Oleh: Muhammad Syaifuddin Aziz
(Mahasiswa Prodi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya)
Kekuasaan merupakan konsep sentral dalam sosiologi politik yang menggambarkan kemampuan individu atau kelompok untuk memengaruhi, mengatur, bahkan mengendalikan tindakan pihak lain dalam suatu masyarakat. Dalam konteks Indonesia, kekuasaan tidak hanya dilihat dari sisi formal seperti jabatan politik atau struktur pemerintahan, tetapi juga dari cara kekuasaan tersebut dijalankan dan dilembagakan melalui budaya politik yang berkembang.
Budaya politik merupakan cerminan nilai, norma, dan perilaku politik masyarakat dalam merespons serta menjalani proses pemerintahan. Dalam sistem demokrasi ideal, kekuasaan seharusnya bersumber dari rakyat dan dijalankan secara partisipatif. Namun, realitasnya di Indonesia, kekuasaan kerap dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki sumber daya ekonomi dan sosial untuk mempertahankannya. Budaya politik elite inilah yang kemudian mendistorsi makna demokrasi karena praktik kekuasaan tidak lagi berpihak pada kepentingan publik secara luas, melainkan lebih condong pada pelestarian kepentingan kelompok-kelompok elite itu sendiri.
Menurut Mills (2018), kelompok elite terdiri atas individu dari bidang politik, militer, dan ekonomi yang memiliki keterkaitan erat dan mendominasi proses pengambilan keputusan penting dalam masyarakat. Pandangan ini masih relevan dalam melihat praktik kekuasaan di Indonesia hari ini, di mana keterhubungan antara politisi, pengusaha, dan tokoh militer sering kali membentuk jaringan oligarkis yang mengendalikan arah kebijakan negara. Ini memperlihatkan bahwa sistem politik Indonesia meski demokratis secara prosedural, secara substansi masih mengalami defisit demokrasi.
Budaya Politik Elite: Konsep dan Karakteristik
Budaya politik elite merujuk pada pola perilaku dan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok penguasa dalam menjalankan kekuasaan. Menurut teori elite yang dikemukakan oleh Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto, dalam setiap masyarakat terdapat kelompok minoritas yang memegang kekuasaan dan mayoritas yang dipimpin (Bahar, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan cenderung terpusat pada kelompok tertentu yang memiliki keunggulan dalam hal ekonomi, sosial, atau intelektual.
Di Indonesia, budaya politik elite ditandai dengan praktik patronase, di mana hubungan antara pemimpin dan pengikut didasarkan pada pertukaran kepentingan. Hal ini menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap elite, yang pada akhirnya menghambat partisipasi politik yang sehat. Selain itu, penggunaan simbol dan retorika oleh elite politik sering kali digunakan untuk mempertahankan legitimasi kekuasaan mereka, meskipun substansi kebijakan yang dihasilkan tidak selalu berpihak pada kepentingan publik (Yenrizal, 2003).
Studi Kasus: Pilkada Kota Medan dan Oligarki Politik
Fenomena dominasi elite politik dalam proses pemilu dapat dilihat dari studi kasus Pilkada Kota Medan tahun 2020. Dalam pemilihan tersebut, pasangan Bobby Nasution menantu Presiden Joko Widodo mencalonkan diri sebagai wali kota. Meskipun proses pencalonan berlangsung sesuai prosedur hukum, namun dinamika politik di baliknya menunjukkan bahwa faktor kekerabatan dengan tokoh nasional berpengaruh signifikan dalam menarik dukungan partai-partai besar dan elite lokal.
Penelitian yang dilakukan oleh Ananda Adhianugrah dan Djumadin (2023) menyatakan bahwa fenomena oligarki juga menjadi perhatian dalam studi tentang Pilkada Kota Medan 2020, di mana elite partai politik memainkan peran penting dalam proses seleksi dan pengusungan pasangan calon, menggambarkan interaksi kompleks antara kekuatan politik partai dan dinamika oligarki local. Praktik ini sejalan dengan argumen Naharuddin et al. (2024) bahwa di negara demokrasi, elite ekonomi, dan politik tetap dapat mempertahankan kontrol kekuasaan melalui jaringan patronase, keluarga, dan institusi. Dengan demikian, kendati prosedur demokrasi berjalan, hasil akhirnya tetap mereproduksi dominasi kelompok elite, bukan membuka ruang partisipasi politik yang lebih luas bagi rakyat.
