Oleh: Arina Isti’anah
(Dosen Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma)
Bahasa merupakan piranti komunikasi yang kita miliki untuk menyampaikan pemikiran, keyakinan, dan pendapat kepada orang lain atau publik. Bahasa yang kita gunakan merupakan wujud sikap kita terhadap lingkungan di sekitar kita, termasuk lingkungan alam. Saat ini, dunia sedang menghadapi krisis lingkungan alam yang mengancam generasi mendatang dan juga spesies lain seperti binatang, tumbuh-tumbuhan, dan lingkungan alam itu sendiri. Oleh karena itu, kita memiliki kesempatan untuk menggunakan bahasa sebagai piranti untuk mengadvokasi lingkungan.
Istilah “advokasi” menurut KBBI adalah “pembelaan”. Dalam tulisan ini, “mengadvokasi lingkungan” didefinisikan sebagai “membela lingkungan” dalam arti mengakui keberadaan lingkungan sebagai bagian dari kehidupan kita. Oleh karena itu, mengadvokasi lingkungan bermakna memberikan pengakuan dan pembelaan pada lingkungan sebagai entitas yang perlu dijaga hak dan nilainya sehingga perilaku-perilaku destruktif seperti overkonsumsi yang merusak alam dapat diminimalisasi.
Lalu, bagaimana bahasa dapat digunakan dalam mengadvokasi lingkungan? Sebagai bagian dari suatu kelompok sosial, kita memiliki pilihan-pilihan lingual dalam menyampaikan pesan kepada kelompok kita atau kepada publik. Pesan tersebut tentunya dipengaruhi oleh konteks situasi yang mencakup budaya dari kelompok sosial tersebut. Selain itu, bahasa juga perlu disesuaikan dengan tujuan pemakaiannya. Jika merujuk pada fungsi interpersonal, bahasa dapat disusun dengan struktur kalimat tertentu yang berfungsi memberitakan atau memberikan informasi, memberi perintah, atau menawarkan barang/ jasa (Thompson, 2014).
Bahasa juga digunakan untuk memengaruhi publik untuk mengadvokasi lingkungan. Stibbe (2017) menyatakan bahwa salah satu cara mengadvokasi lingkungan adalah dengan menggunakan pilihan lingual yang mengakui keberadaan lingkungan sebagai entitas yang perlu dinyatakan dalam bahasa. Bahasa seharusnya digunakan untuk mendorong kita menghargai dan merawat lingkungan (Stibbe, 2017). Jika bahasa yang kita temukan acapkali disusun dalam pola-pola lingual yang kurang bersifat ekosentris, kita dapat menyusun pilihan kata dan gramatika untuk menyampaikan pesan yang lebih mengadvokasi lingkungan.
Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris, lingkungan acapkali dipresentasikan sebagai entitas yang tidak memiliki kuasa atau agensi. Goatly (2000) mengulas bagaimana tulisan William Wordsworth di surat kabar The Times menunjukkan pola bahasa yang memberikan agensi terhadap lingkungan. Wordsworth merupakan penyair Inggris (1770-1850) yang terkenal sebagai salah satu pendiri aliran Romantisme dalam sastra. Dalam surat kabar The Times, ia menulis “The eagle soars” elang terbang tinggi, “the rain beat hard” hujan turun dengan sangat deras, dan “a river murmuring” sungai bergumam. Wordsworth memberikan agensi terhadap elang, hujan, dan sungai. Hal tersebut merupakan upaya untuk mengadvokasi lingkungan karena lingkungan didudukkan sebagai entitas yang dapat melakukan aktivitas sama seperti manusia. Hal tersebut menyejajarkan posisi manusia dan lingkungan sebagai bagian dari ekosistem.
Bahasa memiliki peran penting dalam memengaruhi kita memperlakukan lingkungan di sekitar kita. Selama ini, kita menganggap bahwa lingkungan merupakan entitas terpisah dari manusia. Lingkungan masih sering dianggap sebagai sumber kehidupan yang menyediakan kekayaan alam untuk kemakmuran manusia. Usaha untuk mengajak manusia lebih mengakui keberadaan dan peran intrinsik lingkungan telah dilakukan oleh organisasi-organisasi privat pecinta lingkungan seperti Greenpeace. Greenpeace dibentuk pada 1971 oleh aktivis lingkungan di Kanada dan bertujuan untuk mengadvokasi lingkungan melalui aktivitasnya, termasuk pemberitaan, kampanye, donasi, dan berbagai aksi nyata untuk mengajak kita lebih memedulikan bumi. Saat ini, berbagai situs web resmi Greenpeace dapat diakses secara publik, salah satunya di Indonesia dapat ditemukan pada https://www.greenpeace.org/indonesia.
Dalam situs webnya, Greenpeace mengajak kita untuk mengadvokasi lingkungan, termasuk hutan di dalamnya. Situs web Greepeace menyatakan bahwa “Hutan hujan tropis Indonesia luasnya terbesar ketiga di dunia. Ia rumah beraneka tumbuhan dan satwa, sumber hidup masyarakat adat, dan benteng melawan krisis iklim”. Penggunaan metafora “rumah” yang diikuti oleh unsur-unsur dalam ekosistem termasuk tumbuhan, satwa, dan masyarakat adat menunjukkan bahwa hutan merupakan rumah yang perlu kita lindungi. Kita merupakan bagian dari penghuni rumah yang seharusnya hidup dengan berdampingan dan selaras untuk merawat rumah kita.
