Oleh: Bara Redinata
(Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
“Aku ini binatang jalang…”
Demikianlah Chairil Anwar membuka larik dalam sajaknya yang berjudul “Aku” pada tahun 1943. Puisi karya Chairil itu kemudian menjadi tonggak awal kelahiran sastrawan angkatan ’45. HB Jassin menjuluki Chairil sebagai pelopor angkatan ’45. Puisi “Aku” juga menjadi salah satu karya puncak dari sekian banyak puisi-puisi yang telah ditetaskan oleh si binatang jalang. Bunyi sajaknya yang berani dan bahasanya yang tegas seakan menjadi kredo dari sang penyair untuk mendobrak kekuasaan para sastrawan Pujangga Baru yang masih menjadikan persoalan persajakan sebagai sarana kepuitisan utama. Si binatang jalang dengan gaya puisinya yang khas kemudian berhasil mengakhiri era kesusastraan Pujangga Baru dan sukses membebaskan puisi dari bentuk sajak dan rima-rima yang baku menjadi lebih bebas dan lugas.
Dalam sejarahnya, puisi “Aku” ciptaan Chairil sempat ditentang oleh beberapa sastrawan senior karena dinilai terlalu individualistik dan kebarat-baratan. Armin Pane yang sewaktu itu menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah Panji Pustaka adalah orang yang paling vokal menolak puisi-puisi Chairil untuk dimuat di majalah Panji Pustaka. Penolakan Armin Pane bukan tanpa alasan. Puisi Chairil waktu itu dinilai berlawanan dengan semangat Asia Timur Raya yang dikampanyekan oleh pemerintah Jepang. Meski demikian, siapa pun yang pernah membaca secuil kisah hidup Chairil pasti paham bahwa puisi “Aku” memang merupakan puisi yang menggambarkan sosok Chairil yang jalang dan liar. Sapardi Djoko Damono melambangkan si binatang jalang sebagai sosok seorang seniman sejati. Chairil dianggap memiliki seperangkat ciri seniman sejati: tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan.
Berbeda halnya dengan si binatang jalang yang diperkenalkan sebagai seorang penyair yang memiliki vitalitas di dalam sajak-sajaknya, Amir Hamzah yang tumbuh di era Pujangga Baru punya gaya puisi yang berbeda dengan gaya penulisan puisinya Chairil. Bak kata pepatah, lain ladang lain belalang, Hamzah yang mekar di era angkatan Pujangga Baru memiliki gaya dan aturan penulisan puisi yang khas. Amir Hamzah yang dijuluki sebagai raja penyair Pujangga Baru itu lebih senang menyisipkan diksi-diksi bernuansa alam ke dalam larik-larik puisinya. Diksi-diksi alam itu bisa dilihat dalam salah satu puisinya yang berjudul “Sebab Dikau” yang bercerita tentang hubungan romantis antara pria dan wanita yang digambarkan sebagai boneka.
Meskipun Chairil dan Hamzah tumbuh dari era angkatan kesusastraan yang berbeda, puisi keduanya sama-sama memuat nilai romantisme yang kental di dalamnya. Dalam dunia sastra, romantisme merupakan aliran sastra yang mengedepankan unsur emosi dalam suatu karya dengan cara penggambaran dan pembangunan citra yang dramatis, teatrikal, dan memiliki suasana cerita seperti di dalam sebuah mimpi (dream like). Aliran ini menitikberatkan pada emosi, imajinasi, dan ide untuk kembali pada keniscayaan sejarah dan alam. Sejarah aliran romantisme pertama kali muncul di Eropa Barat pada kisaran abad ke-18. Revolusi Industri menjadi momentum dimulainya gerakan romantisme. Aliran ini merupakan reaksi terhadap rasionalisme yang kaku dari zaman pencerahan. Romantisisme menekankan pada emosi, imajinasi, individu, alam, dan nilai-nilai spiritual.
Romantisme dalam Puisi Sebab Dikau Karya Amir Hamzah
Puisi “Sebab Dikau” adalah salah satu contoh indah bagaimana Amir Hamzah mengekspresikan romantisme yang mendalam dalam karyanya. Meskipun tidak secara eksplisit menggunakan istilah-istilah romantisme, esensi aliran ini sangat terasa dalam setiap baitnya. Puisi ini juga sangat sarat dengan ungkapan perasaan cinta yang mendalam dan intens. Kata-kata seperti “kasihkan hidup sebab dikau”, “kuntum mengoyak kepak”, dan “hidup seperti mimpi” menggambarkan perasaan yang begitu meluap-luap. Dalam hal ini, tampak terlihat bahwa Hamzah seolah menempatkan dirinya sendiri sebagai subjek utama yang merasakan cinta dan segala konsekuensinya. Pengalaman pribadi seakan menjadi fokus utama dalam puisi ini.
Dalam hal imajinasi, puisi “Sebab Dikau” tidak lagi diragukan berasal dari hasil pengendapan imajinasi yang tinggi. Penggunaan bahasa yang penuh metafora dan simbolisme menjadi bukti bahwa puisi Hamzah memang lahir dari proses imaji yang kuat. Frasa seperti “Kuntum mengoyak kepak” , “membunga cinta dalam hatiku” , dan “mewangi sari dalam jantungku” dapat menggambarkan perihal proses cinta yang tumbuh subur dan mekar dengan indah. Dalam puisi ini, cinta seolah menjadi alasan penyair untuk hidup. Semua yang dilakukannya, semua yang dialaminya, bermuara pada perasaan cinta.
