Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Lupa adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Dalam keseharian, kita sering kali dibuat repot oleh hal-hal kecil yang terlewatkan begitu saja dari ingatan. Terlebih saat tergesa-gesa hendak bepergian, ada saja barang-barang penting yang tertinggal, entah kunci, dompet, atau bahkan ponsel. Padahal, benda-benda kecil seperti itu bisa sangat menentukan lancar atau tidaknya aktivitas selanjutnya.
Namun begitulah lupa, ia datang tanpa aba-aba. Lupa bukan hanya soal barang, tapi juga janji, tugas, bahkan nama orang yang baru kita temui beberapa menit lalu. Kita tahu pentingnya mengingat, tapi nyatanya lupa juga. Maka tak heran kita membuat catatan, alarm, hingga daftar periksa demi menaklukkan pelupa dalam diri sendiri.
Lupa juga punya sisi yang lebih dalam. Ia bisa menjadi tanda betapa padatnya pikiran, betapa banyaknya hal yang berdesakan di kepala. Di era yang serba cepat ini, otak kita seperti tak punya waktu untuk beristirahat. Informasi datang dari segala arah: notifikasi ponsel, pekerjaan menumpuk, kabar berita yang tiada henti, hingga masalah pribadi yang saling berkejaran.
Lupa terkadang mengajarkan kita untuk selalu teliti dan berhati-hati. Ia memaksa kita untuk membuat kebiasaan baru: menyiapkan segala sesuatu dengan cermat dan teliti. Dari sekian banyak strategi yang kita susun, sebenarnya kita sedang belajar memahami diri sendiri. Kita mulai mengenali pola-pola lupa: lupa meletakan kunci kendaraan, lupa janji, hingga lupa tanggal hari-hari penting.
Lupa memberi ruang untuk saling memaafkan. Ketika orang lain lupa menepati janji atau lupa mengembalikan barang yang kita pinjamkan, kita diingatkan bahwa kesempurnaan bukanlah sifat manusia. Kita tidak langsung marah, karena kita pun pernah berada di posisi yang sama. Lupa, meskipun kadang menyebalkan, nyatanya bisa melunakkan sikap dan memperhalus hati.
Akhirnya, yang harus kita pahami bahwa lupa merupakan bagian alami dalam kehidupan. Mungkin, lupa adalah cara semesta mengajak kita untuk melambat sejenak, untuk tidak selalu tergesa, tidak terlalu serius, dan tidak terlalu yakin bahwa segalanya bisa kita kendalikan. Lupa mengajarkan bahwa bahkan dalam ingatan pun, ada ruang yang perlu dimaafkan. Di balik setiap kelupaan, selalu ada cerita kadang juga tawa yang datang terlambat.