Dharmasraya, Scientia.id – Budayawan Minangkabau, Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto, menyatakan rasa pesimisnya terhadap upaya pemajuan kebudayaan Sumatera Barat, khususnya di Ranah Minang. Pernyataan ini disampaikan pada Minggu (6/4/2025), menyusul ramainya tren joget bagi-bagi Tunjangan Hari Raya (THR) di media sosial beberapa hari terakhir.
“Waktu zaman saya muda tidak ada kata THR tersebut. Kata THR itu sendiri itu ada sesudah tahun 1970 dan itu pun belum membooming,” ujar pria yang akrab dipanggil Mak Katik.
Lebih lanjut, Mak Katik, sapaan akrabnya, mengkritik serta menilai cara pembagian THR sambil menari-nari merupakan tindakan yang kurang baik dalam kajian kebudayaan Minangkabau. Ia mengibaratkan tindakan tersebut sebagai meronggeng atau sawer.
“Hendaknya kalau akan memberi dalam kajian kebudayaan itu, tangan kanan yang memberi dan kiri tidak boleh tau. Dan sekarang tau orang rame, tambah tidak bagus diekspos di sosmed,” tegasnya.
Kekecewaan mendalam juga diungkapkan oleh Dosen University of Hawaii, Manoa, Amerika Serikat, dan Akademi Seni Warisan Budaya Kebangsaan Malaysia ini terkait harapan yang tak kunjung terwujud kepada pemerintah daerah sejak tahun 1980.
Ia merasa tidak ada langkah nyata yang mengarah pada perbaikan kondisi adat dan budaya Minangkabau.
“Budaya malu memang betul – betul sudah habis, itu kan yang dikasih juga keponakan niniak mamak juga. Pertanyaannya malu tidak keponakan kita dikasih orang?,” tanyanya retoris.
Lebih jauh, ia mempertanyakan kondisi masyarakat Minangkabau saat ini, seolah-olah harta pusaka telah habis hingga harus meminta-minta secara berbaris-baris.
Ia juga menyoroti fenomena memprihatinkan di mana panti jompo kini banyak diisi oleh orang-orang bersuku Minang.
“Kenapa orang bersuku memenuhi panti jompo di daerah kita? atau separah itu kita beradat! Sudah lanjut usia orang tua kita dihantarkan ke panti jompo atau hal ini memang tidak pandai dalam mendidik anak dari kecil. Ndak bedo kaji tu,” ungkapnya dengan nada kesal.
Mengenai upaya pemajuan kebudayaan, Mak Katik mengenang saran-saran yang pernah disampaikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, termasuk enam kali saran dari Prof. Zuki Sahmad, namun tidak ada satu pun yang direalisasikan oleh Pemprov.
Ia juga menyoroti hilangnya esensi perbedaan antara perayaan Hari Raya Idul Fitri zaman dahulu dan sekarang, di mana kini lebih didominasi oleh egoisme individu.
“Mencari titik temu paham – paham model ini sangat sulit. Untuk memperbaiki adat dan kebudayaan kearah yang lebih baik sangat sulit,” katanya pesimis.
Mak Katik mempertanyakan harapan yang dapat disandarkan kepada para kepala daerah di Sumatera Barat, mengingat minimnya perubahan positif yang terlihat sejak tahun 1990.
“Kita lihat dari tahun 1990 sampai sekarang. Sebagai Budayawan melihat kedaan fisik aplikasi atau segala macam dan nilai plus apa yang kita harapkan tidak juga berubah sampai saat ini,” bebernya.
Sebagai contoh konkret, ia mengungkapkan pernah menyarankan kepada pemerintah daerah pada tahun 1982 untuk menjadikan gerakan silat sebagai senam massal dengan meramunya dalam langkah silat Minang, melibatkan penata tari dan pemusik. Namun, usulan tersebut juga tidak pernah terwujud.
Untuk itu, Mak Katik mendesak pemerintah daerah untuk memiliki aplikasi yang jelas dalam upaya pemajuan kebudayaan. Jangan pemerintah daerah memikirkan perjalanan dinas saja.
Ia memberikan contoh konkret seperti mengadaptasi cerita-cerita klasik Minangkabau seperti Siti Baheram, Lambun Pamenan, dan Bujang Paman menjadi karikatur digital sebagai media pembelajaran anak-anak. Selain itu, ia menyarankan pembuatan buku-buku bacaan berbahasa Minangkabau untuk menanamkan pemahaman adat sejak dini.
Baca Juga: Firdaus Sosialisasi Perda Soal Penanggulangan Bencana di Hadapan Pegiat Seni dan Budaya
“Ini bentuk pendidikan karakter kepada anak SD. Untuk menyampaikan adat itu dengan bahasanya bukan dengan bahaso yang lain kita sampaikan jangan dicari dengan bahasa Indonesia,” pungkasnya, menekankan pentingnya penyampaian nilai-nilai adat melalui bahasa ibu.
Pernyataan pesimis dari budayawan senior ini menjadi sorotan dan diharapkan dapat menjadi perhatian bagi pemerintah daerah serta seluruh elemen masyarakat Sumatera Barat untuk lebih serius dalam upaya pelestarian dan pemajuan kebudayaan Minangkabau. (tnl)