Oleh: Aldi Ferdiansyah
(Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Karya sastra adalah hasil proses kreatif yang ditulis oleh seorang pengarang menggunakan bentuk kata indah sehingga dapat menyentuh hati pembaca. Melalui rangkaian kata-kata yang indah dan penuh makna, sastra tidak sekadar menjadi media untuk bercerita, tetapi juga menjadi sarana untuk menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan, kritik sosial, dan renungan batin. Dengan kemampuannya menggugah emosi pembaca, karya sastra sering kali mampu menjembatani pemikiran sang pengarang dengan realitas yang lebih luas. Salah satu bentuk sastra yang paling ekspresif adalah puisi. Dalam bentuk yang padat dan simbolik, puisi menjadi ruang bebas bagi penyair untuk bermain dengan gaya bahasa dan menyampaikan pesan secara estetis.
Puisi terkadang menyuarakan rasa simpati kita terhadap kejadian atau fenomena yang ada di kehidupan nyata. Melalui kekuatan bahasa, seorang penyair dapat menggugah kesadaran pembaca akan situasi-situasi yang mungkin luput dari perhatian. Tak jarang, puisi menjadi medium perlawanan sunyi terhadap ketidakadilan, penindasan, atau tragedi kemanusiaan. Dalam karya sastra, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga memiliki nilai keindahan atau estetika. Hal ini karena bahasa digunakan sebagai media untuk mengekspresikan perasaan dan gagasan pengarang. Penulis bebas menciptakan unsur keindahan, baik dari segi bentuk seperti pilihan kata, irama bunyi, susunan larik dan bait yang dapat dirasakan melalui pancaindra, maupun dari segi makna yang mampu menimbulkan beragam kesan atau gambaran saat dibaca atau didengarkan (Riyan Munajat, dkk, 2022: 22-38).
Penggunaan gaya bahasa dapat memperindah bentuk dan mempertajam pesan yang terdapat pada suatu karya. Sehingga, karya tersebut lebih bersifat interpretatif, kemudian pembaca dapat merasakan emosi dan menerima kesan tertentu dalam pengalaman membacanya. Seperti yang di ungkapkan oleh Nurgiantoro (2017:215) bahwa majas merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan atau makna yang tersirat. Berdasarkan sejumlah pendapat yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah keterampilan penulis dalam mengungkapkan gagasan secara tidak langsung atau melalui makna konotatif.
Jika dibaca sekilas, Puisi “Tamimi” dalam Kumpulan puisi “Mereka Terus Bergegas” karya Bode Riswandi lahir dari keprihatinan mendalam terhadap tragedi kemanusiaan yang menimpa rakyat Palestina, khususnya anak-anak yang menjadi korban konflik berkepanjangan dengan Israel. Puisi ini merupakan bentuk simpati dan solidaritas kemanusiaan terhadap situasi yang memilukan. Anak-anak disana yang seharusnya menikmati masa kecil di taman bermain justru harus hidup dalam bayang-bayang kekerasan, kehancuran, dan kehilangan. Bode Riswandi, melalui puisi ini, menyuarakan jeritan hati mereka yang tak terdengar; mereka yang terampas hak dasarnya untuk hidup damai dan bermain bebas. Melalui pilihan kata yang penuh luka dan metafora yang kuat, puisi tersebut menjadi refleksi emosional sekaligus pengingat bahwa masih banyak anak-anak di luar sana yang tidak mengenal makna damai, apalagi bermain di taman dengan tawa yang merdeka.
