Jumat, 17/10/25 | 00:04 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI ARTIKEL

Beban Tidak Kasat Mata Anak Perempuan Pertama

Minggu, 08/6/25 | 08:17 WIB
Ilustrasi: Meta AI

Oleh: Ratu Julia Putri
(Mahasiswa MKWK Bahasa Indonesia 32 & Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Andalas)

 

“Kamu harus mengerti semuanya ya. Kamu kan kakak!”

Kalimat tersebut mungkin terdengar sederhana, bahkan biasa saja. Namun, bagi sebagian anak perempuan pertama, kalimat tersebut merupakan label tidak terlihat yang melekat sepanjang hidup dalam pikiran mereka. Anak perempuan pertama sering berhadapan dengan ekspektasi tinggi yang datang dari lingkungan sosial dan dari orang-orang di sekitarnya.

BACAJUGA

No Content Available

Dalam banyak budaya timur, seperti Indonesia salah satunya, masyarakat menempatkan anak perempuan pertama pada posisi “serba bisa” sehingga diharapkan mampu menjadi panutan bagi adik-adiknya. Tidak hanya itu, mereka diharapkan untuk membantu pekerjaan rumah, memahami perasaan orang tua, bahkan turut memikirkan urusan keluarga sejak usia remaja. Di balik seluruh peran yang mulia tersebut, tersimpan tekanan dan beban emosional yang dapat membatasi ruang gerak mereka untuk mengeksplorasi diri. Mereka harus terus-menerus mengorbankan keinginan pribadi demi memenuhi tuntutan keluarga dan harapan masyarakat. Padahal, di balik “kerapian” dan “kedewasaan” yang ditampilkan, tidak sedikit anak perempuan pertama yang menyimpan tekanan yang berdampak signifikan pada kesehatan mental mereka.

Penelitian Smith (2019) tentang Eldest Daughter Syndrome menunjukkan bahwa anak perempuan pertama cenderung merasa lebih bertanggung jawab dan tertekan dibandingkan dengan anak-anak lainnya dalam keluarga. Mereka belajar untuk tidak merepotkan, terbiasa menahan diri, dan memprioritaskan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan pribadi. Beban emosional ini berlanjut hingga dewasa yang memengaruhi pilihan karier dan hubungan pribadi mereka dengan yang lain. Tidak heran jika banyak dari mereka mengalami stres, kecemasan, bahkan depresi tanpa disadari. Psikolog keluarga juga menyebut kondisi ini sebagai parentification, yaitu ketika anak mengambil alih peran dan tanggung jawab orang tua, baik secara emosional maupun praktis.

Karena konstruksi gender yang melekatkan perempuan pada peran pengasuh dan pengatur sejak kecil, anak perempuan pertama lebih rentan mengalaminya kondisi parentification. Yang lebih kompleks, semua ekspektasi yang diberikan orang sekitarnya seringkali datang tanpa sadar. Anak perempuan pertama dianggap “lebih kuat”. Padahal, sejatinya mereka hanya tidak diberi ruang untuk menunjukkan kelemahannya. Bahkan, ironisnya, ketika mereka tumbuh dewasa, kemampuan dan kelebihan yang mereka miliki, dianggap “standar”, bukan keistimewaan. Karena sejak kecil terbiasa tahu segalanya, orang-orang pun menganggap mereka akan baik[1]baik saja. Bahkan, mereka, anak Perempuan pertama sering lupa bagaimana rasanya ditanya: “Kamu lelah atau tidak?” ”Butuh bantuan atau tidak?”

Sudah saatnya masyarakat mulai mengubah narasi dan pola pikir tentang anak perempuan pertama. Mereka tidak dilahirkan untuk menjadi ibu kedua, guru mini, atau manajer keluarga. Mereka berhak menjadi anak dan mendapatkan perlakuan seperti anak lain, berhak bersalah, berhak kebingungan, serta berhak tidak harus mengetahui segalanya. Penting bagi setiap orang tua untuk menyadari masalah ini dan menyediakan komunikasi terbuka dengan anak perempuan pertama.