Dampak Budaya Politik Elite terhadap Demokrasi
Budaya politik yang dikuasai oleh elite memiliki dampak signifikan terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Kekuasaan yang terpusat pada sekelompok kecil elite dapat menimbulkan kebencian sosial budaya terselubung di masyarakat, karena merasa terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan politik (Budimansyah, 2016).
Selain itu, praktik politik identitas yang digunakan oleh elite untuk mempertahankan kekuasaan dapat mengganggu ketahanan nasional dan kualitas demokrasi. Politik identitas yang mengedepankan golongan atau simbol tertentu guna mendapatkan pengaruh politik dapat menghambat transformasi masyarakat menuju masyarakat yang demokratis (I Putu Sastra Wingarta et al., 2021).
Upaya Membangun Budaya Politik Partisipatif
Untuk mengatasi dominasi budaya politik elite, diperlukan upaya untuk membangun budaya politik yang lebih partisipatif dan demokratis. Komunikasi politik yang demokratis, dengan pendekatan bottom-up dan prinsip “Saya Oke, Kamu Oke”, dapat menjadi solusi untuk mengubah kecenderungan budaya politik yang menonjolkan simbol-simbol ketimbang substansi (Yenrizal, 2003).
Pendidikan politik yang kritis dan penguatan masyarakat sipil juga penting untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses politik. Dengan demikian, kekuasaan tidak lagi menjadi alat kepentingan segelintir orang, tetapi benar-benar digunakan untuk kesejahteraan bersama.
Realitas kekuasaan dalam budaya politik elite di Indonesia menunjukkan bahwa demokrasi formal tidak selalu menjamin demokrasi substantif. Kekuasaan yang dijalankan secara eksklusif dan manipulatif oleh kelompok elite menghambat partisipasi politik masyarakat dan merusak kualitas demokrasi. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk membangun budaya politik yang lebih partisipatif dan egaliter melalui pendidikan politik, penguatan masyarakat sipil, dan reformasi institusi politik.
Referensi
Ananda Adhianugrah, M., Djumadin, Z. and kunci Politik, K. (2023) ‘NeoRespublica : Jurnal Ilmu Pemerintahan Dinamika Oligarki dalam Pilkada Kota Medan 2020: Analisis Pengaruh Elit Politik’, 5(1), pp. 380–391.
Bahar, S. (2001) ‘Komunikasi Politik Dalam Proses Integrasi Bangsa : Sebuah Tinjauan Dari Teori Elite’. Available at: https://doi.org/https://doi.org/10.22146/jkn.22057.
Budimansyah, D. (2016) ‘Kekuasaan Yang Terpusat Pada Sekelompok Kecil Elit Dan Munculnya Kebencian Sosial Budaya Terselubung Pada Masyarakat Indonesia Pasca Reformasi’, Jurnal Moral Kemasyarakatan, 1(1), pp. 1–14. Available at: http://ejournal.unikama.ac.id/index.php/JMK/article/view/1183.
I Putu Sastra Wingarta et al. (2021) ‘Pengaruh Politik Identitas terhadap Demokrasi di Indonesia’, Jurnal Lemhannas RI, 9(4), pp. 117–124. Available at: https://doi.org/10.55960/jlri.v9i4.419.
Mills, C.W. (2018) The Power Elite; in Inequality in the 21st Century. Available at: https://doi.org/https://doi.org/10.4324/9780429499821-16.
Naharuddin, A. et al. (2024) ‘Analisis Relasi Kekuasaan Elit Dalam Konteks Pemilihan Umum Di Indonesia’, Jurnal Cahaya Mandalika ISSN 2721-4796 (online), pp. 1499–1508. Available at: https://www.ojs.cahayamandalika.com/index.php/jcm/article/view/2887.
Yenrizal (2003) ‘Budaya “Politik Kulit” dan Komunikasi Politik Demokratis di Indonesia’, Mediator, 4.