Analisis Gaya Bahasa dalam Puisi Tamimi Karya Bode Riswandi
TAMIMI
Tak ada masa kanak-kanak di sini
Ruang main tersimpan rapi di perut bumi
Mimpi-mimpi kian asing dari sejumlah tidur
Yang kami sendiri lupa bagaimana mengingatnya
Tak ada selembar sapu tangan di sini
Air mata kami telah jadi logam dan baja
Bagi mereka yang fasih menarik pelatuk senjata
Jangan ajari bagaimana membela diri
Sejak dalam Rahim ibu,
Kami makin terbiasa mendengar
Dentuman rudal dan bunyi tembakan itu
Seperti lagu-lagu rakyat yang biasa
Kami nyanyikan di halaman rumah
Ketika bapak mati di tembak
Di lapangan terbuka, di antara lelaki-lelaki lain
Yang menggenggam batu di tangannya
Tak ada waktu bagi ibu untuk meratapinya
Ia akan terus mengupak perlawanan baru
Karena setiap seorang lelaki gugur
Di medan itu, darahnya akan cepat menyatu
Ke tubuh ibu, lalu lahirlah kami
Dengan tangan yang sedia mengepal
2018
Puisi “Tamimi” ini menggambarkan kesengsaraan yang dialami oleh rakyat di Palestina akibat peperangan di wilayah mereka. Melalui puisi ini, Bode Riswandi ingin menunjukan rasa simpatik nya kepada rakyat terutama para anak kecil yang tidak berdosa. Adapun gaya bahasa yang ditemukan dalam puisi Tamimi, sebagai berikut.
Hiperbola
Tak ada masa kanak-kanak di sini
Ruang bermain tersimpan rapi di perut bumi
“Tak ada selembar sapu tangan di sini”
Hiperbola adalah gaya bahasa yang menyampaikan sesuatu secara berlebihan hingga melampaui kenyataan, sehingga kesannya menjadi tidak logis atau sulit diterima akal sehat. Seperti di larik kutipan (1) menyatakan bahwa tempat bermain anak-anak di Palestina sudah banyak hancur akibat pengeboman yang terjadi di Palestina. Situasi tersebut juga merenggut masa bahagia mereka yang seharusnya bermain dengan keluarga maupun teman. Larik (2) menyatakan bahwa ketidakadaan sapu tangan adalah bentuk keteguhan anak-anak di Palestina. Melebih-lebihkan untuk menegaskan bahwa tak ada waktu untuk menangis, karena kenyataan terlalu keras untuk meratap.
Personifikasi
Mimpi-mimpi kian asing dari sejumlah tidur
Yang kami sendiri lupa bagaimana mengingatnya
Gaya bahasa personifikasi menggambarkan benda-benda tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat seperti manusia. Pada larik (2) “mimpi-mimpi” bisa menjauh atau menjadikan dirinya tidak dikenal lagi oleh anak-anak di Palestina, seperti seseorang yang berubah dan tak lagi akrab. Anak-anak disana selalu dihantui rasa cemas sehingga tidak pernah merasakan tidur lelap ataupun bermimpi.
Metafora
Air mata kami telah jadi logam dan baja
Bagi mereka yang fasih menarik pelatuk senjata
Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal atau objek secara implisit untuk menimbulkan kesan imajinatif yang kuat dalam pikiran, meskipun tanpa menggunakan pernyataan perbandingan secara langsung. Larik (4) memiliki metafora bahwa kesedihan mereka telah membatu, tidak lagi ditunjukkan dengan ratapan, tapi telah berubah menjadi ketegaran dan bahkan amarah yang siap melawan. Logam dan baja simbol kekuatan dan keteguhan yang mereka perlihatkan kepada pihak lawan.
Simile
Jangan ajari bagaimana membela diri
Sejak dalam Rahim ibu,
Kami makin terbiasa mendengar
Dentuman rudal dan bunyi tembakan itu
Seperti lagu-lagu rakyat yang biasa
Kami nyanyikan di halaman rumah”
Pada bait ketiga terdapat majas simile adalah gaya bahasa yang menggambarkan suatu kondisi dengan cara membandingkan satu hal dengan hal lain yang sebenarnya berbeda, namun secara sengaja dianggap serupa. Ciri khas dari majas ini adalah penggunaan kata-kata pembanding seperti: seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana, atau serupa. Pada kutipan (5) memiliki arti mereka seolah tumbuh dengan seolah sudah terbiasa dengan kekacauan yang setiap hari terjadi di Palestina seperti kebiasaan yang mereka lakukan yaitu bernyanyi lagu rakyat. Dengan keadaan tersebut, mereka sudah siap membela diri demi wilayah dan negara dan cinta untuk orang terdekatnya.
