Buah Durian Terakhir
Cerpen Karya: Afrizal Jasmann
Puncak musim durian sudah berlalu. Dahan-dahan sudah mulai lengang. Yang tersisa hanya beberapa buah salek diujung dahan. Biasanya kecil, ruang-ruangnya tidak penuh sempurna, dan warnanya buram seperti mengkal. Tidak mengundang selera, tidak menjanjikan. Orang-orang yang berminat pun tidak seberapa. Hanya seadanya saja. Hanya sekadar mengulang-ulang kesempatan setelah berpuas diri sebelumnya.
Namun berbeda dengan durian Mantri Suman. Pohon durian tua yang telah berumur hampir setengah abad, yang selalu menjadi bahan gibah warga sekampung, buahnya nyaris sempurna, besar-besar hingga keujung musim. Bentuknya bulat sintal bagai belanga tanah, wadah memasak gulai orang-orang zaman lampau. Siapa dapat bisa dikatakan mukjizat, karena tidak semua orang bisa begitu. Hanya orang-orang pilihan yang bisa mendapatkannya; berkaki kuat untuk berlari kencang dan berlengan kekar untuk berjibaku. Sebab sejak tampuknya lepas dari dahan, ancang-ancang telah siap sedia. Saingan ada dimana-mana. Bersiap menunggu di bawah dengan kepala lurus mendongak ke atas seperti roket yang hendak terbang menembus angkasa lepas.
Namun semua itu tidak berlaku jika sang mantri ada di tempat. Tidak ada yang boleh mendekat. Tidak ada yang boleh mengambil buah yang jatuh walau sudah berjibaku sedemikian rupa sekalipun. Mantri Suman akan mengambilnya dengan langkah tenang bagai mengambil permen di tangan anak-anak yang sedang tertidur. Jika ada yang bertindak diluar ketentuan, maka lelaki tujuh puluh tahunan itu akan menggertak sembari pasang kuda-kuda silat tua. Orang-orang hanya boleh melihat-lihat, ngobrol-ngobrol, bisik-bisik atau sekadar duduk-duduk.
“Kecuali jika jatuh langsung ke tangan kalian, itu baru rejeki kalian,” ucapnya suatu ketika.
Walaupun demikian keadaan persaingan, namun pohon durian yang batangnya sudah layak dibuat beduk karena saking besarnya itu tidak pernah sepi dari pengunjung siang dan malam. Masyarakat sekitar tetap mencoba peruntungannya. Karena bagaimanapun juga tetap ada celah yang bisa dimanfaatkan. Mantri Suman tidak akan bisa selamanya berada di dekat pohon kesayangannya itu. Ia akan pergi sesaat dan itu jadwalnya tetap. Misalnya pergi sembahyang, menjemput bekal makanan pulang, dan ketika pembeli duriannya datang ke gubuknya di tepi ladang. Jarak antara gubuknya dan pohon durian itu tidak terlalu jauh. Namun cukup ada waktu bagi orang-orang mengambil alih keadaan.
Mantri Suman adalah seorang ahli pengobatan alternatif, pensiunan guru agama. Tidak beranak dan hidup berdua dengan istrinya yang juga seorang guru ngaji di surau kampung yang tidak jauh dari rumah mereka. Sehari-hari, jika tidak ada pasien, Mantri Suman akan berada di lahan pertaniannya yang salah satu komoditinya adalah durian tua tersebut.
“Nanti kalau ada yang jatuh, antar ke rumah ya,” ultimatumnya merata pada semua orang yang ada.
Siapa pula yang mau berbuat seperti itu. Kecuali ada biaya ganti rugi setelah babak belur dalam pergulatan. Tapi itu rasanya tidak akan mungkin. Mantri Suman tidak akan mengeluarkan biaya sepersen pun untuk itu karena tidak ada alasan baginya membayar buah yang jatuh dari pohonnya sendiri. Pikiran itu hanyalah konyol. Sama konyolnya dengan ultimatum Mantri Suman tadi.
