Lastry Monika
Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand/Kolumnis Rubrik Renyah
Dalam tiga minggu terakhir, saya selalu mengangkat tema seputar sastra lisan dalam rubrik Renyah ini. Dari kisah-kisah yang dituturkan oleh nenek, cerita-cerita magis yang mengalir dari lisan ibu, hingga dongeng yang melekat kuat dalam ingatan masa kecil, saya menemukan bahwa sastra lisan bukan sekadar warisan cerita, melainkan cermin nilai-nilai budaya yang tumbuh bersama kehidupan kita sehari-hari.
Pada edisi kali ini, saya kembali mengulas tema yang serupa, masih tentang sastra lisan sebagai lanjutan dari tulisan sebelumnya yang menggambarkan kehadiran sosok Inyiak Bayeh, Urang Bunian, dan Rawang Selendang dalam pengalaman masa kecil saya. Saya ingin mengajak pembaca untuk kembali menyusuri jejak-jejak narasi tutur yang, meski sederhana, menyimpan kekuatan luar biasa dalam membentuk cara kita berpikir dan berperilaku.
Kini, setelah dewasa cerita tentang Inyiak Bayeh, Urang Bunian, dan Rawang Selendang seringkali muncul dalam benak saya, terutama ketika malam mulai larut dan kesunyian mengendap perlahan. Di tengah gempuran teknologi dan budaya populer yang serba instan, saya merasa cerita-cerita lisan masa kecil itu adalah fondasi yang menjaga saya tetap berakar. Mereka mengajari saya untuk takut, bukan pada hantu atau makhluk gaib semata, tetapi takut untuk melukai hati orang tua, takut untuk bersikap tak tahu diri, dan takut untuk melupakan asal-usul.
Saya teringat suatu malam, saat listrik padam di kampung dan kami hanya diterangi pelita. Nenek kembali bercerita, kali ini tentang “Hantu Penunggu Air” yang konon muncul di batang sungai kalau kita mandi terlalu larut. Saya yang waktu itu sudah duduk di kelas enam SD mulai merasa cerita itu tidak masuk akal.
Tapi entah kenapa, saya tetap tak berani mandi di sungai setelah magrib. Mungkin bukan karena takut hantunya, tapi takut mengecewakan nenek yang selalu berkata, “Air itu bukan sekadar tempat basuh tubuh, tapi juga tempat orang dulu berdoa dan bersuci.” Lagi-lagi, ada nilai moral yang tersembunyi, dibungkus dengan kisah gaib yang menyeramkan tapi penuh makna.
Saya sering bertanya-tanya, apakah anak-anak sekarang masih tumbuh dengan cerita-cerita semacam itu? Atau jangan-jangan cerita-cerita ini perlahan mati, tenggelam dalam derasnya arus globalisasi dan layar ponsel yang menyala tanpa jeda? Jika iya, maka kita sedang kehilangan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar dongeng—kita kehilangan cara mendidik dengan kelembutan, dengan simbol, dengan keteladanan yang dibungkus imajinasi. Kita kehilangan cara orang tua menanamkan nilai hidup tanpa menyuruh atau menggurui.
Hari ini, ketika saya duduk bersama keponakan-keponakan saya yang lebih akrab dengan YouTube daripada cerita nenek, saya mencoba mengisahkan ulang tentang Inyiak Bayeh. Mereka tertawa, menganggapnya lucu, aneh, dan tidak masuk akal. Tapi saya terus bercerita. Karena saya percaya, pada suatu masa nanti, mereka akan mengingat cerita itu bukan karena menyeramkan, tapi karena disampaikan dengan cinta. Cinta seorang nenek pada cucunya. Cinta seorang ibu pada anaknya. Dan cinta saya pada kampung halaman yang pelan-pelan hanya hidup di kenangan.
Cerita-cerita lisan itu mungkin tak pernah tercetak di buku pelajaran atau ditulis di papan sekolah. Tapi ia hidup dari generasi ke generasi. Dan selama masih ada satu orang saja yang bersedia mendengar dan menceritakan ulang, saya yakin Inyiak Bayeh tak akan pernah benar-benar lenyap dari ingatan kita.