Dalam sejarahnya, kemunculan romantisme tidak lepas dari revolusi industri yang mulai meninggalkan kealamian dunia dan desktruktif terhadap lingkungan. Banyak seniman pada masa itu yang menolak praktik industrialisasi karena dianggap tidak memerhatikan dampaknya terhadap alam. Di dalam puisi “Sebab Dikau” si penyair tampaknya tak luput untuk memasukkan diksi-diksi berunsur alam di dalamnya. Diksi “kuntum”, “sari”, dan “wangi” jelas merujuk pada bunga, sebuah simbol alam yang sering kita gunakan dalam puisi untuk merepresentasikan keindahan, pertumbuhan, cinta, dan kehidupan baru. Frasa “kuntum mengoyak kepak” juga dapat memberikan imaji yang kuat tentang bunga yang sedang mekar dengan penuh semangat. Gerakan “mengoyak kepala” seakan menggambarkan bunga yang sedang merekah dan memperlihatkan keindahannya kepada dunia. Bunga yang mekar dalam konteks puisi ini menjadi metafora untuk menggambarkan perasaan cinta yang tumbuh dan berkembang.
Puisi karya Hamzah merupakan sebuah karya yang indah dan penuh makna. Melalui puisi ini, Amir Hamzah berhasil menggabungkan unsur romantisme dengan sentuhan spiritualitas yang mendalam. Karya ini menjadi bukti bahwa romantisme tidak hanya sebatas ungkapan perasaan cinta yang dangkal, tetapi juga bisa menjadi refleksi tentang kehidupan dan keberadaan manusia. Di balik romantisme yang mendalam, terdapat nuansa spiritual yang coba dibangun oleh Hamzah, dalam hal ini si raja penyair Pujangga Baru seperti ingin menegaskan bahwa segala sesuatu telah diatur oleh Tuhan. Sebagai penutup, Hamzah seolah ingin mengatakan bahwa kehidupan ini sama seperti halnya sebuah lakon. Semua manusia adalah pemain yang memiliki peran masing-masing, “aku boneka, engkau boneka.”
Romantisme dalam Puisi Aku Karya Chairil Anwar
Berbeda dengan puisi karya Amir Hamzah yang mengandung citraan unsur roamantis dan citraan alam yang kuat, puisi “Aku” karya Chairil Anwar justru sering dikaitkan dengan semangat perlawanan dan individualisme yang penuh vitalitas. Puisi ciptaan penyair kelahiran Medan itu juga menyimpan nuansa romantisme di dalamnya. Namun, romantisme yang dihadirkan Chairil Anwar berbeda dengan romantisme klasik seperti yang ada di dalam puisinya Hamzah. Ia lebih bersifat individualistis dan modern, menyatu dengan semangat pemberontakan dan perjuangan yang menjadi ciri khas puisinya.
Dalam sajaknya, Chairil Anwar menempatkan “aku” sebagai pusat perhatian. Ia mengeksplorasi perasaan, pikiran, dan pengalaman pribadinya secara mendalam. Sikap individualis ini sejalan dengan semangat romantisme modern yang menekankan keunikan dan kebebasan individu. Meskipun terkesan keras dan pemberontak, puisi “Aku” juga sarat dengan emosi yang kuat. Ada perasaan kesepian, kegelisahan, dan pencarian jati diri yang mendalam. Metafora “Aku ini binatang jalang” yang terdapat di dalam puisi “Aku” ini menggambarkan perasaan terasing dan terbuang dari lingkungan sosial. Penyair merasa dirinya seperti binatang liar yang tidak memiliki tempat di tengah masyarakat. Ekspresi emosi yang intens ini merupakan ciri khas romantisme.
Di dalam sajaknya, Chairil Anwar mencari makna hidup di tengah realitas yang keras. Ia ingin menemukan jati dirinya dan tempatnya di dunia. Metafora “Aku mau hidup seratus tahun lagi” menggambarkan keinginan Chairil untuk hidup abadi dan terus menjadi jalang, metafora tersebut juga menunjukkan vitalitas yang membara dalam proses pencarian makna hidup yang coba dilakukan oleh sang penyair. Pencarian makna hidup ini juga merupakan tema sentral dalam romantisme.
Beda halnya dengan romantisme klasik, Romantisme Chairil Anwar lebih individualistis dan modern. Jika romantisme klasik seringkali mengidealkan alam dan cinta, romantisme Chairil Anwar lebih fokus pada perjuangan individu melawan realitas yang keras. Chairil Anwar tidak mengidealkan keindahan alam atau cinta seperti penyair romantis klasik. Ia lebih realistis dalam menggambarkan kehidupan dan perasaan manusia. Tema perlawanan dan individualisme yang kuat seringkali menutupi nuansa romantisme dalam puisi Chairil Anwar. Penggunaan bahasa yang lugas dan kadang kasar juga membuat puisi Chairil Anwar terkesan jauh dari romantisme klasik yang sering menggunakan bahasa yang indah dan puitis.
Meskipun tidak sejelas dalam puisi-puisi romantis klasik, unsur romantisme dalam puisi “Aku” karya Chairil Anwar tetap terlihat. Romantisme yang dihadirkan Chairil Anwar adalah romantisme yang telah mengalami transformasi, disesuaikan dengan konteks zaman, dan kepribadian penyairnya. Memahami adanya unsur romantisme dalam puisi Chairil Anwar membantu kita untuk melihat sisi lain dari sosok penyair yang kompleks. Chairil Anwar tidak hanya seorang pemberontak, tetapi juga seorang penyair yang peka terhadap perasaan dan pengalaman batinnya.