Benar saja. Sepeninggal Mantri Suman satu buah durian jatuh dan jadi rebutan. Seketika sang mantri melongok dari jendela gubuknya. Sorot matanya tajam memperhatikan gerak gerik orang-orang satu persatu. Sat set, sang pemenang bergerak cepat dan membawa hasil tangkapannya menjauh tanpa kata-kata tersisa. Sebab jika masih ada di tempat, Mantri Suman tidak akan senang dan bisa pindah tangan dengan segala bujuk rayu yang kadang terlalu didramatisir.
“Siapa tadi yang dapat?” tanya Mantri Suman antusias sekembalinya dari gubuk. Cuap-cuap saling jawab dan berakhir dengan ketidaktahuan seperti yang telah direncanakan.
Mantri Suman melongok lurus keatas. “Waah… yang supernya tuh. Sudah dua hari saya lihat-lihat. Sudah ada yang pesan mau beli mahal,” cerocos Mantri Suman sembari terus mendongak tidak rela. “Nanti kalau ada lagi yang jatuh, jangan diambil lagi ya..” sambungnya entah pada siapa. Semua buah duriannya baginya adalah super. Kata-katanya basi berusaha meraih simpati.
“Siapa sih yang dapat?” ulangnya lagi. Jawabannya sama. Was wes wos tidak jelas. Waktu berlalu. Keramaian di sekitar pohon durian pun berlalu. Dahan-dahan pohon durian Mantri Suman juga sudah kosong. Tidak ada lagi buahnya yang montok bergelantungan disana sini, kecuali satu. Letaknya tersembunyi di antara rimbunnya daun-daun di ujung dahan. Sesekali satu dua orang masih berusaha mampir kesana berharap pada peruntungannya. Orang itu akan berdiri di balik semak terdekat. Berusaha untuk tidak terlihat oleh Mantri Suman yang masih betah berada di gubuknya. Namun jangankan jatuh, bergerak digoyang angin pun tidak. Buah terakhir itu diam kaku bagai enggan untuk dimiliki.
Waktu terus berlalu. Yang datang pun silih berganti. Mendongak lurus, bergumam seperti baca mantra.
“Ehm!” dehem Mantri Suman dari gubuknya. Sang pengharap pun pergi dan berencana untuk kembali lagi jika sang pemilik sudah tidak ada disana. Waktu kembali berlalu.
“Itu buah durian kapan mau jatuhnya, ya?” ucap Bidin seorang pemuda setengah baya yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani, tatkala ia sampai pula dibawah pohon durian besar itu.
“Mungkin nunggu disambar petir,” jawab Mardi teman seiya sekatanya sinis.
“Habis dong,” tanggap Bidin. Konyol.
“Habislah daripada menggantung ndak jelas,” jawab Mardi lagi.
“Tapi itu durian bukan, ya?”
“Ya durian lah. Kan pohonnya pohon durian. Kalau pohonnya pohon manggis namanya baru buah manggis.”
“Maksud awak, itu benaran buah durian atau hanya buntalan daun sarang semut.” Jelas Bidin.
“Kalau dilihat-lihat, raginya seperti buah durian, tapi entahlah. Ragu juga awak bila melihatnya. Atau bisa juga hantu buah. Soalnya kata orang-orang tua dulu, dulunya disini….”
“Halaaaaah…..mulai lagi kamu. Dasar, sang pemuja hantu,” potong Bidin cepat sebelum cerita hantu berlanjut.
“Ehm!” Tiba-tiba Mantri Suman terdengar mendehem dan terlihat mendekat.
“Ehh.. ada Pak Mantri rupanya. Masih ada buah salek, Pak?” Sapa Bidin berusaha akrab.
“Masih. Tinggal yang supernya itu lagi. Sudah ada yang pesan sejak kemaren,” jawab Mantri Suman dengan kata-katan supernya yang selalu sama.
“Kenapa ndak dipanjat saja ke atas supaya jelas jatuhnya? Daripada nanti hilang ketika Pak Mantri sedang sembahyang. Kan rugi kita.”
