Oleh: Andina Meutia Hawa
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Sastra anak termasuk salah satu karya yang ditulis oleh orang dewasa untuk dapat dibaca oleh anak-anak. Hal ini ditegaskan oleh Fauziah (2022) bahwa sastra anak merupakan sebuah karya yang ditujukan untuk anak-anak dan penulisannya disesuaikan dengan bahasa, imajinasi, dan emosional anak-anak. Oleh sebab itu, dalam pemilihan kata-kata, sastra anak harus menggunakan bahasa yang sederhana untuk memudahkan anak memahami isi cerita. Anak-anak cenderung memiliki keterbatasan jumlah kosakata, sehingga pemilihan kata-kata sulit ataupun kalimat majemuk akan membuat anak kesusahan dalam membaca dan memahami isi cerita.
Sastra anak menawarkan setidaknya dua aspek, yaitu pendidikan dan hiburan. Sastra anak kerap dijadikan sebagai media penanaman nilai-nilai pendidikan karakter dan ajaran moral, serta pembentukan kepribadian. Kegiatan membaca sastra anak melibatkan pikiran (imajinasi) yang memberikan efek seolah-olah pembaca turut mengalami peristiwa dari buku yang dibacanya. Aspek hiburan dalam sastra anak memberikan kesenangan dan kepuasan batin pada pembaca. Sastra anak juga memungkinkan pembaca untuk dapat belajar mengenal, mengelola, dan mengekspresikan perasaan sehingga dapat membantu dalam peningkatan kecerdasan emosional anak.
Kedua aspek tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan apresiasi sastra pada pembelajaran sastra di sekolah. Proses apresiasi sastra dapat diperoleh melalui beberapa tahap. Pertama, penumbuhan kesenangan terhadap bacaan. Kedua, penanaman kesadaran pada apresiasi. Ketiga, pemberian tanggapan terhadap karya sastra yang dibaca. Tumbuhnya kesenangan terhadap bacaan mendorong timbulnya kesadaran terhadap apresiasi. Hal itu dapat dilakukan melalui kegiatan penginterpretasian makna cerita, seperti aktivitas diskusi maupun menulis kreatif. Dalam hal ini, guru memiliki peran besar dalam mendampingi kegiatan apresiasi sastra agar murid dapat memperoleh aspek hiburan dan pendidikan dalam sastra anak secara optimal.
Pemilihan bacaan yang tepat merupakan hal yang patut diperhatikan. Dari segi genre, saat ini terdapat banyak pilihan karya sastra. Salah satu genre karya sastra yang menyenangkan untuk dibaca adalah cerpen. Cerpen merupakan karya sastra berjenis prosa. Cerpen memiliki bentuk narasi dengan jumlah kata yang lebih sedikit ketimbang novel, ceritanya pun cenderung singkat dan padat. Ciri lain cerpen ialah ceritanya yang berfokus pada satu tokoh dan peristiwa, alurnya lebih sederhana sehingga dapat dibaca dalam sekali waktu.
Cerpen anak dapat dengan mudah ditemukan di media, seperti majalah Bobo. Pada peringatannya yang ke-50 tahun, majalah Bobo menerbitkan ulang cerpen-cerpen dan dongeng-dongeng yang pernah dimuat pada edisi-edisi sebelumnya. Salah satu karya yang dimuat pada edisi 50 tahun perayaan majalah Bobo adalah sebuah cerpen berjudul “Beki Bebek” yang ditulis oleh Vanda Parengkuan. Cerpen ini pernah diterbitkan di majalah Bobo pada tahun 1991.
“Beki Bebek” mengisahkan seekor bebek bernama Beki yang tengah mengalami krisis kepercayaan diri karena merasa tidak memiliki bakat apa pun. Beki sedih karena beberapa hari lagi akan dilangsungkan Pesta Hutan, semua hewan yang terdapat di hutan berlomba-lomba memamerkan bakatnya, seperti tokoh Usi Angsa yang pandai menari, ataupun Cenil Merak dengan sayap indahnya. Hewan menjadi tokoh-tokoh dalam cerpen ini. Pemilihan hewan-hewan tersebut sebagai tokoh merupakan sesuatu yang menarik, karena semuanya dapat menjadi simbol yang bermakna pada kebudayaan tertentu.
