
Oleh: Ratu Julia Putri
(Mahasiswa MKWK Bahasa Indonesia 32 & Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Andalas)
“Kamu harus mengerti semuanya ya. Kamu kan kakak!”
Kalimat tersebut mungkin terdengar sederhana, bahkan biasa saja. Namun, bagi sebagian anak perempuan pertama, kalimat tersebut merupakan label tidak terlihat yang melekat sepanjang hidup dalam pikiran mereka. Anak perempuan pertama sering berhadapan dengan ekspektasi tinggi yang datang dari lingkungan sosial dan dari orang-orang di sekitarnya.
Dalam banyak budaya timur, seperti Indonesia salah satunya, masyarakat menempatkan anak perempuan pertama pada posisi “serba bisa” sehingga diharapkan mampu menjadi panutan bagi adik-adiknya. Tidak hanya itu, mereka diharapkan untuk membantu pekerjaan rumah, memahami perasaan orang tua, bahkan turut memikirkan urusan keluarga sejak usia remaja. Di balik seluruh peran yang mulia tersebut, tersimpan tekanan dan beban emosional yang dapat membatasi ruang gerak mereka untuk mengeksplorasi diri. Mereka harus terus-menerus mengorbankan keinginan pribadi demi memenuhi tuntutan keluarga dan harapan masyarakat. Padahal, di balik “kerapian” dan “kedewasaan” yang ditampilkan, tidak sedikit anak perempuan pertama yang menyimpan tekanan yang berdampak signifikan pada kesehatan mental mereka.
Penelitian Smith (2019) tentang Eldest Daughter Syndrome menunjukkan bahwa anak perempuan pertama cenderung merasa lebih bertanggung jawab dan tertekan dibandingkan dengan anak-anak lainnya dalam keluarga. Mereka belajar untuk tidak merepotkan, terbiasa menahan diri, dan memprioritaskan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan pribadi. Beban emosional ini berlanjut hingga dewasa yang memengaruhi pilihan karier dan hubungan pribadi mereka dengan yang lain. Tidak heran jika banyak dari mereka mengalami stres, kecemasan, bahkan depresi tanpa disadari. Psikolog keluarga juga menyebut kondisi ini sebagai parentification, yaitu ketika anak mengambil alih peran dan tanggung jawab orang tua, baik secara emosional maupun praktis.
Karena konstruksi gender yang melekatkan perempuan pada peran pengasuh dan pengatur sejak kecil, anak perempuan pertama lebih rentan mengalaminya kondisi parentification. Yang lebih kompleks, semua ekspektasi yang diberikan orang sekitarnya seringkali datang tanpa sadar. Anak perempuan pertama dianggap “lebih kuat”. Padahal, sejatinya mereka hanya tidak diberi ruang untuk menunjukkan kelemahannya. Bahkan, ironisnya, ketika mereka tumbuh dewasa, kemampuan dan kelebihan yang mereka miliki, dianggap “standar”, bukan keistimewaan. Karena sejak kecil terbiasa tahu segalanya, orang-orang pun menganggap mereka akan baik[1]baik saja. Bahkan, mereka, anak Perempuan pertama sering lupa bagaimana rasanya ditanya: “Kamu lelah atau tidak?” ”Butuh bantuan atau tidak?”
Sudah saatnya masyarakat mulai mengubah narasi dan pola pikir tentang anak perempuan pertama. Mereka tidak dilahirkan untuk menjadi ibu kedua, guru mini, atau manajer keluarga. Mereka berhak menjadi anak dan mendapatkan perlakuan seperti anak lain, berhak bersalah, berhak kebingungan, serta berhak tidak harus mengetahui segalanya. Penting bagi setiap orang tua untuk menyadari masalah ini dan menyediakan komunikasi terbuka dengan anak perempuan pertama.
Dengan memberi ruang bagi anak Perempuan pertama, orang tua dapat membantu mengurangi tekanan, beban, dan memberikan dukungan paling nyata pada anak perempuan pertama dalam keluarga. Masyarakat juga harus mulai berpikir untuk mewujudkan lingkungan yang mendukung, bagi setiap anak perempuan pertama agar mereka merasa dihargai dan diperhatikan. Hal itu merupakan langkah penting untuk membantuk mereka tumbuh menjadi individu yang tidak hanya kuat, tetapi juga bahagia lahir dan batin serta tidak memiliki tekanan secara emosional dan sosial.