Oleh: Rosidatul Arifah
(Mahasiswi Sastra Indonesia dan Anggota Labor Penulisan Kreatif LPK FIB Universitas Andalas)
Tiap-tiap manusia memiliki beragam ketakutan. Penyebab munculnya ketakutan pun dapat berasal dari berbagai hal. Salah satunya ialah kehadiran makhluk ghaib atau hal-hal bersifat supranatural yang tidak dapat berterima oleh akal sehat. Kehadiran ketakutan dapat menjadi suatu nilai yang menjual dalam suatu karya, termasuk karya sastra. Dalam usaha menghadirkan kehidupan supranatural pada sebuah karya sastra, perlu dihadirkan elemen-elemen yang membantu menciptakan suasana. Salah satunya ialah kehadiran elemen suspense.
Suspense ialah sebuah ketegangan yang hadir dalam situasi atau cerita yang belum sepenuhnya terungkap. Suspense ini memberikan efek cemas, ketegangan, rasa was-was dan keadaan yang tidak pasti. Tujuannya ialah menghadirkan rasa kaget dan penasaran sehingga pembaca terikat dan semakin bertanya-tanya tentang kejadian atau peristiwa berikutnya, dan ingin terus-menerus mengikuti perkembangan cerita. Teknik suspense muncul dengan melibatkan elemen ketidakpastian yang menggugah kebingungan dan penundaan informasi yang menciptakan rasa penasaran terus menerus.
Selain berisikan penundaan informasi, suspense juga terkadang mengakhiri cerita atau bab dengan situasi yang menegangkan tanpa menemukan sebuah penyelesaian. Hal ini kemudian menjadi salah satu daya tarik pembaca untuk melanjutkan bacaan serta menimbulkan rasa gelisah karena pembaca tidak memiliki terkaan yang pasti terhadap kelanjutan cerita sehingga harus menunggu dan menebak-nebak kelanjutannya.
Dalam sebuah cerita horor, kehadiran elemen suspense sangat lumrah ditemukan. Kehadiran suspense dalam novel horor kerap kali dinilai sebagai sesuatu yang wajib ada. Salah satunya dapat dilihat dalam novel Lupus: Iiih, Syereeem karya Hilman Hariwijaya yang terbit tahun 1990, sebagai lanjutan dari serial Lupus yang populer di kalangan remaja kala itu. Beberapa contoh kehadiran suspense yang dimuat dalam novel ini ialah sebagai berikut.
Pertama, pelataran tempat yang dihadirkan dalam cerita ini berupa sebuah rumah tua dan taman pemakaman. Kedua latar tempat ini sama-sama memiliki keterlibatan dalam membangun suasana penuh misteri dan mencekam, serta penuh tegangan melalui suasana sepi dan penuh teka-teki. Suasana sepi, sedikit udara lembab, dan dingin yang digambarkan di sekitar rumah ini menjadi unsur pendukung dalam menghadirkan suspense pada cerita. Lokasi yang tidak biasa dan berhubungan dengan kematian, diceritakan juga bagaimana arwah gentayangan kerapkali menjadi tontonan biasa di sekitar rumah tua ini.
Kedua, kehadiran tokoh Drakuli, sebagai salah satu tokoh yang tinggal di pemakaman, diceritakan memiliki sebuah kehidupan yang terbilang absurd. Ia hidup dan dibesarkan di lingkungan pemakaman, serta kerapkali berinteraksi dengan seseorang yang tak kasat mata atau penunggu kubur. Ia juga harus berhadapan dengan profesi ayahnya yang merupakan seorang tukang gali kubur, membuat Drakuli terbiasa dan terlatih dengan kehidupan supranatural.
Ketiga, pengungkapan emosi secara bertahap dan informasi secara perlahan. Pengungkapan emosi yang perlahan ini ditandai dengan ketakutan yang tumbuh dalam diri tokoh utama setelah menonton film horor. Pembaca diajak merasakan ketakutan yang sama dengan emosi yang tidak langsung meledak, melainkan berkembang secara bertahap, mulai dari hadirnya rasa cemas, parno hingga benar-benar merasa ketakutan. Hal ini merupakan perkembangan emosi oleh tokoh dalam cerita dengan mengajak para pembaca merasakan hal yang sama. Hal yang sama juga digambarkan ketika pengungkapan latar lokasi rumah tokoh Drakuli yang berada di tengah kuburan, dan tidak langsung diungkapkan di awal penceritaan. Penggambaran keadaan situasi sekitar rumah Drakuli dinarasikan sedetail mungkin, sehingga pembaca diajak menerka-nerka secara perlahan latar tempat yang sedang diceritakan.
Keempat, elemen dan muatan horor yang mendominasi jalannya cerita memicu lahirnya ketakutan. Ketakutan yang timbul kemudian menyebabkan tegangan-tegangan dalam suasana yang menyeramkan. Hadirnya elemen tegangan ini membuat suspense yang terasa kian dekat antara pembaca dan tokoh yang merasakan tegangan itu sendiri.
Namun, selain itu, ada hal yang menarik dalam novel ini. Tak seperti cerita-cerita horor pada umumnya yang berusaha menjaga kehadiran unsur suspense yang dibalut dengan kengerian, novel ini malah menayangkan hal yang berbanding terbalik. Unsur suspense pada novel ini malah dibalut dengan kelakar dan penuh humor candaan. Sentuhan komedi dalam citraan horor pada novel ini membuat sesuatu baru yang mengundang gelak tawa sekaligus bulu kuduk bergetar.