“Ah, biarlah. Kalau dipanjat itu, ndak sempurna masaknya. Kecewa nanti pembeli. Dia sudah bayar mahal,” alasan Mantri Suman padat.
“Kalau begitu, penatlah, Pak Mantri menanti kapan jatuhnya. Bagaimana kalau jatuhnya malam? Ya, kalau ketemu. Kalau tidak?”
“Oi, Pak Mantri! Bagaimana ini, jadi?” tiba-tiba muncul Jamidi dikejauhan. Seorang pemanjat kelapa beserta beruknya yang berbadan ceking. Beruk baru hasil didikkan beberapa bulan yang lampau.
“Apanya yang jadi?” Teriak Mantri Suman pula denga suara seraknya.
“Katanya Pak Mantri mencari saya untuk memanjat durian sisa yang belum jatuh-jatuh juga itu!” Jawab Jamidi sembari mendongak ke arah buah durian yang tinggal satu diujung dahan.
“Siapa pula yang bilang? Tidak ada saya mencari kamu. Bohong itu.” Jawab sang mantri.
“Ah, sudahlah. Awak panjat saja ya? Tanggung ini sudah sampai disini,” ucap Jamidi sembari semakin mendekat.
“Janganlah. Belum masak itu. Lihatlah, masih belum kuning sempurna, masih mengkal kelihatannya.”
“Tidak apa-apa. Itu karena tertutup daun, tidak kena sinar matahari dia makanya kuning hambar saja warnanya. Saya panjat saja, ya?” desak Jamidi tidak mau kalah
“Ssst….” Suit Mardi pada Bidin mengajak memberi jarak.
“Ada apa?” tanya Bidin setengah berbisik setelah mereka berada di tempat yang agak berjarak.
“Lihat…” Jawab Mardi sembari menunjuk sembunyi-sembunyi dari balik badan kearah buah durian itu.
“Ada apa..?” Tanya Bidin lagi kurang mengerti dengan tanda-tanda dari temannya itu.
“Lihaaaat….” Jawab Mardi pula dengan suara pelan tercekat.
Bidin menjuruskan pandangannya ke arah buah durian terakhir itu. Sementara Mantri Suman dan Jamidi masih saling tarik ulur perihal pajat atau tidak. Tepat pada detik kesekian sorot mata Bidin tertuju pada satu titik hitam besar yang ada pada kulit buah durian. Beberapa ekor serangga sebesar kelingking bergerak-gerak penuh aktifitas disana.
“Kalihatan kan?” Ucap Mardi pada Bidin.
“Ya.”Jawab Bidin singkat.
Sementara itu, Mantri Suman kalah saing. Jamidi berhasil membujuknya dengan penuh logika. Beruk Jamidi sudah setengah jalan. Sudah sampai di pertengahan pohon durian itu. Dengan lincah ia terus bergerak naik. Menunaikan tugas dari tuannya demi setempurung nasi.
“Ayo…” Ajak Mardi pada Bidin menjauh dari lingkung pohon besar itu.
Keduanya bergerak cepat menembus semak belukar yang sudah mulai menghijau kembali sepeninggal musim durian. Lalu setelah tidak seberapa jauh, keduanya bersembunyi di balik sebatang pohon manggis yang tinggi dahannya masih sejangkauan tangan.
“Kita lihat saja..,” ucap Mardi.
Belum juga keduanya selesai menghela nafas gugup, beruk Jamidi memekik dan melompat turun dari dahan kedahan. Sesekali sebelah tangannya mengibas-ngibas kepala, mengusir serangga terbang yang dalam hitungan detik semakin banyak mengerubunginya.
Sama seperti beruknya, Jamidi panik menunggu di bawah. Ia belum sepenuhnya sadar apa yang telah dialami hewan peliharaannya itu.
“Ada apa ini?” tanya mantri Suman tidak kalah bingung. Sementara beruk Jamidi sudah sampai di bawah dan terus mengibas-ngibaskan kedua tanganya sembari terus berlari tegak diantara semak-semak. Suara dengungan sekumpulan serangga terbang terdengar menyergap.