Dengan memberi ruang bagi anak Perempuan pertama, orang tua dapat membantu mengurangi tekanan, beban, dan memberikan dukungan paling nyata pada anak perempuan pertama dalam keluarga. Masyarakat juga harus mulai berpikir untuk mewujudkan lingkungan yang mendukung, bagi setiap anak perempuan pertama agar mereka merasa dihargai dan diperhatikan. Hal itu merupakan langkah penting untuk membantuk mereka tumbuh menjadi individu yang tidak hanya kuat, tetapi juga bahagia lahir dan batin serta tidak memiliki tekanan secara emosional dan sosial.

Tags: #Ratu Julia Putri
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Puisi-puisi Elfa Edriwati

Berita Sesudah

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara dan Ulasannya oleh Azwar

Berita Terkait

Jejak Peranakan Tionghoa dalam Sastra Indonesia

Jejak Peranakan Tionghoa dalam Sastra Indonesia

Minggu, 12/10/25 | 12:34 WIB

Oleh: Hasbi Witir (Mahasiswa Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas) Banyak dari kita mungkin beranggapan bahwa sejarah sastra Indonesia modern dimulai...

Makna Dibalik Puisi “Harapan” Karya Sapardi Tinjauan Semiotika

Makna Dibalik Puisi “Harapan” Karya Sapardi Tinjauan Semiotika

Minggu, 12/10/25 | 11:30 WIB

Oleh: Muhammad Zakwan Rizaldi (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas dan Anggota UKMF Labor Penulisan Kreatif)          ...

Puisi-puisi Ronaldi Noor dan Ulasannya oleh Ragdi F. Daye

Puisi Luka Gaza dalam “Gaza Tak Pernah Sunyi” Karya Hardi

Minggu, 05/10/25 | 23:48 WIB

Oleh: Ragdy F. Daye (Penulis dan  Sastrawan Sumatera Barat)   Kota ini bukan kota lagi. Ia museum luka yang terus...

Menyibak Sejarah melalui Manuskrip Surau Baru Pauh

Menyibak Sejarah melalui Manuskrip Surau Baru Pauh

Minggu, 05/10/25 | 23:29 WIB

Oleh: Febby Gusmelyyana (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)   Pada Jumat, 29 Agustus 2025, pukul 13.30...

Pandangan Khalil Gibran tentang Musik sebagai Bahasa Rohani

Konflik pada Cerpen “Pak Menteri Mau Datang” Karya A.A. Navis

Minggu, 05/10/25 | 23:11 WIB

Oleh: Faathir Tora Ugraha (Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia Universitas Andalas)   Ali Akbar Navis atau lebih dikenal A.A. Navis adalah...

Sastra Bandingan: Kerinduan yang Tak Bertepi di Antara Dua Puisi

Sastra Anak, Pondasi Psikologis Perkembangan Kognitif Anak

Minggu, 28/9/25 | 15:19 WIB

Oleh: Dara Suci Rezki Efendi (Mahasiswi Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas)   Setiap karya sastra pasti memiliki pembacanya masing-masing,...

Berita Sesudah
Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara dan Ulasannya oleh Azwar

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara dan Ulasannya oleh Azwar

POPULER

  • Afrina Hanum

    Sumbang 12 untuk Puti Bungsu Minangkabau

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Seminar Ekonomi UNP Dorong Mahasiswa Jadi Penggerak Ekonomi Berkelanjutan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Kata “bapak” dan “ibu” Harus Ditulis dalam Huruf Kapital ?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Se Indonesia, seIndonesia, atau se-Indonesia?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Job Fair 2025 UNP Hadirkan Puluhan Perusahaan Ternama, Buka Peluang Karier bagi Lulusan Muda

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanda Titik pada Singkatan Nama Perusahaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pemkab Solok Hentikan Sementara Kegiatan Wisata Glamping Lakeside Alahan Panjang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024