Oleh: Ghina Rufa’uda
(Mahasiswa Sastra Indonesia dan Anggota Labor Penulisan Kreatif Universitas Andalas)
“Bayangkanlah betapa seseorang harus kehilangan kedua matanya demi keadilan dan kebenaran. Tidakkah aku sebagai hamba hukum mestinya berkorban yang lebih besar lagi?”
–Seno Gumira Ajidarma dalam cerpen “Saksi Mata”–
Kehadiran karya sastra mungkin saja menjadi tidak berarti tanpa ada pembaca atau bisa disebut sastra adalah ruang kosong tanpa pembacanya. Penulis dalam menciptakan karya sastra tidak hanya ingin mencetak buku yang berisi pendapat, ide atau gagasan saja. Penulis juga ingin isu yang diangkat dalam tulisan menjadi pengingat atau bahkan ajakan untuk kembali memperjuangkan isu-isu yang ingin dicapai. Dengan demikian, eksistensi karya sastra akan sangat dipengaruhi oleh pembacanya. Konsep keterikatan karya dengan pembaca ini dinamakan resepsi sastra.
Menurut Iser, resepsi sastra adalah suatu pendekatan dalam studi sastra yang menekankan bagaimana pembaca memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya. Resepsi sastra menurut Wolfgang Iser melibatkan interaksi antara teks dan pembaca. Pembaca diharapkan tidak hanya sekedar menerima informasi dari teks begitu saja, pembaca diharapkan bisa menafsirkan serta menanggapi apa yang telah dibacanya. Cerpen “Saksi Mata” karya Seno Gumira Ajidarma merupakan salah satu karya sastra yang sangat menarik untuk ditelaah menggunakan teori resepsi sastra menurut Iser ini.
Cerpen “Saksi Mata” ini sangat menggugah kesadaran para pembacanya mengenai realitas sosial dan politik di Indonesia. Cerpen ini mengangkat isu insiden tragedi Santa Cruz yang terjadi pada 12 November 1991. Cerpen Saksi Mata ini menceritakan seorang saksi yang kehilangan bola mata dan lidahnya, ini dapat dimaknai simbol dari ketidakadilan atau penindasan. Cerpen ini terbit pertama kali di koran Suara Pembaruan pada tahun 1992. Dalam hal ini, konsep pembaca ideal menurut Iser menjadi kunci, bagaimana pembaca dapat menginterpretasikan makna cerpen ini sesuai dengan harapan penulis.
Menurut Iser, pembaca ideal adalah pembaca yang sangat diharapkan oleh penulis bisa menangkap makna apa yang ingin disampaikan dalam karyanya, pembaca ideal adalah mereka yang mampu menangkap nuansa emosi dan kritik sosial yang disampaikan. Pembaca ideal tidak hanya mengandalkan pengalaman pribadi tetapi juga mempertimbangkan norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat.
Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma ini merupakan ikhtiarnya melawan pembungkaman dan penindasan yang dirasakan oleh masyarakat Timor-Timur pada tragedi Santa Cruz pada 12 November 1991. Mengutip Tirto.Id, Seno yang saat itu menjadi redaktur pelaksana majalah Jakarta-Jakarta (JJ) menulis mengenai tragedi Santa Cruz yang akhirnya berbuntut panjang. Ia dinonaktifkan dalam pekerjaannya. Dalam periode menganggurnya itu, ia menciptakan banyak cerpen, termasuk cerpen Saksi Mata. Dalam wawancara singkat, dikutip dari Tirto.Id,
Seno mengatakan bahwa cerpen-cerpen yang ia tulis merupakan ekspresi perlawanan atas pembungkaman yang dialaminya. Cerpen “Saksi Mata” ini dibuat oleh Seno bukan bertujuan mengejar kualitas sastra, Seno ingin pembaca tidak hanya sekadar mengenang tragedi Santa Cruz, namun pembaca dapat memaknai cerpen ini sebagai bentuk perlawanan kepada orang-orang yang angkuh terhadap kekuasaan dan tidak mau diusik meskipun berbuat salah tanpa merujuk pada lembaga manapun.
Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma menyampaikan pesan mendalam mengenai isu ketidakadilan dalam sistem hukum. Seno menyajikan cerpen Saksi Mata dengan narasi yang penuh ironi dan humor. Seorang saksi mata digambarkan kehilangan kedua bola matanya dengan cara yang agak absurd. Pada kutipan cerpen berikut, terlihat bagaimana Seno ingin menunjukkan bahwa kebenaran tidak selalu terlihat secara fisik, bisa diakses melalui ingatan dan pengalaman. Sosok saksi mata yang kehilangan mata menggambarkan bahwa meskipun ia mengalami hal-hal yang mengerikan, ia tetap mau berkomitmen untuk mau manjadi saksi dalam persidangan demi menegakkan keadilan.
“Sekali lagi, apakah saudara Saksi Mata masih bersedia bersaksi?”
“Saya Pak.”
“Kenapa?”
“Demi keadilan dan kebenaran Pak.”
Cerpen ini unik sekali karena mencerminkan situasi absurd, sosok saksi mata yang kehilangan mata tapi masih dianggap sebagai sumber kebenaran. Ini menyoroti kekurangan sistem hukum yang ada, sangat terlihat unsur sarkasme yang dihadirkan oleh Seno, sampai seseorang yang kehilangan mata pun menjadi saksi persidangan, entah karena warga lain takut untuk bersaksi atau tidak peduli. Terlihat dalam kutipan cerpen berikut,\
Apakah Saksi Mata yang sudah tidak punya mata lagi masih bisa bersaksi? Tentu masih bisa, pikir Bapak Hakim Yang Mulia, bukankah ingatannya tidak ikut terbawa oleh matanya?
“Saudara Saksi Mata.”
“Saya Pak.”
“Apakah saudara masih bisa bersaksi?”
“Saya siap Pak, itu sebabnya saya datang ke pengadilan ini lebih dulu ketimbang ke dokter mata Pak.”
“Saudara Saksi Mata masih ingat semua kejadian itu meskipun sudah tidak bermata lagi?”
“Saya Pak.”
Darah yang mengalir dari mata Saksi Mata menjadi simbol kekerasan dan penderitaan yang dialami individu dalam masyarakat. Meskipun darah tersebut dilihat banyak orang, tapi tidak ada seorangpun yang memperhatikan secara mendalam, melambangkan ketidakpedulian masyarakat terhadap penderitaan orang lain. Dapat dilihat dari kutipan cerpen berikut,
Darah masih mengalir perlahan-lahan tapi terus menerus sepanjang jalan raya sampai kota itu banjir darah. Darah membasahi segenap pelosok kota bahkan merayapi gedung-gedung bertingkat sampai tiada lagi tempat yang tidak menjadi merah karena darah. Namun, ajaib, tiada seorang pun melihatnya.
Dapat disimpulkan bahwa cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma tidak hanya berfungsi sebagai karya sastra, tapi juga sebagai kritik sosial terhadap ketidakadilan yang terjadi. Dengan menerapkan teori resepsi sastra Iser, pembaca diajak untuk menginterpretasikan makna dalam teks. Melalui interaksi ini, diharapkan cerpen Saksi Mata menjadi alat untuk menyuarakan perlawanan dan menjadi pengingat bagi masyarakat akan pentingnya keadilan dan kebenaran.