Simbolik
Yang menggenggam batu di tangannya
Di medan itu, darahnya akan cepat menyatu
Ke tubuh ibu, lalu lahirlah kami
Dengan tangan yang sedia mengepal
Gaya bahasa simbolik merupakan bentuk ungkapan yang memanfaatkan lambang atau simbol untuk menyampaikan suatu pesan. Pesan tersebut bisa berupa ide, sindiran, hingga ungkapan persuasif seperti rayuan. Simbol-simbol yang digunakan bisa berasal dari hewan, tumbuhan, maupun benda lain, yang berfungsi untuk menyampaikan makna secara lebih halus dan tidak langsung. Pada larik kutipan (6) dan (7) terdapat kata yang berupa simbol, seperti batu, sebagai simbol dari perlawanan rakyat kecil yang bersenjata seadanya melawan senjata api. Darah sebagai simbol pengorbanan. Tangan yang mengepal sebagai simbol kelahiran kembali semangat perjuangan yang terus-menerus. Ini juga bermakna mendalam, yaitu anaka-anak di sana telah lama menyiapkan hatinya untuk kehilangan ayah. Tumbuh dalam kesadaran yang keras: bahwa ayah mungkin tidak akan kembali, bahwa tawa keluarga bisa digantikan dentuman senjata kapan saja. Namun, meski terpaksa, mereka ikhlas. Mereka memahami, sejak dini, bahwa darah yang tertumpah akan menjadi warisan, dan mereka yang akan melanjutkan estafet perlawanan. Mereka dilahirkan bukan hanya untuk hidup, tetapi untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih layak bagi tanah dan bangsanya.
Puisi Tamimi karya Bode Riswandi memiliki unsur estetika yang kuat melalui perpaduan emosi, gaya penulisan, dan pilihan diksi yang penuh makna. Secara emosional, puisi ini menggugah perasaan pembaca lewat gambaran penderitaan, keteguhan, dan semangat perlawanan anak-anak Palestina. Gaya penulisannya lugas, simbolik, dan repetitif, menciptakan suasana yang mampu merasuk hati pembaca. Diksi yang digunakan pun dominan bersifat konotatif dan simbolis, seperti “logam”, “baja”, “batu”, dan “tangan mengepal”, yang memperdalam makna perjuangan dan ketabahan. Selain itu, kekuatan citraan visual dalam puisi ini menghidupkan suasana konflik dan penderitaan secara konkret. Semua unsur tersebut menyatu membentuk ekspresi estetis yang tidak hanya menyampaikan simpati, tetapi juga menghidupkan pesan kemanusiaan dan kekuatan batin secara puitis dan menyentuh.
Dengan demikian, Puisi Tamimi karya Bode Riswandi merupakan bentuk ekspresi puitik yang kuat terhadap penderitaan rakyat Palestina, terutama anak-anak, akibat konflik yang berkepanjangan. Melalui penggunaan gaya bahasa seperti hiperbola, personifikasi, metafora, simile, dan simbolik, puisi ini tidak hanya menyampaikan empati dan solidaritas, tetapi juga membangun kekuatan emosional dan daya renung bagi pembaca. Gaya bahasa yang digunakan mampu menggambarkan suasana, memperkuat pesan, dan menciptakan makna yang mendalam. Hal ini menunjukkan bahwa gaya bahasa dalam puisi tidak hanya berfungsi sebagai hiasan estetis, tetapi juga sebagai alat penyampai kritik sosial, perjuangan, dan harapan akan kemanusiaan yang lebih adil.