Karya sastra merupakan sebuah sistem yang memiliki konvensi tersendiri (Lustyantie, 2012). Konvensi dalam sastra merupakan seperangkat aturan tidak tertulis yang membentuk bagaimana sastra diproduksi, dipahami, dan diterima. Konvensi dalam sastra terdiri atas konvensi genre, misalnya dalam drama terdapat dialog dan babak; konvensi bahasa, misalnya bahasa dalam puisi cenderung bermuatan simbolisme ataupun kiasan; serta konvensi sosial dan budaya, seperti penggunaan latar atau tokoh dalam karya sastra yang tidak lepas dari aspek sosial dan budaya. Konvensi dan teori semiotika Barthes berhubungan erat karena baginya tanda dan makna dipandang sebagai konstruksi budaya yang dibentuk oleh kesepakatan sosial. Teori semiotika Barthes mengkaji sebuah konvensi menciptakan makna melalui tanda-tanda.
Barthes memandang bahwa makna tanda (sign) dibangun oleh sebuah konvensi. Artinya, hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) bersifat arbitrer. Misalnya, di berbagai negara, simbol hati warna merah digunakan sebagai ekspresi cinta dan kasih sayang. Teori semiotika Barthes juga mengenal konvensi dalam denotasi dan konotasi. Denotasi merupakan makna literal yang diterima sebagai sesuatu yang alami karena sudah menjadi kebiasaan. Adapun konotasi merupakan makna tambahan yang kerap dikaitkan dengan ideologi dan nilai-nilai budaya tertentu, misalnya denotasi pada gambar gajah bermakna hewan besar warna abu-abu yang memiliki belalai panjang.
Dalam konteks konotasi, hewan gajah memiliki banyak makna, di antaranya kekuatan dan kebijaksanaan. Pada ajaran agama Hindu dan Buddha, gajah dianggap sebagai hewan suci. Barthes juga mengenalkan konsep mitos, pemaknaan tingkat kedua yang menormalisasi ideologi tertentu melalui tanda, msalnya kulit putih menjadi mitos kecantikan perempuan yang dinormalisasi melalui media. Berikut analisis makna simbol hewan-hewan dalam cerpen “Beki Bebek” menggunakan teori Semiotika Roland Barthes.
Beki Bebek
Beki Bebek merupakan tokoh utama dalam cerita ini. Ia merasa cemas karena di hutan akan diselenggarakan Pesta Hutan. Beki Bebek merasa tidak memiliki bakat apa pun sehingga ia bingung akan mengikuti lomba apa. Ia membandingkan dirinya dengan hewan-hewan lain seperti Usi Angsa yang pandai menari atau Cenil Merak yang akan ikut lomba bulu indah. Tidak ada yang bisa dipamerkan oleh Beki Bebek selain berenang.
Pada tingkat denotasi, bebek merupakan hewan unggas berbulu kuning, hidup di air, memiliki paruh lebar dan kaki berselaput, serta bersuara kwek-kwek. Adapun pada tingkat konotasi, dalam konteks dongeng anak “Si Itik Buruk Rupa (The Ugly Duckling)”, misalnya, terdapat tokoh Itik Buruk Rupa yang digambarkan tidak secantik saudara-saudaranya. Ia terus mendapat ejekan dari hewan-hewan yang ada di sekitarnya. Suatu hari ia menyaksikan pantulan dirinya di kolam, lantas mendapati dirinya tidak seburuk yang ia pikirkan. Si Itik Buruk Rupa kemudian menjelma menjadi seekor angsa yang cantik.
Dalam kaitannya dengan cerpen “Beki Bebek”, tokoh bebek merasa tidak memiliki kelebihan apa pun. Ia tidak pandai menyanyi dan menari, tidak berbadan kuat, dan tidak memiliki sayap yang indah. Walaupun demikian, pada akhirnya Beki Bebek terpilih menjadi penghuni hutan yang paling ramah. Oleh sebab itu, melalui tokoh bebek, penulis hendak menyampaikan kepada pembaca untuk tidak menilai seseorang hanya dari tampilan luarnya. Selain itu, cerpen ini juga mengajarkan kepada pembaca untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain karena setiap individu memiliki kelebihan dan kekurangan yang menjadikannya unik di antara individu-individu lainnya.
Usi Angsa
Tokoh Usi Angsa pada cerpen “Beki Bebek” digambarkan “tak henti-hentinya latihan menari”. Usi Angsa hendak mengikuti lomba menari pada acara Pesta Hutan. Pada tingkat denotasi, angsa adalah hewan unggas berleher panjang dan berwarna putih. Angsa dikenal sebagai hewan yang pandai berenang dan hidup di air. Pada tingkat konotasi, hewan angsa kerap menyimbolkan cinta dan kesetiaan. Selain itu, dengan kemampuan menarinya, angsa juga menyimbolkan keanggunan dan keindahan. Masih dalam konteks cerita “Si Itik Buruk Rupa”, tokoh Itik pada akhirnya berubah menjadi seekor angsa yang cantik. Namun, dalam kaitannya dengan cerpen “Beki Bebek”, tokoh Usi Angsa sudah menjadi sosok cantik dan anggun. Oleh sebab itu, dalam karya sastra, hewan angsa kerap digambarkan sebagai sosok yang lembut sekaligus kuat dan lincah.
