Lastry Monika
(Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand/Kolumnis Rubrik Renyah)
“Jangan menangis keras-keras! Nanti kamu dijemput Inyiak Bayeh. Rambutnya panjang, matanya sebesar telur ayam, kukunya panjang dan tajam, telinganya lebar, mulutnya juga lebar. Dia suka menculik anak-anak yang suka menangis keras-keras.” Begitulah dulu kata nenek saya setiap kali saya menangis menjerit-jerit. Semakin lama saya menangis, semakin panjang pula cerita nenek tentang Inyiak Bayeh.
“Setelah diculik, kamu akan diberi makan telur semut setiap hari,” begitu lanjutnya. Biasanya saya tidak langsung berhenti menangis, tetapi memelankan suara saja. Saya terus merengek hingga bosan. Bila sudah begini, nenek akan mengeluarkan seruan andalannya.
“Nyiak Bayeh, jemputlah cucuku ini!” Ujarnya ke arah bukit di belakang rumah. Namanya Bukit Tusom. Konon, dari cerita nenek, Inyiak Bayeh tinggal di sana. Saya tidak punya pilihan. Membayangkan Inyiak Bayeh saja sudah seram, apalagi dijemput dan dijadikan cucunya.
Cerita ini sering diulang-ulang nenek setiap kali saya rewel. Nenek juga sering bercerita tentang Urang Bunian. Cerita ini muncul di sela-sela waktu senggang. Konon, Urang Bunian dulunya manusia biasa. Suatu hari, Nabi hendak mengadakan acara bodua (berdoa). Urang Bunian diberi kepercayaan untuk memasak gulai kambing. Akan tetapi, bukannya menyembelih kambing, mereka justru menyembelih kucing kesayangan Nabi untuk dimasak menjadi gulai. Nabi marah dan mengasingkan mereka ke rimba-rimba.
Ketika kecil dulu, Urang Bunian ini cukup popular di kampung saya. Mereka diyakini dapat membuat seseorang tersesat. “Mungkin dibawa Urang Bunian.,” begitulah kata yang muncul ketika ada orang yang tersesat dan menghilang beberapa saat. Urang Bunian juga sering dijadikan alasan bagi kami anak-anak kecil untuk menjaga sikap agar tidak takabur dan tidak mengambil apapun ketika beraktivitas di tempat-tempat sepi. Tentu saja, kami takut dan lebih wawas diri.
Jarak antara rumah dan sekolah dasar saya cukup jauh, kira-kira menempuh perjalanan sejauh 2,5 kilometer. Bila cuaca cerah, perjalanan ke sekolah akan ditempuh menggunakan motor. Bila hujan, kadang harus jalan kaki, karena licin sekali. Di tengah perjalanan, kadang ibu bercerita tentang Rawang Selendang. Konon ada seorang anak perempuan cantik, namun memiliki laku yang tidak baik. Suatu hari ia ke pasar bersama ibunya. Ketika seseorang bertanya tentang siapa yang berjalan di belakangnya, ia menjawab bahwa perempuan paruh baya itu adalah pembantunya.
“Ibunya berdoa agar sang anak mendapat pelajaran. Sang anak pun tenggelam ke dalam rawang (lumpur sawah yang dalam) hingga hanya menyisakan selendang,” kira-kira begitulah ibu saya bertutur. Cerita ini sering ia ceritakan lagi dan lagi.
Bila diingat-ingat kembali, rupanya banyak sekali cerita-cerita lisan berkesan sewaktu kecil dulu. Saya tumbuh dilingkungan yang tidak menerapkan aturan A B C D, tetapi aturan agar tetap berlaku baik dan sewajarnya tersebut tersirat lewat cerita-cerita lisan. Ketika dewasa, barulah saya memahami bahwa kisah-kisah yang dituturkan oleh nenek dan ibu saya itu tergolong sastra lisan. Rupanya begitu dekat dalam keseharian.