
Padang, Scientia.id – Kasus viral penjaga sekolah di Padang Pariaman yang menggembok ruang kelas karena gagal lolos seleksi PPPK memantik perhatian publik. Anggota DPRD Sumbar dari Fraksi PKB, Firdaus, menyebut peristiwa itu bukan sekadar luapan emosi individu, melainkan simbol dari persoalan sosial yang lebih dalam.
“Ini bukan cuma soal gembok kelas, tapi tentang nasib orang-orang yang selama bertahun-tahun menjaga sekolah namun tak pernah merasa dijaga negara,” ujar Firdaus kepada Scientia.id, Kamis (31/7).
Firdaus menilai, sistem seleksi PPPK selama ini terlalu berfokus pada tenaga pendidik, sementara tenaga honorer non-guru seperti penjaga sekolah, operator, dan petugas kebersihan, kerap dipinggirkan. Mereka harus bekerja dengan upah minim, tanpa jaminan sosial, dan tanpa kepastian masa depan.
“Honorer non-guru itu ada, nyata, dan punya jasa. Tapi dalam sistem kita, mereka seperti tidak pernah diakui. Tidak ada formasi, tidak ada perlindungan, bahkan untuk melanjutkan hidup pun mereka harus berjuang sendiri,” tegasnya.
Ia mendorong pemerintah agar ke depan sistem PPPK lebih inklusif, memberi ruang khusus bagi tenaga teknis yang sudah lama mengabdi demi keberlangsungan dunia pendidikan.
“Bayangkan, mereka sudah puluhan tahun mengabdi, tapi akhirnya dikalahkan oleh sistem yang tak mengenal loyalitas. Negara tak bisa terus diam. Ini alarm bagi kita semua,” tambah Firdaus.
Lebih jauh, Firdaus mengingatkan bahwa ketidakjelasan status tenaga honorer bukan hanya masalah individu, tetapi juga berdampak pada ekosistem sekolah dan kualitas pendidikan nasional.
Baca Juga: Gagalnya Perlindungan Anak, Firdaus: Tragedi di Lima Puluh Kota Jadi Cermin Buram Pengawasan Sosial
“Ketika ketidakadilan sosial tidak ditegakkan di lingkungan sekolah, jangan kaget jika suatu hari sekolah menjadi tempat meledaknya kemarahan diam. Ini sudah terjadi, dan bisa terjadi lagi,” pungkasnya. (Tmi)