjukan, mereka bertiga sadar bahwa mereka sudah “membunuh” Nurani. Namun, semua itu sudah terlambat. Drama ini menggambarkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh mereka sudah melampaui batas-batas hak wanita dan bertentangan dengan emansipasi wanita yang mereka perjuangkan.
Naskah drama Nurani mengandung pesan moral yang mendalam bahwa wanita harus mengetahui batas-batasnya meskipun emansipasi wanita sudah diwujudkan. Jangan sampai karena kesommbongan dan ego dalam diri mereka mengakibatkan wanita melanggar batas-batas dirinya sebagai wanita hingga “membunuh” dan “mengorbankan” hati nurani sendiri.