“Ada tawon ngamuk..!” Seru Jamidi sembari berlari pula mencari perlindungan.
Mantri Suman, lelaki tua yang telah banyak makan asam garam kehidupan dan sangat paham dengan gejala alam menghambur pula mencari menyelamatkan diri. “Walah, tawon rupanya..!” tanggapnya sembari menutupi kepala dengan selembar handuk kecil yang biasa menggantung dibahunya tatkala bekerja.
Suasa semak yang semula tenang, seketika berubah huru hara kian kemari, diobrak abrik sekumpulan tawon yang merasa terusik. Jamidi berlari tidak jauh di belakang beruknya yang masih dalam keadaan panik. Tali panjangnya menjulur disepanjang jalan setapak yang mereka lalui. Sembari terus berlari, Jamidi terus pula berasaha memintal untaian tali nilon itu agar tidak terinjak yang bisa membuat beruknya tercekik mendadak didepan sana.
Sementara disisi lain, Mantri Suman berlari berputar-putar diantara semak belukar. Berharap para tawon akan berhenti mengejarnya dengan cara seperti itu. Hingga akhirnya Mantri Suman sampai ketempat persembunyian Bidin dan Mardi di belakang pohon manggis.
Merasa terancam, kedua pemuda tua itu berlari pula sembari melindungi kepala mereka dengan pakaian yang dikenakan. Ketiga orang itu berlari berpencar, namun nyaris pada waktu yang bersamaan mereka sampai di tepi sungai yang airnya agak keruh seperti kapucino hambar.
Byuuuur! Tanpa pikir panjang, segera mereka mencebur. Cukup lama mereka menyelam. Sedapat mungkin menahan napas mencari perlindungan hingga akhirnya para serangga terbang itu membubarkan diri. Kembali ke sarangnya yang dianggap buah durian di dahan tinggi.
“Oalaaaah, sarang tawon rupanya. Awak kira buah durian terakhir…” teriak Mantri Suman dari sebatang pohon kayu tumbang di atas sungai.
“Durian super Pak Mantri..!” Seru Bidin dan Mardi bersamaan. (*)
Tentang Penulis
Afrizal Jasman merupakan nama pena dari Afrizal S.Sn. Pria kelahiran Toboh Sikaladi Sintoga pada 15 April 1982. Saat ini tinggal di Kabun Bungo Pasang, Ulakan Tapakis, Padang Pariaman. Afrizal memiliki sanggar yang berada di tanah kelahirannya Toboh Sikaladi, Sintoga Padang Pariaman. Ia dapat dihubungi pada email: afrizaljasmann737@gmail.com. Fb: Afrizal Jasmann (Ajiw) dan Ig: afrizaljasmann2022.
Humor Sebagai Kritik Sosial
Analisis Cerpen “Buah Durian Terakhir” Karya Afirzal Jasmann
Oleh: Azwar
(Dewan Penasihat Pengurus Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Barat)
Anwar dan Aminullah dalam artikel mereka “Tipe Humor dalam Cerita-Cerita Pendek Gunawan Tri Atmodjo” yang dimuat dalam Jurnal Dialektika (2024) menyampaikan bahwa humor sebagai praktik kreatif yang relevan secara sosial, masalah serius yang juga harus ditanggapi dengan serius. Termasuk humor dalam karya sastra yang tidak semata ditujukan sebagai daya tarik bagi pembaca, melainkan memiliki nilai lebih dari segi sosial dan politik.
Ridanpää (2014) menyampaikan bahwa humor juga dapat memainkan fungsi sosial sehubungan dengan permusuhan dan mengurangi rasa phobia. Humor memiliki tujuan sosial bersama untuk membina kepaduan kelompok dan ikatan sosial, serta penciptaan dan pelestarian identitas kelompok. Selain itu, masih menurutnya, fungsi humor tidak hanya sebagai alat naratif, tetapi juga sebagai perspektif yang lebih luas di mana narasi dan juga kontra-narasi diceritakan dan dirasakan.