Struktur bahasa di atas merupakan salah satu upaya advokasi lingkungan. Hutan sebagai rumah juga dicitrakan sebagai “benteng” dalam melawan krisis iklim. Penggunaan metafora “perang” seperti ditunjukkan oleh kata “benteng” dan “melawan” menunjukkan bahwa krisis iklim bukanlah fenomena alam biasa namun suatu medan peperangan yang memerlukan kegigihan, keberanian, dan ketekadan untuk melawannya. Oleh karena itu, Greenpeace mengajak kita untuk menganggap permasalahan iklim sebagai fenomena yang serius dan perlu segera dilawan.
Selama ini, fenomena krisis iklim masih dianggap sebagai fenomena saintifik dan global. Hal tersebut tidak terlepas dari wacana publik yang dibangun melalui media massa, seperti diungkapkan oleh Isti’anah dkk. (in press) dalam penelitiannya terhadap media massa Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Krisis iklim masih menjadi fenomena global dan saintifik, seperti ditunjukkan oleh kata “studi”, “peneliti”, “ilmuwan”, “PBB”, dan “COP”. Oleh karena itu, diperlukan pilihan bahasa yang menyadarkan bahwa krisis iklim bukanlah isu global, melainkan fenomena yang sudah kita rasakan.
Bahasa dalam situs web Greenpeace menunjukkan advokasi terhadap lingkungan melalui pronomina “kita”, seperti termuat dalam kalimat berikut, “Kita semua terancam krisis iklim. Hujan ekstrem, kekeringan, dan tanah longsor adalah dampak nyata yang berpengaruh pada kesehatan hingga kenaikan harga pangan.” Penggunaan pronomina “kita” bertujuan untuk mengajak para pembaca sebagai pihak yang mengalami dampak krisis iklim.
Berbeda dari media massa Indonesia yang mengasosiasikan krisis iklim dengan fenomena global, Greenpeace mencitrakan krisis iklim sebagai fenomen lokal yang dekat dengan kehidupan pembaca dan hal yang sudah mereka alami, seperti hujan ekstrem, kekeringan, dan tanah longsor. Selain itu, Greenpeace juga menyinggung isu kesehatan dan kenaikan harga pangan yang mungkin tidak disadari secara langsung oleh pembaca bahwa hal tersebut merupakan dampak nyata krisis iklim bagi mereka.
Narasi tentang krisis iklim sebagai fenomena lokal perlu mendapatkan porsi lebih banyak. Hal tersebut merupakan usaha yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran publik atas dampak nyata krisis iklim. Isu tentang kesehatan dan naiknya harga pangan mungkin belum secara luas ditangkap sebagai hubungan sebab akibat dari krisis iklim. Publik belum mendapatkan pajanan atas pengaruh perilaku keseharian mereka dalam memperburuk krisis iklim. Menurut Naess (2008), langkah dasar dalam mengadvokasi lingkungan adalah dengan menumbuhkan kesadaran atas peran lingkungan sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsiknya. Namun demikian, dalam buku-buku teks dan wacana publik, lingkungan belum secara luas diberitakan terkait peran intrinsiknya. Upaya lain yang dapat kita lakukan adalah dengan membagikan narasi positif tentang usaha dalam merawat lingkungan.
Sebagai wacana publik, Greenpace mengangkat cerita dari masyarakat adat, seperti tiga anak Papua yang bercerita tentang Lembah Grime Nawa. Salah satu anak menyatakan bahwa, “Wilayah dan hutan adat suku Nmblong bukanlah wilayah kosong tak berpenghuni, tapi ada kami masyarakat adat, flora, dan fauna di dalamnya sebagai pemilik, penjaga, dan pengelola wilayah adat”. Cerita tersebut mengajarkan kita bahwa justru masyarakat adat menempatkan diri mereka bukan hanya pemilik, namun penjaga hutan. Selain itu, masyarakat adat juga mengakui keberadaan flora dan fauna sebagai entitas dengan peran yang sama dengan mereka. Sebagai pembaca, kita diajak untuk menyadari bahwa kita bukanlah satu-satunya pemilik lingkungan yang berhak menghabiskan kekayaan dan sumber daya lingkungan. Sebaliknya, kita adalah bagian dari lingkungan yang bertugas untuk menjaga dan mengelola harmonisasi ekologi demi lingkungan itu sendiri dan generasi yang akan datang.
Jadi, bahasa dapat memberikan dampak positif dalam mengadvokasi lingkungan. Sebagai bagian dari ekosistem bumi, kita hendaknya menggunakan bahasa untuk membagikan narasi yang positif dan menumbuhkan kesadaran atas peran lingkungan sebagai entitas yang memiliki nilai intrinsiknya sendiri. Mungkin ungkapan “the less the better” dapat mulai kita terapkan untuk mencoba hidup lebih sederhana, mengkonsumsi sumber daya alam dengan secukupnya, serta merawat lingkungan bersama dengan entitas ekosistem lain untuk menjaga kelestarian lingkungan itu sendiri.