Cenil Merak
Tokoh Cenil Merak hendak mengikuti lomba bulu indah. Ia tengah repot menyisiri bulu-bulunya agar tetap indah. Hewan-hewan selain Beki Bebek sibuk berlatih agar menjadi juara. Pada tingkat denotasi, merak merupakan burung besar dengan bulu berwarna-warni dan ekor seperti kipas. Burung merak banyak ditemukan di beberapa negara Asia Selatan seperti India dan Srilanka. Pada tingkat konotasi, burung merak memiliki makna simbolis yang berbeda-beda tergantung berdasarkan konteks sosial dan budayanya.
Bulu burung merak yang berwarna-warni dan mencolok kerap diasosiasikan dengan keindahan dan kemewahan. Mata-mata yang terdapat pada bulu burung merak melambangkan kebijaksanaan dan keanggunan. Seperti tokoh Cenil Merak yang sibuk menyisiri bulu-bulunya yang indah dan mengibas-ngibaskan bulunya kesana-kemari, burung ini juga dianggap sebagai simbol kesombongan dan keangkuhan. Dalam konteks cerpen “Beki Bebek”, simbol-simbol yang melekat pada hewan burung merak menggambarkan watak cenil merak yang cantik, megah, anggun, tetapi juga dapat menjadi sombong.
Trili Kutilang
Dalam “Beki Bebek”, tokoh Trili Kutilang digambarkan sebagai hewan yang pandai menyanyi, tetapi tenaganya tidak kuat. Penggambaran ini sesuai dengan makna denotasinya, yaitu burung kutilang sebagai hewan berbadan kecil dan bersuara merdu. Walaupun tidak bisa mengandalkan kekuatan fisiknya karena berbadan kecil, ia memiliki suara yang merdu sebagai kelebihannya. Namun, ia bukanlah hewan yang suka pamer. Oleh sebab itu, pada tingkat konotasi, dalam sebuah lagu anak-anak yang diciptakan oleh Ibu Soed, terdapat potongan lirik “burung kutilang berbunyi, bersiul-siul sepanjang hari, dengan tak jemu-jemu”. Burung kutilang bermakna sebagai hewan yang menyukai kebebasan, gembira, dan menyatu dengan alam. Dengan demikian, dapat digambarkan watak tokoh Trili Kutilang sebagai hewan yang sederhana dan bijaksana.
Tombo Gajah
Tombo Gajah juga berpartisipasi dalam perlombaan yang diadakan di Pesta Hutan. Tombo Gajah memiliki kelebihan berbadan kuat, tetapi tidak pandai menyanyi. Pada tingkat denotasi, gajah adalah hewan berbadan besar, berwarna abu-abu, dan berbelalai panjang. Dalam tingkat konotasi, simbol gajah memiliki makna yang berbeda-beda pada banyak kebudayaan. Dalam budaya India, gajah diasosiasikan dengan Dewa Ganesha sehingga dianggap sebagai hewan suci. Gajah melambangkan keberuntungan dan kekayaan. Dalam budaya Thailand, gajah merupakan lambang kekuatan dan kebijaksanaan.
Tokoh gajah dalam “Dongeng Si Kancil” kerap digambarkan memiliki watak bijaksana, suka menolong, tetapi kadang-kadang ceroboh. Dalam cerita “Bona, Si Gajah Kecil Berbelalai Panjang” yang muncul di majalah Bobo, tokoh Bona digambarkan sebagai sosok baik hati dan senang menolong orang lain menggunakan belalainya. Oleh sebab itu, penggambaran tokoh Tombo Gajah dalam cerpen “Beki Bebek” memperlihatkan karakternya yang kuat, bijaksana, baik hati, dan tidak sombong.
Dengan demikian, penerapan Teori Semiotika Roland Barthes dalam mengkaji simbol-simbol hewan pada cerpen “Beki Bebek” dapat mengungkap bagaimana hewan-hewan seperti bebek, angsa, merak, burung kutilang, dan gajah dimaknai oleh masyarakat di berbagai kebudayaan. Selain itu, penggunaan Teori Barthes juga dapat membantu mengidentifikasi penggambaran watak tokoh pada karya sastra. Teori Roland Barthes dapat digunakan sebagai alat untuk membantu memaksimalkan kegiatan apresiasi sastra, misalnya melalui kegiatan diskusi dan interpretasi karya sastra.