Dalam pandangan Boyd (2004) pemahaman evolusioner tentang humor, sebagai aspek lain dari sifat manusia, dapat memperkaya apresiasi terhadap sastra. Pandangannya didasarkan dari adanya kesamaan antara sastra dan humor, yakni pada bagaimana keduanya berevolusi: bertahap membangun bentuk, pola, dan harapan yang senantiasa memberikan keterbukaan dan ketidakterdugaan. Keterbukaan pada tafsir dan ketakterdugaan pada akhir sebuah masalah, yang kadang juga berakhir terbuka.
Sementara itu Bergson (2009) menekankan bahwa untuk dapat dipahami humor harus dikembalikan ke dalam lingkungan alamiahnya, yakni masyarakat, dan terutama harus ditetapkan fungsinya secara sosial.
Kreatika edisi ini menampilkan cerpen “Buah Durian Terakhir” karya Afrizal Jasmann, anggota FLP Wilayah Sumatera Barat. Cerita ini berkisah tentang pohon durian milik Mantri Suman, seorang pensiunan guru agama sekaligus ahli pengobatan alternatif. Pohon durian tua miliknya terkenal menghasilkan buah yang besar dan berkualitas hingga akhir musim. Mantri Suman sangat melindungi buah-buah duriannya, membuat persaingan untuk mendapatkan durian menjadi ketat.
Namun, ketika musim hampir berakhir, hanya satu buah durian yang tersisa di ujung pohon. Buah ini memancing rasa penasaran dan usaha dari banyak orang, termasuk Jamidi, seorang pemanjat dengan beruk peliharaannya. Saat Jamidi akhirnya memutuskan untuk memanjat pohon tersebut, kejadian tak terduga terjadi—”buah durian terakhir” itu ternyata bukan buah, melainkan sarang tawon.
Situasi menjadi kacau ketika sarang tersebut terganggu, membuat semua orang yang terlibat melarikan diri dan menyelamatkan diri dari serangan tawon. Cerita ini berakhir dengan kejutan humoris, menunjukkan ironi dari usaha keras dan ekspektasi manusia terhadap sesuatu yang ternyata jauh dari apa yang diharapkan.
Hal menarik dari cerpen “Buah Durian Terakhir” karya Afrizal Jasmann adalah bagaimana cerita ini merefleksikan sifat manusia dalam menghadapi harapan, keserakahan, dan realitas yang tidak selalu sesuai ekspektasi.
Cerpen ini mengkritik keserakahan manusia. Ia menggambarkan bagaimana Mantri Suman menjaga pohon duriannya dengan kontrol penuh, hingga menciptakan persaingan ketat di antara orang-orang yang ingin mendapatkan buahnya. Hal ini menjadi kritik terhadap sifat manusia yang terlalu protektif terhadap harta miliknya, bahkan hingga mengorbankan hubungan dengan orang lain. Mantri Suman, meskipun berperan sebagai pemilik yang sah, sering dianggap egois karena sikapnya yang keras.
Twist di akhir cerita, ketika “buah durian terakhir” ternyata hanya sarang tawon, menjadi representasi metaforis tentang ekspektasi yang tidak selalu sesuai dengan realitas. Para tokoh, khususnya Jamidi, bersusah payah untuk sesuatu yang mereka yakini berharga, namun pada akhirnya berakhir dengan kekecewaan dan kesialan. Hal ini menggarisbawahi ketidaksempurnaan rencana manusia dan pentingnya mengelola ekspektasi. Pesan dari bagian ini adalah hidup sering kali menghadirkan kejutan yang tidak terduga, sehingga manusia harus belajar menerima realitas dan tidak terlalu terobsesi dengan hasil.