Setelah menghadirkan suspense berupa tegangan dan ketakutan yang ditimbulkan dalam novel, salah satu hal yang memikat pembaca ialah tegangan yang dibangun dengan sentuhan humor dan jenaka. Novel ini memuat unsur humor yang amat menarik lewat suspense yang dibangun. Penulis tidak hanya meluapkan emosi tokoh utama dengan cara dramatis, melainkan juga dengan sentuhan-sentuhan jenaka dan humor yang dominan, sehingga, kontras antara suspense dengan komedi yang menggelitik perut para pembaca.
Sentuhan komedi dalam cerita horor menjadi netralisir dari kengerian-kengerian dan suspense yang berusaha dibangun dalam cerita ini. Hal ini menjadi suatu suguhan menarik, terutama untuk pembaca yang parnoan dengan cerita horor. Unsur komedi dan jenaka yang dominan juga tidak menyulutkan suspense yang coba dibangun oleh novel ini, namun, membuatnya terasa setingkat lebih ringan jika dibandingkan dengan novel horor pada umumnya.
Secara spesifik, novel ini membangun unsur tegangan-tegangan dengan suspense yang selanjutnya digabungkan dengan elemen humor secara seimbang. Situasi konyol dan jenaka yang terkandung dalam cerita ini menjadi humor yang menarik, terutama dalam mengurangi tekanan dalam situasi yang menegangkan. Beberapa muatan komedi ini diantaranya dapat dilihat pada beberapa poin berikut.
Pertama, dialog yang digunakan oleh seluruh tokoh dalam novel ini dipenuhi humor dan jenaka. Pelesetan dan bahasa gaul remaja yang trending kala itu, ala anak 90-an. Dialog dan seluruh bahasa yang digunakan menjadi ciri khas tersendiri yang dimiliki oleh novel ini. Dengan perantara bahasa gaul dan dialog yang humoris, situasi horor yang mencekam dapat ternetralisir. Contohnya, ketika Lupus yang ketakutan dengan hantu yang berupa sepasang tangan yang melayang-layang di udara tanpa badan, dan ketakutan jika tangan itu datang dan mengetuk-ngetuk pintu kamarnya. Dapat dilihat dari cuplikan berikut.
Duh, jam berapa, ya? Lupus melongok ke jam weker di atas meja belajar. “Ya amplop! Setengah dua!” Dan matanya masih belum bisa terpejam!
Tok tok tok!
“Hah? Huaaaaa!!!! T-tomat, eh, t-toge, eh, t-tong sampah, eh, t-toy soldier, aduh! T-tolooooooong….!” Lupus langsung membenamkan kepalanya di balik bantal.
(Hariwijaya, 1990: 12)
Kedua, beberapa adegan dalam novel ini semestinya dapat terasa lebih menegangkan, namun malah berubah menjadi situasi yang lucu, seperti pada saat tokoh utama Lupus dan adiknya Lulu harus melewati suasana horor di sebuah kompleks pemakaman pada malam hari demi berkunjung ke rumah Drakuli. Suasana berubah menjadi lucu karena respon Lupus yang penakut dengan komentarnya yang mengundang tawa.
Situasi lain yang menggambarkan kekonyolan dalam novel ini ialah keluarga Drakuli yang berpenghasilan tergantung kepada kematian orang lain. Kematian adalah hal yang didambakan bagi keluarga Drakuli. Menurutnya, kematian adalah berkah dan rezki karena bapaknya yang berprofesi sebagai seorang gali kubur. Dapat dilihat dari cuplikan berikut.
Ia menceritakan kepedihannya. “Objekan Babe lagi sepi, Lu. Jarang ada orang yang meninggal belakangan ini,” katanya sambil membuang rumput ilalang yang mulai terasa pahit.
Lupus yang tadinya berdiri jadi ikutan duduk lagi. Agaknya ia tertarik dengan problem yang dihadapi Drakuli. Baginya ini lucu sekali. Luar biasa sekali.
“Padahal Babe udah nurunin harga tanah kuburan di sini. Masih aja belon ada yang mati-mati. Tadinya Babe malah mau kasih diskon segala, Lu” (Hariwijaya, 1990: 34).
Selanjutnya, ketegangan yang berusaha dibagun dalam novel ini selalu dipecah dengan kehadiran humor. Suspense yang dibangun dari situasi yang semestinya menegangkan seperti berjalan di kuburan tengah malam, atau menyimpan gigi manusia, malah dibuat jenaka melalui reaksi para tokoh yang dipecah dengan humor, dialog lucu dan hal-hal jenaka lainnya.
Setiap Suspense yang digambarkan dalam novel ini, seperti kehadiran sepasang tangan buntung yang mengetuk pintu rumah warga, kemudian selalu diikuti dengan komentar dan tindakan yang jenaka oleh tokoh. Hal ini menyebabkan kehadiran suspense tidak benar-benar berubah menjadi menakutkan dan mencekam. Humor yang ditawarkan dalam novel ini membuat suatu relaksasi, sehingga pembaca tidak benar-benar marasa takut, pembaca dibawa menikmati suspense dengan santai dan ringan, sehingga tetap terasa segar.
Sentuhan komedi dalam wahana horor merupakan dua suguhan yang memiliki ranah yang berbeda, namun dapat saling mendukung. Kehadiran komedi menghiasi suspense genre horor merupakan suatu kombinasi yang saling mengisi, di sela suspense yang menghadirkan tegangan dan mengundang rasa penasaran, komedi menyusup dengan melepaskan ketegangan dengan mengundang gelak tawa.
Kombinasi antara suspense dan kehadiran komedi menjadikan cerita terasa lebih segar dan menghadirkan rasa seram yang setingkat lebih menarik. Pendekatan suspense yang beriring dengan kehadiran komedi dalam novel ini membuat suatu suasana baru dalam genre horor. Novel ini menunjukkan bahwa suspense dan komedi dapat saling melengkapi dan menciptakan suatu nuansa baru yang menyenangkan.