Cerpen karya Afrizal Jasmann ini juga menyajikan penghormatan terhadap budaya local. Cerpen ini menggunakan latar budaya desa dengan pohon durian sebagai simbol sentral. Kehadiran tokoh seperti Mantri Suman, yang juga seorang mantan guru agama dan ahli pengobatan alternatif, menunjukkan sisi tradisional dan kearifan lokal. Konflik seputar durian tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga refleksi kehidupan masyarakat pedesaan yang sederhana namun penuh dinamika. Cerita ini mengangkat pentingnya menjaga dan menghargai budaya lokal, yang sering kali penuh nilai moral dan humor yang khas.
Bagian menarik dari cerpen ini juga tentang humor sebagai kritik sosial. Gaya humor dalam cerita ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi juga kritik sosial. Melalui dialog dan situasi lucu (seperti “buah super” yang ternyata sarang tawon), penulis menyampaikan bahwa sering kali keserakahan atau obsesi manusia terhadap sesuatu malah menjadi bahan olok-olok. Humor dapat menjadi cara yang efektif untuk menyampaikan pesan moral tanpa terasa menggurui.
Cerpen ini adalah refleksi tentang sifat manusia, baik dalam mempertahankan milik pribadi maupun mengejar sesuatu yang diidam-idamkan. Afrizal Jasmann berhasil menghadirkan cerita dengan humor yang cerdas, pesan moral yang relevan, dan latar budaya yang khas. Namun, yang terpenting adalah kesadaran bahwa manusia perlu belajar menerima realitas dan tidak terlalu terobsesi dengan sesuatu yang tidak pasti.
Sebagai sebuah karya kreatif, cerpen “Buah Durian Terakhir” ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan cerpen ini adalah pertama, penggambaran suasana yang kuat.
Cerpen ini berhasil menghadirkan suasana desa yang kental dengan budaya lokal, khususnya tradisi seputar musim durian. Deskripsi pohon durian tua, interaksi warga, dan persaingan untuk mendapatkan buahnya terasa hidup dan imersif.
Kedua, humor dan kejutan di akhir cerita. Twist cerita bahwa “Buah Durian Terakhir” ternyata sarang tawon memberikan unsur humor sekaligus pelajaran tentang ekspektasi dan realitas. Ini membuat cerita terasa segar dan meninggalkan kesan mendalam.
Ketiga, karakter yang berkesan. Mantri Suman digambarkan sebagai sosok yang unik dan dominan dengan kebijakannya yang ketat, namun tetap punya sisi manusiawi. Karakter lain, seperti Jamidi dan Bidin, juga memberikan warna pada cerita lewat dialog yang natural.
Sementara itu kekurangan cerpen ini adalah pertama, pembangunan konflik yang lambat.
Cerpen ini cukup panjang dan memakan waktu untuk membangun konflik utama. Beberapa bagian, seperti penggambaran kehidupan sehari-hari, bisa diringkas untuk menjaga dinamika cerita tetap menarik.
Kedua, deskripsi berlebihan di beberapa bagian. Deskripsi yang sangat rinci, seperti tentang buah durian atau suasana sekitar, kadang terasa repetitif dan memperlambat alur cerita.
Ketiga, karakter pendukung kurang terdalami. Karakter seperti Bidin dan Mardi meskipun menambah humor, tidak diberi latar belakang yang kuat sehingga mereka lebih terasa seperti pengamat daripada elemen yang benar-benar signifikan.
Keempat, pesan tersirat yang tidak terlalu mendalam. Meski cerpen memiliki pesan moral, pelajaran yang bisa diambil cenderung sederhana dan tidak eksploratif, sehingga kurang menggugah pembaca untuk merenungkan isu yang lebih luas.
Dengan kelebihan dan kekurangan tersebut cerpen ini tetap menarik karena gaya penulisan yang santai dan humoris, serta berhasil menghadirkan budaya lokal dalam cerita. Namun, sedikit penyuntingan pada alur dan karakterisasi akan membuatnya lebih dinamis dan kuat. Cerita ini secara implisit mengingatkan pembaca tentang keserakahan, ekspektasi yang terlalu tinggi, dan pentingnya kehati-hatian dalam bertindak. (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini disediakan untuk penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.